Gendis segera mengambil ponsel yang ada di tas selempang bututnya. Satu pesan masuk dari nomer tidak di kenal muncul di layar ponselnya.
Dia pun membaca dalam hati deretan tulisan panjang itu. Yang ada dipikirannya saat ini, hanya Damar dan Damar.
Harapannya pada adiknya itu cukup tinggi. Gendis ingin Damar bisa mengangkat derajat keluarga.
Ozge mendekati Gendis yang masih terpaku memegang ponselnya. "Ada apa?" tanyanya. "Bicaralah padaku, seperti kamu sedang berbicara dengan Bayu atau siapapun teman terdekatmu. Jangan jadikan aku orang luar lagi. Percayalah! aku akan lakukan apapun untuk membantumu," tambah Ozge.
"Kita pulang saja, Beg. Mereka akan menghubungi lagi besok. Semoga Damar baik-baik saja." Gendis terdengar agak putus asa.
Ozge membantu gadis itu berdiri, lalu merengkuh pinggulnya dan berjalan perlahan meninggalkan rumah.
Langkah kaki Gendis sedikit gontai, pandangan matanya juga tidak fokus. "Beg, tinggalkan Gendis. Jangan masuk ke dalam kehidupan Gendis. Jangan sampai kamu terlibat dengan bapakku."
Ozge menggeleng kuat. "Tidak akan! aku akan membantumu melewati semua ini. Aku tidak peduli seperti apa pun bapakmu. Aku akan menghadapinya," tegasnya.
Setelah berjalan pelan-pelan melewati gang-gang yang sunyi. Akhirnya, mereka sampai kembali di jalanan raya di mana mobil Ozge berada. Keduanya langsung masuk ke dalamnya.
Sepanjang perjalanan, Gendis melempar pandangan ke luar kaca mobil. Dia tidak pernah sesedih ini sebelumnya. Damar tidak hanya sekedar adik bagi Gendis. Tapi juga penyemangat sekaligus alasan kenapa Gendis bisa berdiri tegar sampai hari ini.
Ozge menghentikan mobilnya tepat berhenti di depan kontrakan Gendis.
"Terimakasih, Beg. Gendis turun. Pulanglah!" ucap gadis itu dengan pelan.
Ozge mengangguk disertai senyuman hangat. Membiarkan Gendis turun, sampai dia masuk kembali ke dalam kontrakan. Ozge tidak beranjak. Dia hanya memundurkan mobilnya beberapa meter dari kontrakan Gendis.
*********
Pagi sekali, Gendis sudah terbangun dari tidurnya yang sama sekali tidak nyenyak. Dia sedang harap-harap cemas menunggu kabar dari nomer yang tidak dikenal.
Setelah mondar mandir sembari menggenggam ponselnya. Akhirnya pesan itu datang juga dan mengirimkan sebuah alamat untuk dia datangi.
Tidak menunggu Surti yang masih tertidur pulas, Gendis segera menyambar tas dan segera berlari ke arah jalan raya. Dia berjalan beberapa meter ke depan, karena di sana ada pangkalan ojek.
Terlalu fokus, membuat Gendis tidak menyadari ada sepasang mata yang terus mengikuti dan mengawasinya dari jarak jauh. Seseorang yang menaiki motor sport berwarna hitam doff.
Setelah perjalanan lumayan jauh dan berkelok-kelok, akhirnya sampailah Gendis sebuah bangunan tua, namun masih sangat terawat.
Mencoba tenang, Gendis melangkahkan kakinya memasuki area rumah itu. Berharap apa yang dihadapinya nanti, tidak seseram yang ada dipikirannya saat ini.
Gendis mengetuk pintu dengan sedikit ragu. Tidak lama, seorang asisten rumah tangga berusia 40 tahunan muncul membukakan pintu untuknya.
Perempuan itu melempar senyuman ramah, lalu mempersilahkan Gendis masuk ke dalam.
Damar yang sedang makan, langsung beranjak berdiri dan berhambur ke pelukan Gendis, saat mengetahui kedatangan kakaknya.
"Kamu tidak kenapa-kenapa, Kan?" tanya Gendis, dengan sangat khawatir. Meraba wajah Damar seperti sedang memastikan tidak ada yang tergores sedikitpun di sana.
"Damar tidak kenapa-kenapa, Mbak. Damar aman."
Suara deheman seseorang yang agak familiar di telinga Gendis terdengar, seketika membuat gadis itu menoleh ke sumber suara berasal.
"Pak Eser?" Gendis menggelengkan kepalanya, tidak menyangka sama sekali kalau orang itulah yang akan berurusan dengannya.
Gendis menggigit bibir bawahnya, hatinya mendadak ngilu. Satu masalah bersama Eser saja belum tuntas, sekarang ditambah lagi masalah menyangkut Darto dan Damar.
"Berapa hutang, bapakku?" tanya Gendis, tanpa basa basi.
"Kamu pikir bapakmu berhutang padaku? tentu saja tidak! Buat apa aku berurusan dengan uang receh." Eser mendekati Gendis dan Damar.
Berbeda dengan Gendis yang cemas dan gelisah, Damar tampak sangat santai.
"Masalah sudah selesai. Damar bisa pulang denganmu, tapi urusan kita yang akan terus berlanjut," ucap Eser dengan santainya.
Gendis semakin bingung, logikanya sungguh sulit diajak menemukan sedikit pencerahan.
"Mungkinkah seorang Eser Sevket kenal apalagi meminjami uang seorang Darto?" Eser bertanya penuh teka teki pada Gendis, mengajak gadis itu mulai menganalisa bersama.
"Bisakah kita bicara berdua saja?" tanya Gendis, mengabaikan pertanyaan Eser. Dia tidak mau mengajak Damar dalam keruwetan masalah.
Eser menyuruh Damar meneruskan makannya. Sangat ramah, sikapnya berbeda jauh saat menghadapi Gendis. Dia mengajak Gendis menuju sebuah ruangan paling ujung di dalam bangunan rumah tersebut.
"Saya sudah siap mendengar." Gendis tidak ingin membuang banyak waktu dengan basa basi.
Eser tersenyum licik, kali ini dia yakin semua akan di bawah kendalinya dengan sempurna.
"Bapakmu bermain judi di tempatku. Saat dia kalah dan ditagih lawan mainnya. Bapakmu malah lari dan mengamuk di luar. Dia melempar kaca mobil dengan botol minuman kerasnya. Kebetulan sekali mobil itu adalah mobilku." Eser menjeda sejenak ceritanya, sekedar memberi waktu pada Gendis untuk mencerna.
"Karena tidak bisa membayar uang kekalahan sekaligus ganti rugi dan takut dilaporkan polisi. Bapakmu menawarkan kamu untuk diberikan pada kami. Dia menyebut namamu dan menunjukkan fotomu dari ponselnya. Tapi saat security mendatangi tempatmu hanya ada Damar dan seorang perempuan. Bapakmu menyerahkan Damar, sebagai jaminan sementara," jelas Eser.
Gendis menelan ludahnya dengan kasar, sudah menjauh pergi dari rumah. Darto masih saja membebaninya dengan masalah.
"Berapa yang harus saya bayar?" tanya Gendis dengan pandangan menerawang.
"Bukan berapa, Ndis. Seharusnya yang kamu tanyakan adalah apa yang harus kamu lakukan sekarang." Eser seperti sedang memainkan emosi Gendis.
Gadis itu mencoba menegarkan diri, menatap Eser dengan sisa keberanian yang dimiliki. "Apa yang harus saya lakukan?"
"Siapa yang ingin kamu lindungi, dirimu atau kah Damar?" Eser balik bertanya.
"Kalau Saya bisa melakukan keduanya, buat apa saya harus memilih salah satu." Tatapan Gendis kini semakin tajam.
"Apa rencanamu? kembali ke kontrakanmu? bekerja hanya mengandalkan pijatanmu? Kamu pikir gajimu lima tahun di sana cukup untuk membayar kerugian yang diakibatkan oleh bapakmu? Bagaimana dengan impian Damar menjadi Dokter gigi? Bagaimana dengan bapakmu? yang pasti juga akan menjual Damar, setelah dia berhasil menjualmu nanti. Seorang penjudi berat tidak akan berhenti hingga nafas terakhir hidupnya. Apalagi dia sudah tega menawarkan anak sebagai jaminan," cecar Eser.
Gendis menjatuhkan diri ke lantai. Bersimpuh, bukan untuk memohon belas kasihan seorang Eser. Tapi dia lelah berdiri dan pura-pura tegar.
Takdir selalu kejam padanya dan selalu memaksa untuk tetap dijalani meski terseok-seok. Menjadi anak seorang Darto, bagaikan sebuah kutukan. Andai dia bisa mengeluarkan darah Darto yang sudah terlanjur mengalir di tubuhnya dengan darah lain. Gendis akan melakukannya.
Damar adalah kelemahannya. Sungguh Gendis akan melakukan apapun, asalkan hidup Damar nantinya lebih baik dari dirinya.
"Apa mau bapak, sekarang?" tanya Gendis, begitu pasrah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 162 Episodes
Comments
???
gk yakin sih, pasti itu akal2lan si Ester sj🧐😑
pasti Ozge yg ngikutin
2022-10-20
0
ℤℍ𝔼𝔼💜N⃟ʲᵃᵃ࿐ⁿʲᵘˢ⋆⃝🌈
Eser,, cinta bilang cinta,,, knp penuh dgn ancaman😔😔😔😔
2022-09-10
2
ᴴᶥᵅᵀ
pak gak gtu cara ambil hati pujaan bapak.. aish
2022-09-09
1