Perempuan itu hanya tersenyum sinis mendapat penolakan dari Gendis.
Darto dan Jubaedah tanpa perasaan menyebut sebuah nominal yang membuat Gendis rasanya ingin menyumpal mulut kedua orang itu dengan uang hasil keringatnya sendiri.
"Kenapa harus Gendis yang dijual? Bukankah istri bapak ini juga masih muda? Dia masih laku, meski mungkin memang tidak terlalu menarik untuk di beli." Gendis sengaja memancing emosi bapaknya. Berharap suara ribut dari rumahnya, bisa menarik perhatian dari tetangga dan membantunya lolos dari rencana busuk bapak kandung dan ibu tirinya sendiri.
Sebuah tamparan keras kembali mendarat di pipi kanannya. Kali ini dari tangan Jubaedah. Membuat sakitnya makin terasa sempurna. Cukup sudah Gendis bertahan.
"Dengar baik-baik, Gendis bukan anak kecil yang bisa kalian gertak dan siksa seenaknya lagi. Kali ini, Gendis tidak akan diam." Suara Gendis semakin keras dan meninggi, tetangga sebelah rumahnya pun mulai terusik.
Biasanya, mereka tidak peduli. Karena teriakan Darto dan Jubaedah sudah biasa mereka dengarkan. Bahkan sampai bosan. Tapi kali ini suara Gendis yang mengusik telinga mereka, suara yang tidak pernah mereka dengar meski siksaan kadang sedang dirasakan. Sebuah pertanda, para tetangga harus turut campur.
"Dasar anak tidak tahu diri, sudah untung Bapak mau membesarkan kamu. Ibumu saja membuang dan meninggalkanmu begitu saja." ucap Darto mulai kembali tersulut emosinya.
"Membesarkan Bapak bilang? Membesarkan seperti apa?" tanya Gendis, matanya menatap tajam pada Darto.
Laki-laki itu tidak menjawab dengan kata-kata. Tapi malah melepas ikat pinggangnya, hendak memukuli Gendis dengan benda tipis panjang terbuat dari kulit itu.
Perempuan menor tadi menahan tangan Darto. "Jangan lukai lagi barang bagus ini."
"Anda menginginkan saya bukan?" tanya Gendis pada perempuan itu.
Dengan seringai licik, perempuan itu mengangguk sambil berkata, "Tentu saja."
Di luar beberapa tetangga sudah ramai di depan beranda rumah Gendis, mereka saling berbisik menerka-nerka apa yang sedang terjadi di dalam .
Mendengar tetangga sudah berdatangan, kini saatnya Gendis menjalankan rencana sesuai dengan yang ada di pikirannya.
"Mar ... Damar ..." Teriaknya.
Dengan terburu-buru Damar mendekat, hanya teriakan Gendis yang dia takuti. Karena hanya kakaknya lah yang selalu memberinya kasih sayang dan perhatian.
"Kemasi semua baju dan buku milikmu, jangan lupa punya mbak sekalian. Kita pergi dari Neraka ini sekarang!" perintah Gendis tanpa ragu dan sangat tegas.
"Jangan berani-beraninya kamu keluar dari rumah. Bapak bunuh kalian!" ancam Darto, rahangnya semakin mengeras dengan raut wajah merah merona. Tangannya sudah kembali mau melayang, tapi tiba-tiba Pak RT dan Pak RW masuk, menahan tangan Darto dengan kuat.
"Jangan ikut campur kalian! Ini urusanku, mau aku apakan anakku, itu hakku!" Darto terus berontak.
"Maaf, justru bapak yang bisa kami laporkan ke KPAI. Karena pak Darto selalu menyuruh anak-anak bekerja dan menyiksa mereka di rumah," tegas Pak RT.
Darto terdiam. Laki-laki itu memang hanya besar di mulut dan nyali, sebenarnya tidak punya modal wawasan atau apapun yang bisa digunakan untuk membenarkan perbuatannya.
"Kamu mau ke mana sama adikmu, Nduk?" tanya pak RW dengan lembut.
"Yang penting keluar dari rumah ini dulu, Pak. Gendis banyak teman. Bapak tidak perlu khawatir. Gendis sudah biasa hidup keras, keluar dari rumah ini pasti akan membuat langkah Gendis semakin mudah. Terimakasih bantuan Bapak dan warga selama ini," ucap Gendis dengan santun.
Pak RT dan Pak Rw melepaskan pegangan tangannya pada Darto. Terlihat laki-laki itu sedang tidak bisa berkutik sekarang. Entah nanti-nanti.
"Bu ... Mbak ... Tunggu saya di depan gang, Tidak perlu memberi uang sepeserpun pada bapak dan Bu Jubaedah. Jika saya memang harus menjual diri, saya yang harus menikmati uangnya. Bukan mereka," tegas Gendis pada perempuan menor tadi, dia ragu harus memanggil apa.
Perempuan itu mengangguk senang, dengan senyuman lebar. Dia keluar meninggalkan rumah. Tidak mempedulikan sama sekali puluhan pasang mata yang melihatnya dengan pandangan aneh dan sedikit merendahkan.
Semua bergeming melihat ketegaran dan keputusan Gendis yang berani, kasak-kusuk mulai terdengar. Tentu saja sebagian mereka langsung memvonis Gendis pasti menjerumuskan diri ke kehidupan kelam. Secara tampilan perempuan tadi juga sudah tidak benar di mata mereka. Seperti wanita-wanita malam penjaja kenikmatan sesat dan sesaat pada umumnya.
Damar terlihat sudah bersiap. Tas ransel sudah di pundak, tas Gendis sudah ditenteng dengan tangannya. Sedangkan baju-baju sudah ada di dalam seprei yang dijadikannya sebagai buntelan. Tidak banyak baju yang dimiliki oleh mereka berdua. Mungkin tidak sampai tiga puluh pasang, satu buntelan seprei cukup untuk baju mereka berdua.
Gendis berpamitan pada seluruh tetangga yang ada di sana, tidak lupa mengucapkan terimakasih karena selama ini ada beberapa dari mereka yang benar-benar peduli. Tidak hanya sekedar membantu memberi umpatan pada sang bapak dan si ibu tiri, tapi sering kali juga berbagi makanan untuknya dan Damar.
"Ndis ... Jangan kerja yang aneh-aneh. Kamu itu pinter dan cantik. Jaga harga dirimu baik-baik. Jangan gelap mata, Jangan keluar dari neraka lalu kamu malah masuk ke neraka lain yang lebih dalam," pesan bu Rida, istri dari pak RW.
Gendis hanya tersenyum dan mengangguk. Sesungguhnya, dia juga masih berfikir. Perempuan tadi bisa jadi masih menunggunya di depan gang.
"Pastikan kalian bisa menjaga diri baik-baik. Kalian harus sukses dengan cara yang benar. Terlahir dari seorang J4l4ng dan besar di tangan preman, tidak boleh membuat kalian berkecil hati. Banyak jalan yang baik, pastikan kamu memilih jalan itu," Bu Mali, tetangga Gendis samping rumah persis, memeluk gadis itu dengan erat.
Gendis kembali hanya tersenyum, melepaskan badannya perlahan lalu membungkuk sebentar sebagai tanda hormatnya. Gadis itu kemudian mengambil buntelan yang di bawa Damar.
Keduanya melangkahkan kaki perlahan meninggalkan kerumunan dan rumah mereka. Tidak ingin menoleh ke belakang lagi, bahkan untuk sekedar melihat bapaknya yang terdengar sedang mengamuk, membanting barang-barang pecah belah yang terlihat oleh mata yang sedang kalap.
Kata-kata J4lang sudah familiar di telinga siapapun yang dekat dengan rumah Darto. Yang selalu menuding Gendis dan Damar adalah anak perempuan j4lang.
Hati Gendis sebenarnya sangat sedih dan sakit sekarang. Kata-kata mereka yang menguatkan, sejatinya semakin mengingatkan dari rahim siapa dia terlahir. Damar mengikuti langkah kaki Gendis yang agak terseok karena buntelan seprei yang dibawanya ternyata lumayan berat.
Sedikitpun tidak ada air mata yang menetes dari pipi Gendis ataupun Damar. Hati mereka yang terluka dan hidup yang terlunta-lunta tidak membuat air mata mereka mudah jatuh. Tempaan dan kerasnya hidup benar-benar sudah mengikis rasa sensitif mata mereka pada kesedihan.
"Mbak, kita mau ke mana sebenarnya?" tanya Damar, kekhawatiran jelas terlihat di wajahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 162 Episodes
Comments
???
Gendis kaya nama orang Jawa, Jawa banget malah
2022-10-20
0
Valencia Attara
suka😍😍😍ceritany lanjut ah
2022-10-04
0
ℤℍ𝔼𝔼💜N⃟ʲᵃᵃ࿐ⁿʲᵘˢ⋆⃝🌈
Darto beraninya ngacem2 doang😒😒😒
2022-09-09
1