Allura menatap bingkisan yang baru di terimanya beberapa saat lalu dengan pandangan yang sulit diartikan, sepupu Viana mendatanginya saat ia sedang bekerja di toko dengan membawakan barang titipan dari majikannya, Rivera.
Ya Tuhan, padahal aku baru kemarin mulai mengkonsumsi vitamin penyubur ASI, tapi sekarang sudah dikirimi alat pumping, batin Allura seraya memerhatikan box pumping yang masih tersegel itu.
Setelah mengetahui isi bingkisannya, Allura segera menyimpan alat itu di dalam lokernya. Ia juga tidak lupa merapikan kembali bungkusannya supaya tak ada yang curiga atau melihat alat yang ia miliki itu, bisa-bisa dia menjadi bahan perbincangan oleh teman-temannya.
Selepas merapikan bungkusan itu, Allura kembali ke tempatnya bekerja yang memegang mesin kasir. Baru saja Allura menutup pintu lokernya, tiba-tiba Dewi menghampirinya.
Dewi adalah teman satu toko dengannya, tapi gadis itu tak pernah menyukai Allura dari sejak gadis itu bergabung kerja di sana. Alasannya simpel, Allura selalu mendapatkan pujian dari pemilik toko, sedangkan dirinya tidak.
"Allura, kamu lagi ngapain di sini? Orang-orang lagi sibuk, tapi kamu malah diem aja di sini. Kedepan sana!" titahnya dengan nada ketus.
Allura sudah tahu jika Dewi memang tidak menyukainya, tapi gadis itu hanya mendiamkannya saja. Ia tidak menanggapi semua ocehan atau kata-kata pedas Dewi karena menurut Allura, itu tidak ada manfaatnya.
"Heh, Lura, kamu denger aku bicara tidak?" tanya Dewi lagi saat ia melihat Allura yang tak menanggapinya.
Allura menghentikan langkahnya yang sudah mulai menjauh dari hadapan Dewi, ia memutar tubuh untuk melihat Dewi sepenuhnya.
"Apa, Dew? Bukannya kamu suruh aku untuk kedepan?" tanya Allura seraya menaikan sebelah alisnya.
"Tadi ... siapa? Apa yang kamu terima darinya?" tanya Dewi dengan pandangan menyelidik.
Allura melipat kedua tangannya seraya tersenyum tipis. Ternyata selain fanatikan, dia juga punya sifat kepo yang cukup tinggi, batin Allura.
"Buat apa aku bilang sama kamu, Dew? Toh kamu tidak punya hak untuk mengetahuinya," jawab Allura.
Gadis itu melihat Dewi yang mengepalkan tangannya dengan erat, kemudian ia melangkah untuk menghampirinya.
"Dewi yang cantik, kamu tidak perlu mengetahui semua tentang kehidupanku. Kamu tidak berhak melakukannya, karena apa?" tanya Allura seraya menatap lekat netra milik Dewi dengan tajam. "Karena kamu bukan siapa-siapa diriku," sambungnya.
Allura baru kali ini menegur Dewi, jika biasanya gadis itu tidak menanggapinya, lain halnya dengan hari ini. Allura berani menegurnya, ia tidak ingin Dewi sampai mengetahui profesinya kali ini. Jadi, dia memutuskan untuk menegur Dewi, dengan harapan gadis itu tidak akan berani untuk mengusik kehidupannya lagi.
Dewi cukup tercengang dengan apa yang dilakukan oleh Allura padanya, selama ini dia berani mengusik kehidupan Allura karena hanya gadis itu yang tidak berani menegurnya ataupun membalas semua perbuatannya, tapi kini Allura sudah menegurnya. Bahkan gadis itu berani menatap tajam Dewi.
Si*lan, sejak kapan Allura berani melawanku? Bahkan sepertinya dia sama sekali tidak merasa takut padaku, batin Dewi.
Tanpa menunggu ucapan Dewi, Allura segera berbalik dan meninggalkan gadis yang masih mematung itu. Ia harus segera kembali ke tempat kerja sebelum ibu pemilik toko datang mencari keberadaannya.
Suasana toko tidak terlalu ramai hari ini, jadi ibu pemilik toko memutuskan untuk segera menutup tokonya saat hari menjelang malam. Jika biasanya toko itu tutup pukul sepuluh malam, maka hari ini toko itu tutup saat pukul delapan malam.
Allura sedikit beruntung, malam ini ia tidak harus pulang ke rumah sakit dengan berjalan kaki karena ada seorang pria yang tadi sempat mampir di tokonya dan sekarang menawarinya tumpangan. Awalnya Allura menolak, tapi setelah pria itu mengatakan jika dirinya hendak mendatangi rumah sakit yang ada di sekitaran sana, Allura pun menerima tawaran itu.
"Namanya siapa, Mbak?" tanya pria itu sedikit berteriak karena posisinya saat ini mereka tengah berboncengan di atas motor.
"Allura, Mas. Nama Masnya siapa?" Kini giliran Allura yang bertanya. Sama halnya dengan pria tadi, Allura pun bertanya dengan sedikit meninggikan nada bicaranya.
"Edwin, Mbak," jawab pria itu.
"Oh. Mas Edwin ke rumah sakit mau menengok siapa? Setahu saya biasanya jam segini jam besuk sudah habis."
Meskipun di atas motor, Allura tidak sedikitpun menyentuh pria itu untuk berpegangan, ia malah berpegangan pada besi yang terdapat di bagian belakang motor untuk menopang badannya.
"Atasan saya kemarin mengalami kecelakaan. Jadi hari ini saya berniat untuk menemaninya di sana bersama seorang pelayannya yang lain."
Allura menganggukan kepalanya beberapa kali. Setelah itu, tak lagi pembicaraan di antara keduanya. Allura membiarkan Edwin untuk fokus pada jalanan yang mereka lalui.
Setelah menempuh perjalanan sekitar 25 menit kemudian, akhirnya kedua insan itupun sampai di pelataran rumah sakit. Allura segera turun dari motor milik Edwin setelah pria itu memarkirkan motornya, sebelum pergi dari sana, Allura juga tidak lupa untuk mengucapkan kata terima kasih.
"Terima kasih, Mas Edwin," ucap Allura sedikit membungkukkan badannya.
"Sama-sama, Mbak." Edwin tersenyum hangat melihat gadis di depannya.
"Kalau begitu saya pamit terlebih dulu, Mas. Kebetulan arah kita berbeda. Jadi, sekali lagi terima kasih banyak," ucap Allura sebelum ia pergi meninggalkan Edwin yang masih berdiri sendirian di dekat motor miliknya.
Edwin sendiri memilih untuk membiarkan Allura. Sementara dirinya menghubungi Arzan dulu karena atasannya itu tadi sempat menelepon dia saat sedang berkendara.
Setelah menunggu beberapa saat, panggilan itu pun terjawab di seberang sana.
"Halo, Tuan. Maaf karena saya baru menghubungi Anda. Apa Anda sedang membutuhkan sesuatu?" tanya Edwin sambil meneliti kembali barang bawaannya yang tadi ia simpan di dalam jok motor.
"Kenapa lama sekali? Cepatlah kemari, aku butuh bantuanmu!" perintah Arzan sebelum ia mengakhiri panggilannya secara sepihak.
Ya Tuhan, kenapa aku memiliki bos yang menyebalkan seperti dia? Padahal aku lama karena harus mencari makanan yang dia inginkan, tapi saat dia lama menunggu, dia langsung menggerutu, batin Edwin seraya menggeleng pelan.
Setelah memastikan semua barang yang ia bawa lengkap dan aman, pria itu pun melanjutkan langkahnya menuju ruang rawat di mana bosnya berada.
Sedangkan di ruang rawat Arzan, pria itu terlihat gelisah. Mungkin karena efek Rivera yang tengah hamil anaknya, ia kini menginginkan makanan yang cukup aneh jika dikonsumsi malam hari. Bahkan pria itu juga menyuruh Edwin untuk memakai motor dan melarangnya memakai mobil, tidak ada alasan yang pasti untuk permintaannya itu.
Arzan menunggu kedatangan Edwin dengan gusar. Bahkan ia beberapa kali menengok kearah pintu, berharap jika asistennya itu segera datang dan membawakan apa yang ia inginkan.
Setelah menunggu beberapa saat kemudian, Edwin datang ke ruangannya tanpa mengetuk pintu terlebih dulu.
"Mana pesanannya?" tanya Arzan begitu Edwin masuk ke ruang rawatnya.
Dengan sigap, Edwin segera mengeluarkan makanan yang diinginkan oleh Arzan.
"Silakan, Tuan."
Mata Arzan seketika berbinar kala melihat rujak bebek yang sudah tersedia di depannya. Tanpa menunggu lama dan menawari bawahannya, Arzan segera melahap rujak bebek itu dengan semangat hingga membuat Edwin serta Pak Ujang menggeleng pelan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 134 Episodes
Comments
Katherina Ajawaila
enak banget Rivera, pantes belagu yg ngidam suaminya
2022-02-23
3
Yani
Asisten Arzam
2022-02-19
1
Rusnani Crb
uhuy salting dua dua nya
2022-02-05
4