Sudah hampir seminggu berlalu Ibu Ani dan Allura berada di rumah sakit. Namun, sampai saat ini Ibu Ani belum juga menunjukkan tanda-tanda akan segera siuman sehingga membuat Allura sangat khawatir.
"Mama, kenapa belum bangun juga? Apakah Mama tidak rindu pada Lura?" gumam Allura pelan, suara gadis itu sudah sedikit serak karena harus menahan tangisnya. Bahkan sesekali Allura memukul dadanya untuk menghalau rasa sesak yang tiba-tiba menghimpit pernapasannya.
Viana yang sedang berdiri di samping Allura melihatnya dengan iba, ia sendiri pun tidak tahu harus melakukan apa selain memberikan dukungan untuk Allura agar lebih bersabar.
"Ra, kalau kamu mau nangis, nangis aja. Jangan ditahan seperti itu," saran Viana saat melihat Allura yang sedang berusaha untuk menahan tangisnya.
"Tidak, Na. Aku ... aku tidak ingin membuat Mama semakin sedih karena harus melihatku menangis. Aku ... aku pasti bisa menahan ini semuanya," tolak Allura.
Viana beranjak mendekati Allura dan memeluknya dari belakang, tepat saat itu juga Allura langsung menumpahkan air matanya. Matanya tak kuat lagi membendung air yang sedari tadi berusaha untuk menjebol pertahanannya, nyatanya Allura tak sekuat yang itu. Ia tetap manusia yang lemah dan lebih sering berusaha untuk kuat.
Viana terus mengusap punggung Allura yang yang masih terisak di dekapannya, kedua gadis itu menangis bersama-sama di depan wanita paruh baya yang masih tidak sadarkan diri. Mereka berusaha untuk saling menguatkan lewat dekapan itu.
"Kamu kuat, Ra. Kamu bisa melewati ini semua," ucap Viana. Tak ada kata-kata lain yang bisa ia ucapkan lagi. Bagaimana tidak, sahabatnya kini sedang putus asa dan terpuruk di hadapannya. Namun, ia tidak bisa melakukan apapun.
Allura tidak menanggapi ucapan Viana, ia sendiri terus menerus menumpahkan semua kegundahan hatinya lewat air mata. Benar yang orang katakan, menangis memang tidak akan menyelesaikan masalah, tetapi dengan menangis setidaknya hati bisa menjadi lebih tenang setelahnya. Hal itu cukup terbukti, Allura mulai kembali tenang setelah hampir setengah jam berlalu.
Viana dengan sigap langsung mengambilkan air minum untuk Allura yang berada di atas nakas, samping brankar Ibu Ani.
"Minum dulu, Ra," ucap Viana seraya menyerahkan sebotol air minum dalam kemasan.
"Terima kasih, Na." Allura mengambil botol air minum itu dan meneguknya sampai tersisa setengahnya.
"Bagaimana, apa kamu sudah lebih tenang?" tanya Viana.
Allura tersenyum sembari mengangguk beberapa kali.
"Sekarang aku sudah merasa lebih baik, Na" jawabnya.
"Kan, kalau kamu sedang sedih, lebih baik dikeluarkan saja dan jangan ditahan seperti tadi. Aku tidak keberatan untuk menemanimu. Kamu jangan malu karena aku melihat air matamu," ujar Viana seraya mengusap bahu sahabatnya dengan sayang, ia merasa Allura lebih dari sekedar sahabatnya. Jadi, Viana lebih baik melihat Allura menangis daripada gadis itu menahan tangisannya hingga tersiksa seperti tadi.
Allura tersenyum kembali, tetapi kepalanya menggeleng. Ia tidak terbiasa menunjukkan kelemahannya di depan orang lain. Baginya, menahan kesedihan adalah cara dia menunjukkan kesabaran.
"Tidak, Na. Aku merasa malu karena lagi-lagi sudah menangis di hadapanmu. Sekarang kamu kembali mengetahui bagaimana susahnya aku," jawab Allura sembari menunduk dan membersihkan jejak air mata yang masih menempel di wajahnya.
Viana menggeleng pelan, ia memang sahabat Allura sejak lama dan selama itu ia bisa menghitung dengan jari berapa kali Allura menangis di depannya. Saat ayahnya sakit keras sebelum beliau meninggal, lalu saat ayahnya meninggal dan yang terakhir Allura menangis beberapa saat yang lalu.
"Ya Tuhan, Ra. Kamu jangan berbicara seperti itu. Kita bersahabat sudah lama, jadi sudah sewajarnya jika aku mengetahui bagaimana susah dan sedihnya kamu," ucap Viana.
Kedua gadis itu pun berpelukan, Allura sangat bersyukur karena bisa mempunyai sahabat sebaik Viana.
"Terima kasih, Na. Terima kasih karena kamu selalu ada di sampingku dan menemaniku." Allura memeluk Viana dari samping, Viana sendiri balas memeluk Allura.
Untuk beberapa saat, keduanya saling terdiam dengan posisi saling memeluk. Hingga beberapa saat kemudian, Viana tanpa sengaja melihat jari-jari Ibu Ani yang bergerak lemah, ia segera melepaskan Allura dan meminta gadis itu untuk melihat mamanya.
"Ra, lihat! Jari Ibu gerak-gerak, kamu jaga Ibu dulu sebentar, aku akan memanggilkan dokter." Viana segera berjalan cepat menuju keluar untuk memanggilkan dokter jaga yang berada di sekitar sana.
Allura mulai melihat kelopak mata mamanya yang bergerak-gerak.
"Ma ...." Allura mencoba untuk memanggil Ibu Ani. Hingga beberapa detik kemudian, mata itu pun mulai terbuka meskipun berat.
"Mama ... Mama sudah sadar?!" tanya Allura dengan girang.
Alhamdulillah, ya Allah. Terima kasih, terima kasih karena sudah mengembalikan Mama padaku, batin Allura seraya menggenggam tangan Ibu Ani.
"A–air." Ibu Ani mulai menggumamkan kata pertamanya yang meminta air.
Allura dengan sigap memberikan air minum yang sudah dipasangi sedotan di dalamnya agar mempermudah Ibu Ani.
"Ini, Ma."
Dengan perlahan, Ibu Ani langsung meminum air itu. Setelah dirasa cukup ia pun melepaskan kembali sedotan dari mulutnya. Tak berapa lama setelah itu, Viana datang bersama dokter dan juga dua perawat yang akan memeriksa keadaan Ibu Ani.
Allura mundur beberapa langkah untuk memberikan ruang bagi dokter yang akan memeriksa mamanya, senyuman manis yang terpatri di wajah Allura. Gadis itu merasa sangat bersyukur karena Ibu Ani sudah kembali sadar.
"Dokter, bagaimana keadaan Mama saya?" tanya Allura dengan semangat.
"Alhamdulillah, beliau sudah lebih baik. Kami akan terus memantau kesehatannya setiap dua jam sekali. Sekarang tolong biarkan dia untuk istirahat dulu dan jangan sampai memberikannya tekanan yang berat," saran dokter itu sebelum dia pergi.
Allura mengangguk paham saat mendengar ucapan dokter yang baru saja memeriksa mamanya.
"Baik, Dokter. Kami mengerti," jawab Allura dan Viana bersama-sama. Keduanya pun kembali tersenyum saat menyadari tingkah kekonyolan mereka.
Setelah pamit pada tiga wanita yang ada di hadapannya, dokter itupun berlalu dari sana.
"Lura," lirih Ibu Ani pelan.
Allura yang merasa dipanggil oleh mamanya segera menghampiri beliau. Sementara itu, Viana langsung berjalan ke arah seberang Allura agar bisa berdiri di samping brankar Ibu Ani.
"Iya, Bu. Lura dan Ana ada di sini," jawab Allura.
Viana segera menyentuh tangan Ibu Ani.
"Ibu jangan banyak gerak dulu," ucap Viana yang langsung diangguki oleh Allura.
"Iya, Bu. Viana benar, Ibu jangan banyak gerak dulu," timpal Allura.
Wanita paruh baya itu pun tersenyum seraya mengangguk samar menanggapi ucapan sang anak.
"Ibu rindu Lura," ucap Ibu Ani.
"Lura juga rindu Ibu," jawab Allura seraya mendekatkan tubuhnya agar bisa memeluk Ibu Ani, Viana ikut memeluk mereka berdua. Untuk sesaat ketiga wanita itu terdiam dengan posisi saling memeluk satu sama lain, mereka larut dalam rasa syukur dan bahagianya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 134 Episodes
Comments
Neli Astini
ini kenapa lurah kadang manggil ibu kadang mama
2022-03-31
0
Lee Joo Hong Nuswantara
agak bertele tele ya. takutnya keburu bosan bacanya. cerita dan bahasanya bagus 👍
2022-03-11
0
Bzaa
sedihnyaa.... 😰
2022-03-09
1