Allura masuk ke dalam ruang rawat Ibu Ani saat dokter sedang memeriksa mamanya.
"Permisi, Dokter, suster," sapa Allura.
Dokter serta suster yang sedang memeriksa Ibu Ani pun menengok sekilas dan mengangguk untuk menanggapi sapaan Allura.
"Dokter, bagaimana keadaan Mamaku saat ini? Apakah masih stabil? Dan ... kenapa beliau sampai saat ini belum bangun?" tanya Allura dengan menatap sang dokter penuh harap, ia membutuhkan jawaban yang pasti untuk keadaan mamanya.
"Sabar, Dek. Ibu Ani keadaan yang masih stabil. Adek teruslah berdoa dan bantu beliau agar cepat kembali mendapatkan kesadarannya," jawab dokter paruh baya itu.
Allura hanya mengangguk pelan setelah mendengar jawaban dokter paruh baya itu. Benar apa yang diucapkan sang dokter padanya, dia harus sabar dan terus berdoa supaya Ibu Ani cepat mendapatkan kesadarannya kembali.
"Terima kasih, Dok." Allura memaksakan bibirnya 'untuk tersenyum, meskipun senyuman itu tipis.
Sepeninggalan dokter dan suster, Allura segera menutupi ruangan mamanya dengan tirai agar tidak terganggu oleh para penunggu pasien lain. Setelah memastikan semuanya aman, Allura pun mulai membuka box pumping yang diterimanya siang tadi. Gadis itu mengambil note kecil yang ada di dalam tasnya, ia membuka kembali catatan tentang penggunaan pumping, ia juga membaca jadwal terapi induksi laktasi yang harus dilakukannya. Semua biaya terapi itu sudah ditanggung oleh Rivera, jadi Allura hanya perlu mempersiapkan dirinya saja.
Oh, harus bertahap, ya, batinnya.
Setelah selesai membaca semuanya, Allura pun merapikan kembali barang-barangnya. Meskipun ia sangat penasaran dengan alat pumping itu, tapi tidak mungkin jika mencobanya di sana, apalagi di depan Ibu Ani.
***
Pagi menjelang. Seperti biasa, Allura bangun saat adzan subuh berkumandang. Gadis itu segera berjalan keluar ruang rawat Ibu Ani dan melangkah menuju Mushola yang tak jauh dari sana.
Selesai mengerjakan tugas kewajibannya, Allura mampir ke kantin rumah sakit untuk membeli secangkir kopi yang biasa ia minum setiap pagi. Saat hendak membayar, tiba-tiba ada seorang pria yang memanggilnya.
"Mbak Lura!" sapa pria itu.
Allura membalikan tubuh untuk melihat seseorang yang baru saja memanggilnya.
"Lho, Mas Edwin?"
"Iya, Mbak. Lagi beli kopi, ya?" tanya Edwin saat ia melihat secangkir kopi yang berada di tangan Allura.
"Iya, Mas." Allura mengangguk dua kali membenarkan pertanyaan Edwin.
Saat mereka masih berdiri, tiba-tiba ada pria lain yang menghampirinya, tapi pria itu datang hanya untuk menegur Edwin yang tengah berbincang dengan Allura.
"Win, bukankah tadi kamu pamit untuk membeli kopi? Apakah sekarang kopinya sudah kamu dapatkan?" tanya Arzan dengan sinis.
Mendengar pertanyaan bosnya, Edwin hanya tersenyum kaku seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Iya ... Tuan. Saya belum mendapatkan kopinya–"
"Lalu kenapa kamu malah berdiri di sana?" Pertanyaan sinis itu kembali terlontar dari bibir Arzan dan menghentikan ucapan Edwin yang belum selesai.
Allura hanya tersenyum samar saat melihat Edwin yang tengah ditegur oleh atasannya, karena merasa tidak enak hati, Allura pun segera berpamitan pada Edwin dan melewati Arzan begitu saja. Meskipun Allura tahu jika Arzan adalah pria yang ditolongnya malam itu, tapi ia tidak berniat untuk menegurnya.
Bukan tanpa alasan Allura malas menegur pria itu, tapi ia enggan karena melihat sikap Arzan yang terlihat angkuh dan sombong. Allura pikir dari pada dirinya sakit hati saat menegur pria itu, lebih baik ia tidak mengingat kebaikannya sendiri dan membiarkan Arzan begitu saja. Apalagi Allura bisa melihat jika Arzan saat ini sudah benar-benar sehat.
Cih, gadis kampungan seperti dia kenapa mendekati Edwin? Tunggu ... apakah gadis itu yang semalam Edwin bicarakan? tanya Arzan dalam hatinya, ia ingat jika asistennya itu sempat membicarakan seorang wanita yang ia bonceng saat perjalanan menuju rumah sakit tadi malam.
Sudahlah, peduli apa aku. Toh itu urusan mereka berdua, sambung batin Arzan lagi.
Setelah Edwin mendapatkan kopinya, Mereka pun berjalan menuju pelataran rumah sakit dan mengambil kendaraannya. Pagi ini motor Edwin sudah berubah menjadi mobil yang dikemudikan oleh Pak Ujang, pelayan yang satu itu memang sangat setia pada Arzan, sehingga ia bisa mengetahui apa yang dibutuhkan oleh tuannya, tanpa harus menunggu tuannya berucap.
Arzan duduk di jok penumpang, sedangkan Edwin duduk disebelah supir, di samping Pak Ujang.
"Maaf, Tuan. Saya teh baru mendapat kabar dari Bi Meli, Nyonya Rona dan Tuan Rama akan pulang hari ini. Mereka memutuskan untuk pulang cepat setelah mendapat kabar bahwa Anda mengalami kecelakaan," lapor Pak Ujang sebelum ia mengemudikan mobilnya.
Arzan terdiam sesaat, ia bimbang jika harus bertemu kedua orang tuanya. Apalagi saat ini hubungannya dengan Rivera tidak semulus awal-awal pernikahan mereka, tapi jika ia tidak menemuinya, pasti mereka yang akan mendatangi rumah Arzan.
Setelah terdiam beberapa saat, akhirnya Arzan pun meminta Pak Ujang untuk membawanya pulang ke rumah milik kedua orang tuanya.
"Pulang ke rumah utama saja, Pak."
"Baik, Tuan," jawab Pa Ujang seraya mengangguk samar.
"Win, teleponkan Vera untuk pulang ke rumah Mama dan Papa," perintah Arzan pada Edwin.
Edwin merasa sedikit heran, padahal sekarang Arzan sudah mendapatkan kembali ponsel serta nomor lamanya, tapi masih meminta dia untuk menghubungi istrinya sendiri. Meskipun sedikit heran, tapi itu tidak membuat Edwin menolak perintah tuannya.
"Baik, Tuan," jawab Edwin dengan lesu seraya mulai mencari nomor nyonya mudanya.
Arzan sedikitpun tidak tertarik pada wanita itu, apalagi setelah ia melihat bukti-bukti perselingkuhan Rivera dengan salah satu fotografernya. Arzan juga bertekad untuk mengambil bayi milik Rivera setelah istrinya itu melahirkan sang anak, ia tidak mungkin hidup dengan wanita penghianat seperti Rivera.
Arzan masih sibuk dengan lamunannya, sampai-sampai ia tidak menyadari Jika ternyata Edwin sudah memanggilnya sejak tadi.
"Tuan, apa Anda sedang melamun?" tanya Edwin saat Arzan sudah menatapnya.
"Kenapa kamu berpikir jika aku sedang melamun?"
"Saya sudah memanggil Anda beberapa kali, tapi Anda masih tetap terdiam," jawab Edwin.
"Ck, bagaimana dengan wanita itu?" tanya Arzan untuk mengalihkan pembicaraan nya.
Edwin tahu jika Arzan sedang mengalihkan pembicaraan mereka, tetapi ia tidak ambil pusing karena hal seperti itu sudah sering terjadi diantara keduanya.
"Wanita itu?" tanya Edwin dengan bingung, bahkan pria itu sedikit mengangkat alisnya saat mendengar pertanyaan dari atasannya.
"Ya siapa lagi jika wanita itu bukan Rivera," jawab Arzan dengan ketus.
Edwin mengangguk mengerti. "Nyonya muda saat ini sedang ada di kota. beliau sedang melakukan pemotretan di daerah F, Tuan," ucap Edwin yang memberitahukan keberadaan Rivera saat ini.
Arzan cukup terkejut saat mendengar jawaban Edwin yang mengatakan jika istrinya sedang berada di kota F. Padahal jarak dari kota C ke kota F itu memakan waktu hingga empat jam lamanya, tapi Rivera memaksakan dirinya untuk tetap pergi ke sana. Bahkan wanita itu tidak memperhatikan kehamilannya yang semakin membesar.
Ya Tuhan, wanita itu benar-benar membuat geram dengan semua tingkahnya yang semakin menjadi, batin Arzan seraya mengusap wajahnya dengan kasar, ia merasa frustasi sendiri saat harus menghadapi Rivera, istrinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 134 Episodes
Comments
Dwi Hartati Har
Rivera og jahat amat sih bikin gregetan aja Thor.......
2022-03-03
1
Riyani
ceritanya berbelit".. kurang menarik..banyak kata" kurang penting...
2022-02-28
0
Angle
kota F...apa ya....Fakfak di Papua?
2022-02-24
0