Namaku Salma. Aku seorang wanita berusia tiga puluh lima tahun, yang tinggal di sebuah desa di pedalaman. Aku dan keluarga tinggal di tanah yang dulunya milik Perhutani yang sekarang sudah menjadi pemukiman.
Dan di sini aku hidup dengan suami dan anak semata wayangku. Suamiku bernama Hendro, dia berusia tiga puluh tujuh tahun dan anakku bernama Diana, berusia dua belas tahun.
Kami menjalani hidup serba sederhana, bersama-sama mencari nafkah untuk menghidupi anak semata wayang kami. Walaupun hidup dengan keadaan sederhana, tetapi itu sudah membuat kami merasa bahagia.
Sebenarnya dalam hati kecil kami, juga ingin Diana hidup dengan layak seperti anak-anak yang lain. Tapi entah takdir berkata lain, kami ditakdirkan hanya menjadi orang yang tak punya.
Suamiku bekerja sebagai tukang ojek, dia setiap hari berangkat pagi dan pulang pasti selalu malam. Dia hanya lulusan sekolah dasar, jadi tidak punya keahlian untuk kerja yang lebih dari ini.
Kalau pun kerja lain, ya hanya sebagai kuli bangunan, itu pun kalau lagi ada. Kesehariannya hanya sebagai tukang ojek yang dapat uang tak seberapa, namun dia tetap bersemangat untuk mencapai tekadnya, demi menyekolahkan anaknya agar bisa kejenjang yang lebih tinggi.
Anakku bernama Diana, dia anak yang cukup berprestasi di sekolahnya dan selalu diikut sertakan setiap lomba yang mewakili sekolahannya.
Kalau Diana senggang juga membantuku untuk berjualan. Walaupun dia tak pernah menuntut apa pun dari kami sebagai orang tuanya, kami tetap ingin memberikan kehidupan yang layak untuknya.
Kami juga pernah berpikiran, takut dia malu memiliki ayah dan ibu hanya sebagai tukang ojek dan pedagang keliling. Pernah, sekali aku bertanya ke Diana soal keadaan kami.
"Nak, apa kamu pernah merasa malu punya Ayah dan Ibu orang yang tidak punya?" tanyaku.
"Kenapa harus malu, Bu? Kalian berdua yang terbaik buatku. Aku tidak peduli orang akan memandang kita serendah apa pun, toh kita tidak pernah minta bantuan ke mereka," jawabnya.
Aku yang mendengar ucapannya pun sontak memeluk dan tersenyum bahagia.
"Maafkan kami ya, Nak? Jika selama ini kita belum bisa membahagiakan kamu?" ucapku.
"Kata siapa, Bu? Aku tidak bahagia. Aku ini sudah sangat bahagia dan bersyukur," jawab Diana sembari melepaskan pelukanku.
"Walaupun kita tak bergelimang harta, tapi kita punya sejuta cinta, Bu," ucapnya lagi sembari tersenyum.
Aku mendengar ucapan Diana, merasa bahagia dan bersyukur akan kehadiran mereka dalam kehidupan aku.
***
Keesokan harinya....
Pagi itu seperti biasa, aku bangun lebih awal dari anak dan suamiku. Aku bergegas ke dapur untuk menyiapkan sarapan kedua orang yang aku sayangi dan cintai.
“Bu ... Ibu." Aku mendengar Diana memanggilku.
“Iya, Ibu di belakang, Na. Lagi nyiapin sarapan,” jawabku.
Diana melangkahkan kaki berjalan ke dapur yang letaknya di rumahku bagian belakang.
Aku melihatnya sudah mengenakan seragam sekolahnya.
Walaupun Diana sudah rapi, tetapi dia dengan rajin membantuku untuk menyiapkannya. Kami bebenah sembari mengobrol.
"Bu, Ayah apa sudah berangkat?” tanya Diana.
“Belum, Ayahmu masih mandi," jawabku.
“Kamu sarapan dulu, ya. Sebentar lagi, Ayahmu juga sudah selesai mandinya,” perintahku lagi.
Diana pun mengambil makanannya terlebih dahulu, aku melihat dia dengan lahapnya maka walaupun dengan lauk seadanya.
"Maaf ya, Nak. Kalau kamu setiap hari sering makan tempe dan sambal saja?" ucapku.
"Tidak apa-apa, Bu. Ini lebih dari cukup, aku merasa bersyukur karena hari ini aku masih bisa makan," ucap Diana.
"Iya, Nak. Mungkin di luar sana ada yang lebih buruk keadaanya dari pada kita. Mungkin hari ini ada yang tidak makan sama sekali," kataku lagi.
"Iya, Bu. Kemungkinan demi kemungkinan pasti ada, Bu. Makanya aku tak pernah mengeluh karena aku yakin kita lebih baik dari mereka, yang tak punya rumah bahkan tak ada makanan sama sekali," jawab Diana.
"Iya, Nak. Makasih ya, kamu anak yang baik buat kami berdua," ucapku sembari mengelus kepalanya.
Saat kami asyik mengobrol, Mas Hendro pun sudah selesai mandi dan menyusul kami yang terlebih dahulu sarapan. Tidak terlalu lama kita semua selesai sarapan, kemudian Mas Hendro dan Diana mulai pamit untuk berangkat.
Aku lihat jam baru menunjukan pukul 06.15 WIB. Mas Hendro dan Diana, sudah biasa berangkat lebih awal.
“Bu. Nana berangkat dulu, ya." Diana mencium tanganku.
Dan aku membalas dengan mencium keningnya. Setelah itu, Mas Hendro pun ikut berpamitan.
“Berangkat dulu ya, Dek,“ pamit Mas Hendro, sambil mencium keningku.
“Iya, Mas. Hati-hati bawa motornya jangan ngebut, Nana juga yang pintar sekolahnya ya, Nak," ucapku.
Mereka pun berlalu pergi, sedangkan aku mulai dengan Aktivitasku. Aku di desa, dikenal sebagai penjual gorengan keliling kampung dengan berjalan kaki. saat ini, aku melanjutkan menggoreng dagangan yang tadi sempat di tinggal untuk menemani anak dan suamiku bersarapan.
Setelah semua selesai, aku menyiapkan dagangan untuk berkeliling, setelah itu segera berganti pakaian terlebih dahulu. Lalu, aku mulai berkeliling menjajakan daganganku.
“Gorengan ... gorengan!" aku berteriak menawarkan daganganku.
Aku melihat di depan banyak Ibu-ibu sedang berkumpul, lalu segera menghampiri mencoba menawarkan daganganku.
“Gorengannya, Bu?” aku menawarkan.
“Pisang gorengnya, sama mendoannya ada, Mbak Salma? Sengaja dari tadi aku tunggu di sini, Mbak,” tanya Bu Tati tetanggaku.
“Ada, Bu. Mau berapa?” tanyaku sambil mengambilkan kantong plastik untuk Bu Tati.
“Mau dibungkusin pisangnya sepuluh ribu, mendoannya lima belas ribu ya, Mbak Salma. Kebetulan di rumah lagi ada orang benerin dapur, biar buat cemilan mereka,” ujar Bu Tati, sembari memberi uang kepadaku.
“Alhamdulillah, terima kasih ya, Bu Tati. Sudah diborong dagangan saya,” ucapku.
Aku mulai membungkus buat Bu Tati. Sembari memberikan gorengan yang dibeli, kembali aku ucapkan terima kasih dan berpamitan untuk kembali menjajakan daganganku ketempat lain.
“Mari, Ibu-ibu?” pamitku ke mereka, sembari menganggukkan kepala.
_____________
Tidak perlu lama daganganku pun habis, karena tadi sebagian sudah diborong Bu Tati.
Setelah itu berjalan pulang. Sesampainya di rumah, aku beristirahat duduk di kursi sambil menunggu Diana pulang sekolah.
Saking capeknya aku pun tertidur. Entah berapa lama aku tertidur, aku mulai mendengar ketukan pintu.
******
Tok tok tok..
“Assalamualaikum, Bu. Nana pulang." Diana mengetuk pintu dan mengucapkan salam.
Aku bangun dari tempat dudukku, lalu berjalan ke arah pintu.
”Wa’alaikumsalam.” Sahutku.
“Bu, Diana besok diikutkan lomba cerdas cermat antar kecamatan, loh." Dengan raut wajah bahagia Diana memberitahu.
“Alhamdulillah, Belajar yang benar ya, Na. Biar dapat juara,” ucapku dengan mengelus kepala Diana.
“Iya, Bu. Nana ganti baju dulu ya,” Diana berlalu ke kamarnya.
Diana anak yang rajin dan penurut. Dia selalu bersemangat untuk melakukan kegiatan yang akan dia ikuti.
“Bu. Nana makan, ya." Diana menghampiri.
“Iya, Na. Ambil makanannya." Aku menyiapkan makanan Diana di piring.
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 203 Episodes
Comments
ARSY ALFAZZA
fav, boomlike and rate bintang ⭐⭐⭐⭐⭐🤗 saling mendukung ya Thor 😇
2020-11-05
0
Andi
Mantep
2020-08-21
2
Angela Jasmine
Lanjuuuttt lagi kakak 👍👍
2020-07-17
0