Setelah ibu membaringkanku di tempat tidur, ibu lantas pergi keluar kamar. Aku sayup-sayup mendengar ibu menelepon seseorang, pasti itu ayah. Tak berselang lama beliau kembali dengan membawa segelas air.
“Dek, ini airnya di minum Dulu. Tadi Ibu sudah bacakan surat yasin, semoga Dedek sudah tidak apa-apa,” kata ibu sambil memberikan air kepadaku.
Aku menerima air dari ibu dan lekas meminumnya.
“Bu, sebenarnya tadi Dedek kenapa? Dedek setelah menunjuk, lalu sudah tidak ingat apa-apa lagi,” tanyaku ke ibu sembari mencoba mengingatnya.
Ibu memeluk dan mengelus kepalaku.
“Dedek tadi, kerasukan arwah yang di lihat. Tadi mau ambil anak Mbak Sekar lo, Dek. Katanya anak dia,” kata ibu memberitahu.
“Kok bisa ya, Bu. Apa aku membawa sial, sih? Bu, setiap aku mencoba memberi tahu selalu saja ada kejadian,” kataku sambil menundukkan kepala.
“Kata siapa, Dedek membawa sial? Enggak kok, Dek. Tadi aja Mbak Sekar berterima kasih kepada Dedek, berarti tandanya Dedek bukan pembawa sial, tetapi justru sebaliknya,” jawab ibu mencoba menenangkanku.
“Tetapi, Bu ...." Aku mencoba berbicara kembali.
“Sudah, istirahat saja. Sebentar lagi Ayah pulang, Ibu memberitahu Ayahmu soal kejadian tadi. Dedek istirahat saja,” kata ibu sambil melangkah keluar kamarku.
Aku mencoba memejamkan mata, lalu aku pun tertidur terbuai dalam mimpi indahku.
_____________
Cukup lama aku tertidur, aku merasakan tubuhku di gerakkan. Kemudian mencoba membuka mata secara perlahan.
“Dek, ayo bangun. Mandi terus salat dulu, yuk,” ayah membangunkan aku.
“Ayah, Kapan datang?” tanyaku.
“Barusan, Dek. Ayo, mandi dulu terburu sore.” Ayah menyuruh sembari keluar kamarku.
Aku bangun melakukan perintah ayah, ketika semua selesai aku keluar kamarku untuk mencari kedua orang tuaku.
“Ayah, Ibu." aku memanggil.
“Di dapur, Dek." Ibu menjawab.
Aku jalan menuju dapur.
“Duduk sini, Dek,” kata ayah sambil menepuk kursi mencoba membersihkan debu.
Aku menghampiri ayah, ketika aku melihat ibu aku dikagetkan sosok wanita yang aku lihat di rumah Mbak Sekar.
“Pergi dari sini, Pergi!" aku melempar buah yang ada di meja makan ke arah sosok itu.
Aku melakukannya berulang-ulang, ayah memelukku mencoba menyadarkan aku.
“Dedek ... itu Ibu, Nak. Kamu lihat lagi sayang!” ayah berbicara kepadaku.
“Bukan, Yah. Itu perempuan tadi, Yah. Suruh dia pergi dari rumah kita,” kataku dengan jari telunjuk menunjuk ke arah ibu.
“Dek, ini Ibu sayang,” ujar ibu.
Aku mendengar ibu berkata, lalu secara perlahan-lahan mencoba melihatnya.
“Ibu, maafin Dedek ya, Bu,” kataku sembari aku menangis sesegukan.
Aku sudah tidak melihat sosok itu, lalu ibu mencoba mendekatiku kemudian memelukku.
"Yah, bagaimana kita coba ruqyah saja Dedek?" ibu bertanya ke ayah.
"Nanti, Ayah coba ke rumah Pak kyai, Bu," kata ayah.
Aku berpikir, emang sepertinya ada yang salah dalam diriku, aku membuat orang di sekelilingku kewalahan, kerepotan. Memang aku pembawa sial. Benar yang diucapkan teman-teman satu kelasku, aku anak aneh, aku pembawa sial.
Dalam hatiku berkata seperti itu, entah dari kapan aku meneteskan air mata.
"Dek, apa yang lagi Dedek pikirkan?" ayah mencoba mengajakku bicara.
"Tidak ada, Yah," jawabku mencoba menyembunyikannya dari ayah.
"Ya, sudah. Ayo, makan dulu ya, Dek." Ajak ayah.
Aku ambil makananku. Ternyata tetap tidak bisa menyembunyikan yang aku pikirkan dari ayah. Selama makan, ayah mencoba tidak membahas agar aku bisa menghabiskan makananku. Selesai kami makan, kami berkumpul di depan televisi.
"Yah, apa aku pembawa sial, sih?" aku mencoba bertanya ke ayah.
"Tidak, Dek. Dedek adalah Anugerah yang diberikan oleh yang Maha Kuasa, Allah SWT untuk Ayah dan Ibu. Jadi Dedek jangan pernah berpikir Dedek pembawa sial, ya!" kata ayah.
Aku tidak menanggapi kata-kata ayah, tiba-tiba aku teringat oleh gambaranku.
"Oh iya, Yah. Ada yang mau Dedek tunjukan ke, Ayah," kataku.
Aku berlalu pergi pergi ke kamar mengambil gambar, dengan segera kubawa menuju ke ayah.
"Yah lihat ini!" aku memberikan buku gambarku ke ayah.
Ayah mulai melihat gambarku.
"Ada apa dengan gambar ini, Dek?" tanya ayah.
"Aku mimpi dia dua kali, Yah. Yang pertama ketika aku ketiduran di sofa ruang tamu, dia hanya tersenyum dari kejauhan, yah. Yang kedua semalam yah, tetapi kali ini dia mencoba mendekat," aku bercerita ke ayah.
"Terus kenapa, Dek? Apa Dedek pernah melihatnya?" tanya ayah.
"Sepertinya pernah, Yah. Dia anak Ibu Salma Yah ... aku melihat dia di rumah Bu Salma. Tetapi itu juga tidak terlalu jelas kok, Yah," jawabku.
"Bagaimana kalau kita ke sana saja, Yah?" kataku lagi.
"Dedek ini ada-ada saja, nanti kita ke rumah Bu Salma malah menyinggung perasaan mereka," sahut ibu.
Aku menoleh ke arah ibu.
"Karena itu juga belum tentu yang kamu lihat anak mereka, Dek," kata ibu lagi.
"Lagi pula, apa Dedek tahu jalan pergi ke rumah Bu Salma?" tanya ayah.
"Rumahnya, itu di dekat tempat campingku kemaren, Yah," jawabku.
"Di daerah mana, Dek? Siapa tahu ayahmu ngerti," tanya ibu.
"Enggak tahu sih, Bu nama desanya. Tetapi dari sini perjalanannya satu setengah jam deh kemaren, Yah," jawabku.
"Ada-ada saja kamu, Dek." Ayah mengelus kepalaku.
"Oh, iya, Yah. Hari sabtu aku ambil rapot, Yah. Bagimana kalau Ayah tanya Pak Andi saja?" usulku.
"Iyain saja deh, Yah. Biar anakmu tidak kepikiran," kata ibu mencoba membujuk ayah.
"Iya-iya. Nanti Ayah tanya ke gurumu itu, Dek," jawab ayah.
Aku mendengar ucapan ayah, seketika hatiku sedikit lega. Malam mulai larut aku pergi untuk tidur.
"Bu, temenin, ya? Dedek takut wanita tadi siang ke sini lagi, Bu." Aku mengajak Ibu.
*********
Hari sabtu pun tiba berarti waktunya ayah mengambil rapotku. Aku tetap membawa buku gambarku ke sekolah.
"Hai, Key. Kamu bawa lagi buku itu?" tanya Dinar.
"Iya, Din. Mau aku kasih tahu ke Pak Andi nanti," jawabku.
"Apa hubungannya sama, Pak Andi?" Dinar bertanya lagi.
"Aku mau ke rumah Bu Salma, Din. Aku penasaran sama mimpiku," jawabku.
"Nekad ya kamu, Key. Kalau ada apa-apa, bagaimana?" kata Dinar.
"Aku sama Ayahku kok, Din. Nanti kayanya bawa Pak kyai juga," jawabku.
Aku menunggu ayah di luar kelas sambil ngobrol-ngobrol dengan teman-temanku. Aku melihat ayah keluar kelas, bersama Pak Andi.
"Keyla, bisa ikut Bapak ke kantor?" tanya Pak Andi.
Aku melihat ayah yang menyuruhku mengangguk. Aku tidak menjawab, aku hanya menganggukkan kepala tanda mengiyakan ajakan Pak Andi. Aku menuju kantor dengan menggandeng tangan ayah.
"Bapak bisa melihat gambarnya, Key?" tanya Pak Andi.
Aku memberikan buku gambarku. Pak Andi mulai melihat gambarku itu.
"Apa kamu yakin, Key. Kalau itu adalah salah satu anak dari warga di sana?" tanya Pak Andi.
"Iya, Pak. Aku pernah dua kali melihatnya di rumah Bu Salma, Pak. Dia juga melihatkan senyumannya tetapi itu dari kejauhan, jadi tidak terlihat begitu jelas, Pak," jawabku.
"Baiklah, apa kamu tahu cerita soal anak ini?" tanya Pak Andi.
"Tahu, Pak. Ibu dari anak ini pernah bercerita, soal bagaimana kematian anak itu dan anak itu bernama Diana, Pak," jelasku.
Aku mulai bercerita ke Pak Andi, dari awal hingga kematian Diana yang tragis. Tiba-tiba di pertengahan cerita ketika aku bilang soal kecelakaan itu, Pak Andi memotong ceritaku.
"Sebentar, Key. Kejadian empat tahun yang lalu?" kata Pak Andi sambil mengingatnya.
"Iya, Pak. Empat tahun lalu," kataku.
"Kecelakaan, di tabrak oleh truk? Siswi SD yang dibonceng oleh gurunya, ditabrak oleh truk yang remnya blong ya, Key? Saya tahu kecelakaan ini," kata Pak Andi.
"Iyakah? Bapak tahu, kecelakaan itu?" tanyaku mencoba memastikan.
"Iya, Key. Anak itu langsung meninggal di tempat kejadian dan gurunya kritis di bawa ke rumah sakit. Tetapi sampai sana nyawanya juga tidak tertolong. Kamu lanjut ceritanya ya, Key." Pak Andi menyuruhku bercerita lagi.
Aku kembali bercerita soal Diana mendatangi ayahnya juga sampai empat tahun ini, Aku juga bercerita kalau waktu camping juga melihatnya. Aku sampai hampir kelupaan, menanyakan soal kertas yang di saku Diana ke Pak Andi.
"Pak, maaf. Apa Bapak melihat kertas di saku Diana ketika dia kecelakaan?" tanyaku.
Pak Andi mencoba mengingat.
"Iya, Key. Bapak tahu, kertas itu memang ada, tetapi kalau tidak salah kertas itu jatuh dan terbang ketika jenazah Diana mau di bawa ke rumah sakit," jawab Pak Andi.
"Bagaimana, kalau kita langsung ke sana saja, Pak? Kebetulan tadi saya membawa mobil," ajak ayahku.
"Baik, Pak. Kita langsung ke sana saja," jawab Pak Andi mengiyakan.
Aku duduk di kursi bekalang, sedangkan Pak Andi di samping ayah. Sebelum berangkat, ayah menghubungi untuk meminta izin ibu. Dan ternyata ibu mau ikut karena merasa mengkhawatirkan aku. Mobil melaju menuju rumahku terlebih dahulu, lalu pergi ke rumah Bu Salma.
____________
Perjalanan cukup jauh membuat aku tertidur sepanjang perjalanan.
"Dek, sudah sampai. Ayo bangun." Ibu membangunkan aku.
Aku bangun, saat ayah berhenti tepat di depan mushola yang berada dekat dengan tempatku camping waktu itu.
"Ayah, itu rumah Bu Salma." Aku menunjuk ke rumah Bu Salma.
"Mobilnya diparkir di sana saja bagaimana, Pak? Pekarangannya di sana luas," ajak Pak Andi.
Ayah melajukan mobilnya ke depan rumah Bu Salma. Mobil berhenti tepat di depan rumah dan di sana Bu Salma langsung ke luar dari balik pintu.
Aku keluar dari mobil hendak memanggilnya.
"Assalamualaikum, Bu Salma," panggilku.
Bu Salma melihatku langsung memelukku.
"Waalaikum salam. Ada apa, Nak?" tanya Ibu Salma.
"Mari masuk." Ajak Bu Salma kepada kami semua.
Aku memperkenalkan ayah, ibu dan guruku Pak Andi. Sedari tadi tidak melihat Pak Hendro Ayah Diana, di sini aku lihat Ibu Salma bingung dengan kedatangan kami semua.
"Bu Salma, Pak Hendro masih mengojek?" tanyaku.
"Iya, Nak. Apa perlu, Ibu menyuruh tetangga untuk memanggilkannya?" tanya Ibu Salma.
"Iya, Bu. Maaf ya merepotkan," kataku.
"Tidak merepotkan, kok. Sebentar ya, saya tinggal terlebih dahulu." Ibu Salma berpamitan, untuk pergi meminta tolong kepada tetangganya untuk memanggil suaminya.
Kami menunggu di rumah Bu Salma. Tiba-tiba Ayah teringat kalau lupa panggil Pak Kyai.
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 203 Episodes
Comments
Fitria novia
cemangaaaaaat
2020-09-02
0
Kadek
kk lina ane mmpir
semngt ya
lieknya disini aja
2020-07-20
1
Athaya Winangun
cemunguts
2020-06-30
1