Namaku Hendro. Aku bekerja sebagai tukang ojek untuk memenuhi kebutuhan keluargaku setiap hari. Walaupun dengan penghasilan yang sedikit, ini tak membuatku menyerah untuk membahagiakan anak dan istri yang aku sayangi.
Aku bekerja sekuat tenaga selagi bisa mendapatkan uang yang halal. Terkadang jika ada proyek yang membutuhkan kuli, aku juga bekerja sebagai kuli bangunan.
Tetapi pekerjaan sebagai kuli tidak ada untuk setiap waktu. Jadi aku pasrahkan hidupku hanya sebagai tukang ojek, karena aku tak mempunyai keahlian apa pun. Aku sadar hanya sebatas lulusan SD.
Istriku bernama Salma, dia sosok istri yang baik dan tak pernah mengeluh dengan keadaan yang kami alami. Dia pun ikut membantu mencari nafkah dengan cara berjualan gorengan keliling desa.
Aku merasa bersyukur, karena mempunyai pendamping yang tak pernah menuntut melebihi batas kemampuanku. Walaupun dengan itu, aku masih tetap kuat dengan tekadku untuk bisa membahagiakannya.
Selain itu, kami berusaha untuk membahagiakan anak semata wayang kami yang bernama Diana. Meski Diana juga tidak pernah menuntut keinginannya kepada kami, tapi tetap ingin membuat dia bahagia. Terkadang kami sebagai orang tuanya berpikir takut, kalau anak kesayangan kami malu dengan keadaan orang tuanya.
Ternyata kami salah, pernah kami berdua mencoba bertanya dengan dia soal keadaan kami sebagai orang tuanya. Ternyata sedikit pun dia tidak pernah merasa malu, karena Diana paham akan kondisi ekonomi kedua Orang tuanya.
______________
Seperti biasa aku pergi mengojek dari pagi hingga larut malam. Kala aku melihat hari sudah larut malam, aku pun menaiki motor bututku satu-satunya untuk pulang, karena hanya ini harta benda kami yang berharga. Malam itu aku melajukan motorku dengan perlahan untuk sampai rumahku.
Sesampainya di perkarangan rumah, kulihat istri dan anakku berada di depan rumah. Di dalam benakku merasa heran, cuaca yang dingin seperti ini ketika malam, tidak biasannya mereka menungguku sampai di depan rumah. Biasanya mereka menungguku hanya di dalam rumah saja. Kuparkirkan motorku, lalu menghampiri mereka.
“Loh, Nana sama Ibu kok di luar? Apa tidak kedinginan?” tanyaku merasa heran.
“Lumayan lah, Mas. Ini, si Nana ngeyel mau nungguin Mas di depan rumah,” jawab Salma.
“Tumben, Nak? Belajar di dalam ya, di luar agak gelap lampunya, takut mata kamu nanti sakit dan udaranya ini sangat dingin," ajakku ke mereka.
Kami pun masuk kedalam rumah, Aku tinggalkan anak dan istriku yang duduk di kursi kayu di ruang tamu, sedangkan aku mulai membersihkan badan. Tak butuh waktu lama, selesai membersihkan badan aku kembali menghampiri mereka.
Aku melihat anakku masih asik dengan bukunya. Tak pernah sehari pun dia lupa untuk membaca ulang buku pelajarannya. Aku hampiri dia, untuk menemani dan sekedar mengobrol.
“Belajar apa, Na?” tanyaku ke Diana.
“Bahasa Inggris, Yah. Oh, iya Yah. Besok aku dan Putri mewakili sekolahan untuk lomba cerdas cermat antar kecamatan, loh," Diana memberi tahuku.
“Iya, Na. Yang pintar ya, jadi anak yang membanggakan bagi Ayah dan Ibu. Meski kita orang tidak mampu, tidak ada salahnya kita berusaha lebih baik,” nasihatku.
Aku melihat hari sudah kian larut. Aku menyuruh anakku untuk segera beristirahat, dia anak yang penurut dengan sekali ucapan dia pasti berangkat.
Malam itu, kami pun pergi untuk tidur. Setelah sampai kamar aku baringkan tubuhku di atas kasur, walaupun tidak empuk tapi ini tempat ternyaman menurutku.
Malam itu, sebelum tidur istriku bercerita kalau besok Diana bisa menjadi juara, dia akan mendapatkan hadiah. Dan hadiah yang akan diraih Diana, apabila dia menjadi juara mendapatkan piala, piagam dan tentunya uang sebesar tiga ratus ribu. Selain itu istriku juga menyampaikan keinginan Diana untuk membeli sepatu.
Ketika mendengar cerita istriku soal keinginan Diana, aku semakin bersemangat dan bertekad untuk menuruti keinginannya, karena selama ini dia tidak pernah meminta barang apa pun kepada kami. Kalaupun kita menawari barang yang dimiliki temannya yang harganya terlihat mahal, dia tidak pernah mau.
Aku tahu, kalau di hati kecilnya dia pasti pengen, tetapi tak pernah mau untuk memberitahukannya. Setelah itu, kami memutuskan untuk segera tidur.
***
Keesokan harinya ....
Ayam berkokok tanda pagi sudah kembali lagi, aku bangun dari tidur untuk bersiap-siap pergi mengojek.
Pagi ini aku merasa semangat mencari uang lebih, agar bisa membelikan sepatu Diana.
Aku pun berangkat terlebih dahulu karena Diana mau di jemput gurunya.
Aku mengendarai motorku ke kampung sebelah, di sana adalah tempatku mencari rezeki sebagai tukang ojek. Sesampainya di sana, aku parkirkan motorku. Tidak berselang lama aku mangkal, ada satu calon penumpang menghampiri.
“Bang Hendro, antar saya ke pasar?” ucap penumpang.
“Iya, Bu. Silahkan, mari saya antar,” ajakku.
Pasar tidak terlalu jauh dari tempatku mangkal, hanya sepuluh menit waktu yang kami tempuh pun sudah sampai.
“Ini uangnya, Bang." Ibu memberi uang sepuluh ribuan.
“Maaf, Bu. Ibu penumpang pertama saya dan ojeknya hanya tujuh ribu saja, saya belum ada kembalian,” ucapku.
“Tidak usah kembali tidak apa-apa, Bang. Kembaliannya untuk Bang Hendro saja." Ibu menjawab sambil berlalu pergi.
“Alhamdulillah, terima kasih Ya Allah. Terima kasih ya, Bu,” ucapku bersyukur.
Aku pun mengendarai motorku kembali ke pangkalan dengan hati yang bahagia, karena mendapatkan uang untuk disisihkan. Uang itu akan kugunakan untuk membelikan sepatu Diana.
Sesampainya di pangkalan, belum sampai aku parkir motorku dari kejauhan ada tetanggaku berteriak memanggilku dan berjalan menghampiri.
"Mas Hendro!" tetanggaku berteriak memanggilku.
Setelah beliau dekat denganku, aku pun bertanya.
“Ada apa, Pak Yani?” tanyaku.
“Mas Hendro, mari pulang ikut saya dulu. Nanti, sampai rumah saya jelaskan,” jawab Pak Yani.
“Ada apa dulu, Pak?” tanyaku penasaran.
“Bapak yang sabar, ya. Tadi ada bapak-bapak yang menghampiri Bu Salma dan beliau menyampaikan kalau Diana terkena musibah Mas Hen, Diana tertabrak truk,” jelas Pak Yani.
Seketika duniaku runtuh mendengar ucapan Pak Yani. Aku segera mengendarai motorku untuk pulang. Aku melihat ada banyak warga di rumahku, kemudian menghampiri Salma untuk menguatkannya. Tidak lupa aku cari bapak-bapak yang membawa kabar untuk kami.
Bapak itu menjelaskan kejadiannya. Setelah cerita selesai, aku dan Salma bergegas pergi ke rumah sakit di mana jenazah Diana dibawa.
Di sana Salma menangis sejadi-jadinya, kami mencoba mengikhlaskan kepergian anak semata wayang kami. Dari rumah sakit jenazah Diana sudah dibersihkan, kami membawanya pulang untuk dimakamkan.
Sudah selesai pemakaman Diana, hari sudah sore hendak Menjelang magrib. Entah aku yang salah lihat atau bagaimana, aku seperti melihat Diana ada di dalam rumah kami.
__________________
Empat tahun berlalu, tetapi apa yang aku lihat masih sama, sampai sekarang aku masih sering melihatnya. Bahkan setiap hari selalu melihat Diana di rumah kami, entah itu sekali atau dua kali.
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 203 Episodes
Comments
~secret👀
mmm ,,menurut akunya alur mundurnya jngn d bolak balik lagi.
2021-08-01
0
pipit
mungkin ada something
2020-10-28
1
Fitria novia
mgkn diana msh d situ ga mau pergi dia berat meninggal ibu dan ayah ny
2020-09-02
3