Setelah mengingat keadaan Diana, aku bergegas menghampiri warung yang dekat denganku. Aku berjalan melangkahkan kaki dan masih merasa khawatir dengan keadaan anak semata wayangku itu.
Setelah sampai toko, aku buru-buru untuk memesan obat yang cocok untuk keadaan Diana.
"Bu, beli," ucapku.
"Iya, Mbak Salma. Mau beli apa?" jawab penjaga toko.
"Bu, mau tanya. Ini anak sayakan badannya di pegang terasa dingin dan wajahnya pucat, kira-kira perlu diberi obat apa ya?" tanyaku.
Penjaga warung tak lekas menjawab, aku melihat dia tampak memikirkan sesuatu. Setelah itu dengan terburu-buru, penjaga toko pun mencari obat di kotak penyimpanan obatnya.
"Coba pakai obat ini, Mbak," ucap ibu penjaga toko sembari memberikan satu bungkus obat.
"Berapa, Bu?" tanyaku.
"Sudah, kamu bawa saja. Nanti kalau Diana keadaannya masih seperti itu, kamu datang ke sini saja, biar saya dan suami yang mengantarkannya ke rumah sakit," jawab ibu penjaga toko.
"Makasih ya, Bu," kataku.
"Gorengannya masih? Kalau masih saya mau membelinya," ucapnya.
Aku bergegas menunjukan sisa daganganku. Sebelum sampai aku memberikan daganganku ke ibu penjaga toko, tiba-tiba ada bapak-bapak menghampiriku.
“Ini, Ibu Salma ya? Ibunya Diana?" tanya bapak-bapak entah siapa aku tak mengenalnya.
Aku dengan wajah kebingungan mencoba menjawabnya karena memang merasa tak mengenalnya.
“Iya, benar. Ada apa ya, Pak?” tanyaku.
“Tadi saya ke rumah Ibu dan saya cari Ibu tidak ada di sana. Sebelumnya saya mau kasih kabar soal Diana anak Ibu,” jelas Bapak tadi.
“Kenapa Diana, Pak? Diana ada di rumah kok, apa tadi dia tidak menemui Bapak?" aku mencoba menjelaskan.
Aku semakin dibuat bingung dengan ucapan bapak ini, apa semakin parah keadaan Diana?
Aku melihat wajah bapak ini, nampak terlihat sedih dan ragu untuk mengucapkan sesuatu.
"Kenapa, Pak? Ada apa dengan anak saya?" tanyaku lagi.
“Maaf Bu, sebelumnya. Ibu yang sabar, Diana Bu, dia kecelakaan dan dia meninggal di tempat kejadian." Bapak tadi memberitahukan.
Bapak itu menghentikan ucapannya dan mencoba menarik napas lebih dalam.
“Diana terlibat kecelakaan dengan sebuah truk, Bu." Bapak-bapak tadi mencoba menjelaskan lagi.
Seketika aku mendengar ucapan dari bapak ini, dadaku terasa sesak. Tetapi aku mencoba menalar dengan keadaanku, karena tadi lihat dengan mata kepala sendiri, kalau Diana berada di rumah.
“Bapak salah orang mungkin, anak saya sudah ada di rumah, dia lagi sakit,” ucapku mengeyel.
“Benar, Bu. Saya tadi dekat dengan kejadian perkara dan saya tanya kepada salah satu guru yang tidak terlibat kecelakaan, Bu," ucap bapak itu.
“Saya tanya identitas yang kecelakaan, ternyata anak Ibu dan salah satu gurunya yang mengantar. Maka dari itu, saya berinisiatif untuk kesini memberitahu Ibu." Bapak-bapak tadi menekankan penjelasannya.
Seketika duniaku terasa runtuh, rasa sesak semakin terasa di dada. Aku merasa tak percaya dengan semua ini, aku ingin memastikan sendiri dengan mataku kalau anakku benar-benar di rumah.
Tak banyak kata aku langsung lari menuju rumahku, aku mau memastikan yang dibilang bapak tadi salah. Aku berlari kencang sekuat yang aku bisa, entah di mana tempatku untuk berjualan sudah tidak kupedulikan.
Saat ini, aku hanya ingin memastikan, apa yang diucapkan bapak tadi salah. Ketika melihatku berlari, orang-orang yang mendengar perkataan bapak tadi, sontak semua mengejarku lari ke rumah.
****
Ketika aku sudah sampai rumah, buru-buru aku membuka pintu.
Braaaak...
Suara pintu rumahku yang kubuka dengan kasar. Aku mulai mencari dan memanggil Diana, yang aku tuju pertama kali adalah kamarnya.
“Nana ... Nana." Aku buka kamar Diana dan di sana kosong tak menemukannya.
Aku melihat kamar Diana masih tertata rapi, mulai dari selimut, seprei seperti keadaan semula. Aku tetap kekeh untuk mencari Diana dengan cara berkeliling di dalam rumah dan melihat di setiap sudut ruangan.
Aku buka satu persatu ruangan yang ada di rumahku. Tetapi masih tetap sama, aku tak menemukan anak kesayanganku.
“Nana, Nana kamu dimana, Nak?” aku pun menangis tak menemukan Diana.
Aku mulai percaya dengan omongan bapak tadi. Bu Tati yang melihatku menangis, datang menghampiri dan memelukku. Beliau mencoba untuk menenangkanku.
“Yang sabar, Mbak Salma. Mungkin sudah jalannya Diana digaris seperti ini, diikhlaskan semoga Diana tenang di sana, Mbak,” ucap Bu Tati mencoba menenangkanku.
Aku menangis sesegukan, masih tak percaya dengan kabar yang aku terima. Masih dengan berlinang air mata, aku mencoba untuk menjawab.
“Benar, tadi Diana pergi untuk lomba, Bu. Dia dijemput gurunya. Akan tetapi Diana tadi pulang lagi dengan wajahnya pucat pasi dan badannya dingin, Bu,” ucapku.
Dadaku semakin sesak, aku merasa tak kuat untu melanjutkan ucapanku.
“Diana mungkin pulang karena sakit, Bu,” ucapku lagi dengan mencoba menenangkan diriku sendiri.
Bu Tati terus menerus mencoba menenangkanku. Sedangkan orang-orang lain yang berada di rumahku berbicara berbisik-bisik, aku tak peduli entah apa yang mereka ucapkan sekarang.
Tiba-tiba Mas Hendro pun datang dan langsung memelukku. Ternyata ada salah satu warga yang memanggil Mas Hendro, untuk memberitahukan kejadian yang dialami Diana.
"Sudah, Dek. Yang sabar, mau gimana lagi? Ini memang takdir kita, kita tidak bisa mengelaknya, kita ikhlaskan anak kita." Mas Hendro mencoba menguatkanku.
Aku tatap Mas Hendro dengan wajahnya yang sayu menutupi semua kesedihan ini. Mas Hendro mencari Bapak-bapak yang memberi kabar kepada kami dengan bertanya ke salah satu warga.
Sekarang aku melihat, Mas Hendro tampak celingukan mencari sesuatu.
"Pak Yani, di mana ya Bapak-bapak tadi yang memberitahu kabar ini?" tanya Mas Hendro.
"Iya, saya, Pak." Bapak-bapak tadi langsung menjawab sebelum Pak Yani berbicara.
"Bagaimana kejadiaannya tadi, Pak? Apa yang terjadi dengan anak saya?" tanya Mas Hendro.
"Maaf sebelumnya, Pak. Saya tadi kebetulan berada tidak jauh dari tempat kejadian. Adik Diana dan Gurunya kecelakaan pas persimpangan jalan desa sebelah, Pak. Adik Diana dan Gurunya, terlibat kecelakaan dengan truk bermuatan tanah yang mengalami rem blong," ucap bapak-bapak itu.
Sebelum meneruskan ceritanya, bapak itu mencoba menghela napasnya.
"Dan naasnya, anak Bapak meninggal di tempat kejadian perkara. Dan gurunya sekarang dalam keadaan kritis dan sudah dibawa ke rumah sakit," terang Bapak tadi.
Saat itu campur aduk yang aku rasakan. Pengen teriak sekuat yang aku bisa. Tetapi aku sadar kejadian itu sudah berlalu empat tahun yang lalu, tapi semua masih membuat luka membekas di hati yang membuatku sedih hingga saat ini.
Aku percaya Diana anak yang baik, pasti Diana di tempatkan di tempat yang layak. Di samping itu, aku juga merasa gagal karena selama hidupnya kami belum bisa membahagiakan anakku satu-satunya.
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 203 Episodes
Comments
SheilaR22
sedih banget pen nangis sampe2 dadaku sakit 😭😭😭😭
2020-12-18
2
Amanda
ikutan nangis thor.,.semangat selalu ya thot
2020-10-25
2
luthfia207
sad banget😭,pasti keyla bisa melihat diana nanti😃
2020-10-17
6