Pagi itu Diana bercerita, kalau nanti apabila dia bisa menang menjadi juara satu, dia akan mendapatkan hadiah. Dan hadiahnya tidak hanya mendapatkan piala dan piagam, tetapi juga mendapatkan uang sebesar tiga ratus ribu.
Jika bisa menjadi juara, dia mempunyai keinginan untuk membeli sepatu baru dan sisa uangnya akan ditabung. Tetapi aku sebagai orang tuanya, ingin memberi apa yang diinginkan anak semata wayangku.
“Uangnya ditabung semua aja, nanti kalau menang. Biar Ibu sama Ayah, yang membelikan Nana sepatu." Aku mencoba memberitahu Diana.
“Iya, Bu,” jawab Diana.
Dia termasuk anak yang penurut, pasti mau mendengarkan apa yang diminta ke dua orang tuanya.
“Tugas kamu belajar ya, Na. Biar urusan sekolah Ibu dan Ayah yang mengurusnya,” nasihatku.
Aku mencoba menasihatinya, Diana hanya menganggukkan kepala tanda dia mengerti. Hari berlalu sangat cepat dari sore menjelang malam.
****
Malam itu, aku menunggu Mas Hendro di teras rumah dengan ditemani Diana. Kulihat Diana membawa buku dan asik membacanya.
Dia anak yang rajin belajar, tak pernah sehari pun lupa untuk membaca ulang bukunya. Saat kami asyik menunggu sambil mengobrol, terdengar suara motor yang nggak asing di telingaku.
Dari jauh lamat-lamat kudengar suara motor butut, yang selama ini dipakai Mas Hendro. Dan benar saja, dari kejauhan nampak terlihat Mas Hendro mengendarainya ke arah rumah kami.
Mas Hendro pun sampai di depan rumah, lalu memarkirkan motornya. Kemudian dia turun dari motornya dan berjalan menghampiri kami.
“Loh, Nana sama Ibu kok di luar? Apa tidak kedinginan?” tanya Mas Hendro.
“Lumayanlah, Mas. Ini si Nana ngeyel mau nungguin Mas di depan rumah,” jawabku.
“Tumben, Nak? Belajar di dalam, ya. di luar agak gelap lampunya, takut mata kamu nanti sakit dan udaranya sangat dingin.” Ajak Mas Hendro.
Mas Hendro merengkuh tubuh kami kepelukannya, untuk mengajak kami masuk ke dalam rumah kecil kami. Kemudian secara bersamaan aku dan Diana duduk di kursi kayu di ruang tamu. Di sini Diana melanjutkan untuk belajar, sedangkan Mas Hendro pergi ke belakang untuk membersihkan badannya.
Aku tetap menemani Diana belajar sembari menunggu Mas Hendro untuk membersihkan badannya. Tidak perlu nunggu lama, akhirnya Mas Hendro pun datang menghampiri kami.
“Belajar apa, Na?” tanya Mas Hendro ke Diana.
“Bahasa inggris, Yah. Oh, iya Yah. Besok aku dan Putri mewakili sekolahan untuk lomba cerdas cermat antar kecamatan, loh,” Diana memberi tahu ayahnya.
“Iya, Na. Yang pinter ya, jadi anak yang membanggakan Ayah dan Ibu. Meski kita orang tidak punya, tidak ada salahnya kita berusaha lebih baik.” Mas Hendro menasihati Diana.
Mas hendro berkata sembari mengelus kepala anak kesayangannya. Kami bertiga tetap berkumpul di ruang tamu untuk menemani Diana.
Sudah mulai larut malam, jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, kami pun pergi untuk tidur. Kita lewati malam yang begitu panjang.
****
Keesokan harinya ....
Ayam pun berkokok tanda sudah pagi.
Kukuruyuk ....
Seperti biasa, aku bangun terlebih dahulu untuk memasak makanan, ya walaupun seadanya. Sejak kapan Diana bangun aku pun tidak tahu.
"Pagi, Bu," ucapnya di belakangku.
Aku yang tak mengetahui kedatangannya pun terperanjat kaget.
"Ya Allah," ucapku.
Aku mengelus dada karena terasa jantungku berdegup kencang.
"Diana, ngagetin Ibu aja," ucapku lagi.
"Ibu nggak dengar suara langkah kakiku?" tanya Diana.
"Tidak, Nak. Makanya Ibu sampai kaget ini," jawabku.
"Sudah-sudah, kamu mandi dulu. Terburu kesiangan nanti," ucapku lagi.
Diana pun tanpa menjawab langsung pergi menuruti perintahku. Dia mengambil handuk yang berada di gantungan dan lekas pergi mandi.
Masakanku pun matang, setelah itu aku menata makanan di atas meja di dapur. Tak berselang lama Diana dan Mas Hendro menghampiri.
Seperti biasa sebelum berangkat Aktivitas, kita mulai sarapan terlebih dahulu.
“Nana, nanti dijemput Guru, Bu. Jadi Ayah tidak perlu mengantarku ke sekolah." Diana memberitahu.
"Iya, Nak," jawab Mas Hendro.
Dengan perlahan kami menikmati masakan yang sudah kuhidangkan.
"Makan yang banyak, Nak. Biar semangat," ucapku.
"Iya, Bu," jawabnya.
Mas Hendro selesai makan terlebih dahulu dan dia berangkat mengojek. Sedangkan Diana masih melanjutkan makanannya. Setelah itu Dia duduk di kursi ruang tamu, karena kata Diana sebelumnya, dia akan di jemput gurunya.
Tak berselang lama terdengar suara orang mengetuk pintu.
Tok tok tok ....
“Assalamu’alaikum." Terdengar salam dari guru Diana.
"Waalaikumsalam." Jawab Diana.
Diana membukakan pintu dan menghampiri gurunya.
"Sebentar ya, Pak. Saya berpamitan ke Ibu saya dulu," ucapnya.
Setelah itu Diana datang menghampiriku untuk berpamitan.
“Bu, doanya ya. Nana berangkat dulu, Assalamualaikum.” Dia mengucap salam sambil berlalu pergi.
"Waalaikumsalam. Iya, Nak. Semoga bisa jadi juara," jawabku.
Diana pun berlalu pergi meninggalkan rumah.
Sedangkan aku kembali ke dapur untuk meneruskan memasak daganganku.
__________________
Dua puluh menit berlalu, semua daganganku pun siap. Aku mulai bersiap-siap untuk berangkat jualan.
Aku tutup pintu dan menguncinya sebelum ditinggalkan. Ketika aku berbalik arah, di depan rumah sudah ada Diana sedang berjalan kaki. Dia dengan wajah yang pucat, tatapannya yang kosong dan tampak tak bersemangat, seperti ketika waktu berangkat.
“Nana, kamu kenapa, Nak? Kok pulangnya cepat?” tanyaku merasa heran.
Nana datang menghampiriku, biasanya dia selalu menjabat tanganku ketika sepulang sekolah, tetapi kali ini tidak.
Nana pun masuk rumah tanpa mengucap salam, dia hanya tertunduk lesu sambil berjalan menuju kursi. Aku urungkan niat tidak jadi pergi berjualan terlebih dahulu, sebab masih sibuk menanyai Diana yang tampak aneh. Aku merasa tatapan Diana kosong.
“Apa tidak jadi lombanya, Nak? Apa Nana sakit?“ aku masih bertanya.
Tak satu pun pertanyaan dariku dijawabnya. Aku hampiri Diana dan pegang tangannya, entah mengapa badannya jadi sedingin es batu. Aku dudukkan Diana ke kursi dan satu pun pertanyaanku tetap tidak dihiraukannya. Sehingga aku berpikir, mungkin si Diana sakit makanya males untuk menjawabnya.
Aku pun berniat untuk berjualan saja, sembari membeli obat untuk anak kesayanganku ini. Lalu mulai berpamitan ke dia.
“Ya sudah, Nana istirahat saja ya di kamar. Jangan lupa ganti baju ya, Nak. Buat tidur saja, nanti kalau Ibu pulang jualan akan dibawakan obat dari warung,” ucapku berlalu pergi untuk berkeliling menjajakan dagangan.
Aku tutup pintunya, dan berjalan meninggalkan rumahku.
__________
Seperti biasa aku berkeliling menjajakan daganganku mengelilingi kampung.
"Gorengan ... gorengan!" aku berteriak menawarkan daganganku.
Satu persatu daganganku mulai terjual.
Alhamdulillah, hari ini dagangan laris dan semoga cepat habis. Aku bersyukur, karena sudah separuh daganganku laku, semoga bisa menabung untuk membelikan sepatu yang diinginkan oleh Diana.
Aku kembali menjajakan daganganku sampai habis, agar bisa cepat pulang. Saat aku keliling, teringat keadaan Diana. Aku tetap berjalan, ketika melewati warung aku berhenti untuk membelikan obat untuknya.
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 203 Episodes
Comments
Amel Comel
🙃🙃
2021-05-31
0
Zaitun
lanjut
2021-01-21
0
Amanda
semangat selalu thor....baru x ini bc yang berbeda❤️❤️❤️
2020-10-25
5