Seperti biasa, aku pulang bersama Dinar. Kami menaiki sepeda secara beriringan, kami juga mengayuh sepeda lebih pelan dari biasanya, karena sembari melanjutkan cerita.
"Key, menurutmu itu si Diana bukan sih?" tanya Dinar.
"Aku sih mikirnya juga si Diana, yang aku bingung itu, maksudnya dia apa gitu?" jawabku.
"Kamukan gambar dia dan aku lihat ada secarik kertas dalam kantong seragamnya, apa mungkin mau kasih surat ke orang tuanya, ya?" Dinar bertanya-tanya.
"Ya kali Din, orang meninggal buat surat di kuburan. Aneh kamu hahahaha." Aku pun tertawa mendengar ucapan Dinar.
"Ya juga sih, ya. Hahaha." Dinar pun ikut tertawa terbahak-bahak.
Sebenarnya dalam hatiku pun sama, apa mungkin si Diana mau memberi surat itu untuk kedua orang tuanya?
Dengan asiknya obrolan kami sampai tidak sadar kalau sudah berada di depan rumah.
"Sejak kapan nih, rumahku jadi dekat hehehe," kataku sambil menggaruk kepala.
"Kamu asik ngobrol aja, makanya lebih terasa dekat. Masa iya, rumahmu pindah?" jawab Dinar.
"Aku masuk dulu ya, Din. Hati-hati kamu di jalan," ucapku.
Aku parkir sepedaku di garasi rumahku. Lalu berjalan menuju utama pintu rumahku.
Tok tok tok....
Aku mengetuk pintu rumahku.
"Assalamualaikum, Bu. Aku pulang." Aku memberi salam ke Ibu.
Beberapa kali aku mengetuk pintu, ibu tak kunjung membukakannya. Dan rumahku pun dikunci, itu berarti tandanya ibu tidak ada di rumah.
"ke mana ya, ini Ibu siang-siang? Apa iya, Ibu pergi ke pasar jam segini?" kataku menduga-duga.
Aku tunggu ibu duduk di kursi teras rumahku, sembari buka kembali tas dan mengambil buku gambar.
Kamu siapa sih? Apa kamu Diana? Lalu kamu mau apa? Akku masih mencoba bertanya-tanya dalam hatiku. Tak begitu lama aku lihat ibu membuka pintu gerbang rumah kami.
"Dari mana, Bu?" Tanyaku.
"Dari rumah Ibu Ningsih, Dek. Tadi Ibu di mintai tolong untuk membantu membuat kue di sana," jawab Ibu.
"Mau ada acara ya, Bu?" tanyaku lagi.
"Iya, Dek. Mau selamatan, untuk umur tujuh bulannya cucu Ibu Ningsih," jawab ibu lagi.
"Anaknya Mbak Sekar ya, Bu? Lama Mbak Sekar tidak kesini, dari sejak dia hamil lima bulan dulu," kataku.
"Tadi pagi Mbak Sekar sudah kesini kok, Dek. Kamu dicariin tuh, katanya kangen kamu," jawab ibu sambil membukakan pintu.
Aku pun langsung masuk ke rumah menuju kamarku.
"Dek, nanti selesai salat minta tolong anterin bingkisan buat Mbak Sekar, ya," teriak ibu dari luar kamarku.
"Iya, Bu. Mau salat dan makan dulu aku lapar," jawabku.
Aku taruh buku gambarku di atas meja belajar, lalu aku tinggal ganti baju kemudian segera salat. Selepas itu, aku segera keluar kamar untuk makan siang, sebab dari tadi sudah merasa lapar.
"Bu, Ibu," panggilku.
"Iya, Ibu di kamar habis salat juga," jawab ibu dari kamar.
"Aku mau makan dulu ya, Bu. Nanti baru Dedek anterin," kataku.
Aku bergegas makan karena tidak sabar mau bertemu dengan Mbak Sekar. Dia tetanggaku yang rumahnya hanya berjarak tiga rumah dari rumahku.
Makan pun selesai, aku ambil bingkisan yang sudah di siapkan oleh Ibu yang di taruh di meja makan, agar aku tidak lupa.
"Dek, nanti kalau Ibu Ningsih tanya, bilang kalau Ibu masih mau nyuci seragam kamu dulu, ya. Nanti, baru ke sana lagi," pinta ibu berpesan kepadaku.
"Iya, Bu. Tadi seragamku kelupaan masih aku taruh di atas kasur, belum aku taruh keranjang. Aku berangkat dulu bu, Assalamualaikum." Aku berpamitan ke ibu.
"Kebiasaan kamu, Wa'alaikumsalam," jawab ibu.
Aku berjalan kaki menuju rumah Ibu Ningsih.
"Hai, Key. Mau ke mana?" Tanya Dinar yang tidak sengaja berpapasan denganku.
"Mau ke rumah Mbak Sekar, nganterin bingkisan dari Ibu," jawabku dengan menunjukan tas yang berisi bingkisan.
"Kamu mau ke mana?" tanyaku ke Dinar.
"Ini mau ke supermarket jalan besar itu, di suruh Ibuku belanja. Aku duluan ya, Key. Soalnya sudah ditunggu Ibuku," jawab Dinar sambil berlalu pergi buru-buru.
Aku lanjutkan jalanku, akhirnya sampailah aku di rumah Ibu Ningsih. Aku pencet bel rumahnya, tidak begitu lama Mbak Sekar muncul dari balik pintu rumah.
"Keyla, ya?" tanya Mbak Sekar.
"Udah gede aja, Key. Ayo, mari masuk dulu," ucap Mbak Sekar lagi.
"Baru tidak bertemu beberapa bulan, masa iya sudah beda aku Mbak? Ada-ada saja," jawabku dengan berjalan memasuki rumah Mbak Sekar.
"Ma, dicariin si Keyla ini." Mbak Sekar memanggil Ibu Ningsih yang tengah menggendong cucunya menangis.
"Duduk dulu, Key. Tante tenangin anaknya Mbak Sekar yang rewel ini, mungkin kecapekan ini," kata Bu Ningsih.
"Iya, Tante." Aku duduk di sofa ruang tamu, dari kejauhan aku tetap melihat Bu ningsih yang lagi gendong cucunya.
Pandanganku hanya terfokus ke mereka, tiba-tiba aku di kagetkan dengan wanita yang bermuka seram yang sedari tadi berdiri membelakangi penglihatanku. Dia berdiri tepat di samping Bu Ningsih.
"Aaaaaa ...." teriakku.
Bu Ningsih pun terperanjat kaget oleh teriakanku.
"Ada apa, Key?" tanya Bu Ningsih.
"Tidak apa-apa, Tante. Ini ada kecoa, Keyla takut hehehe," aku memberi alasan.
Mbak Sekar yang tadi menyimpan bingkisannya, datang menghampiriku.
"Ada apa, Key?" tanya Mbak Sekar.
"Tidak apa-apa, Mbak. Takut kecoa, aku," jawabku.
Aku masih tetap di rumah Mbak Sekar, kami mengobrol-ngobrol. Tetapi pandanganku tetap ke arah wanita itu. Semakin aku lihat, semakin dia tersenyum dengan wajah yang mengerikan.
"Mbak Sekar, ke sini sama siapa saja, Mbak?" aku bertanya.
"Bertiga aja, Key. Aku bersama suami dan itu anak gantengku." Mbak Sekar menjawab dengan menunjuk anaknya yang masih menangis.
"Aku susuin anakku dulu ya, Key. Sejak dari perjalanan hingga sampai saat ini belum berhenti juga nangisnya." Mbak Sekar menghampiri anaknya.
"Iya, Mbak," jawabku singkat.
Aku mau memberitahu, tetapi ragu untuk ngomongnya.
"Bu Ningsih, Mbak Sekar, aku pamit pulang dulu, ya," aku berpamitan.
"Kok buru-buru, Key. Di sini aja dulu," kata Mbak Sekar.
"Di tunggu Ibu, Mbak. soalnya aku bilang sebentar. Nanti, Ibu kesini kok Mbak, beliau masih nyuci seragam, aku," jawabku.
"Terima kasih ya, bingkisannya," ucap Mbak Sekar.
"Iya, Mbak. Sama-sama," jawabku.
Aku masih melihat dari kejauhan wanita itu, dia tetap memandangku dengan senyum yang menakutkan.
Aku pergi meninggalkan rumah Bu Ningsih, lalu buru-buru pulang mau bercerita ke ibu.
Sesampainya di rumah, aku cari ibu menuju ke ruang pencucian.
"Ibu," aku memanggilnya.
"Nyuci, Dek. Di belakang," jawab ibu.
Aku berjalan menghampiri ibu.
"Bu. Ibu buruan ke rumah Mbak sekar, deh." Aku meminta ibu.
"Ada apa lagi, Dek? Pasti ada hal anehkan?" jawab ibu menduga-duga.
"Iya, Bu. Aku tadi lihat wanita bermuka seram di rumah Mbak Sekar, Bu. Ibu ngomong ke Ibu Ningsih, ya. Keyla takut hehehe." Aku menjelaskan.
"Nanti, Ibu belum selesai ini nyucinya," jawab ibu sembari mengeringkan bajuku di mesin cuci.
Aku masih menunggu ibu di ruang cuci. Aku duduk di sana, tidak begitu lama ibu pun selesai.
"Kamu ikut ke sana lagi nanti, Dek?" tanya ibu.
"Enggaklah, Bu. Dedek takut diapa-apain, nanti," kataku.
"Bagaimana Ibu mau bicara, sedangkan Ibu saja tidak melihatnya. Kalau kamu ikutkan tau, di mana posisinya, Dek." Ibu mengajakku.
Aku pun ikut kembali ke rumah Bu Ningsih.
Di sana wanita itu tetap mengikuti anak Mbak Sekar.
"Maaf, Bu Ningsih. Keyla katanya lihat ada wanita yang mengikuti Cucu, Ibu." Ibu memberitahu Ibu Ningsih.
"Sebelah mana, Key?" tanya Mbak Sekar.
"Di sana, Mbak," aku menunjuk arah wanita itu.
Kata ibu, aku tiba-tiba kerasukan. Aku berteriak marah-marah, kadang menangis sambil mengucapkan, "Ini anakku, aku mau ambil anakku."
Kata ibu aku mengucapkan itu berulang-ulang dengan suara yang menggema. Seisi rumah Bu Ningsih sontak panik terutama Ibuku.
Suami Mbak Sekar, mencoba membantu ibu memegangi aku yang meronta-ronta. Sedangkan ayah Mbak Sekar, bergegas memanggil kyai yang berada di sekitar perumahanku.
Tidak begitu lama, Pak kyai datang mencoba menyembuhkanku. Namun aku tetap berteriak, marah-marah lalu menangis. Mereka mencoba mengajakku untuk berinteraksi.
"Kamu siapa? Ini anak dari Mbak Sekar, bukan anak kamu?" pak kyai berinteraksi.
"Anakku dibunuh, anakku diambil," jawabku saat kerasukan kata ibu.
"Siapa yang bunuh? Lalu mengapa kamu bisa sampai di sini?" pak kyai bertanya lagi.
"Aku tidak tahu, aku juga di bunuh bersama anakku. Kami di buang," jawabku dengan tangis sesegukan.
"Aku lihat anak ini, aku mau membawanya. Ini anak ku!" jawab aku lagi.
"Jangan. Aku mohon, kasihanilah aku," mohon Mbak Sekar, sambil menangis sesegukan juga.
"Aku enggak mau tahu, aku mau anak ini," jawabku sambil marah-marah.
Pak kyai mencoba menyembuhkan aku, dengan susah payah akhirnya aku pun mulai tersadar.
"Ada apa, Bu? Kok Mbak Sekar nangis? Apa aku menyinggung perasaannya?" tanyaku.
Aku masih bingung melihat Mbak Sekar menangis, aku pun juga bingung melihat ada pak kyai di sana.
"Bu Ningsih, Mbak Sekar, saya ajak Keyla pulang terlebih dahulu, ya." Ibu berpamitan sambil menggandeng tanganku.
"Iya Tante, terima kasih ya Key," jawab Mbak Sekar.
Aku yang sedari tadi bingung tidak meresponnya. Di dalam hatiku bertanya, ini ada apa? Aku kok tidak paham? Dan sejak kapan Pak kyai di rumah Mbak Sekar?
Sesampainya di rumah ibu membaringkan tubuhku, Ibu menyuruhku untuk beristirahat.
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 203 Episodes
Comments
Mursidahamien
merinding 😂😂😂
2022-05-20
0
Zaitun
lanjut
2021-02-15
0
pipit
ngebayangin gmna seremnya tuh hantu 🙈😱
2020-10-28
0