Di teras rumah, Veno dan sang kekasih yang bernama Susi tengah duduk menatap jalanan komplek.
"Kamu kenapa? Ada yang salah? Coba cerita," tanya Veno yang mulai penasaran dengan perubahan sikap Susi. Tak biasanya gadis kesayangannya itu bungkam. Seperti risih, menunjukkan ketidaksukaan. Padahal mereka sudah hampir setengah jam bersama. Namun tak ada pembicaraan yang serius. Hanya terdengar helaan napas panjang dari bibir Susi.
Menggeleng cepat, gadis berambut panjang dan tergerai itu menampik perkataan Veno. "Enggak kok, aku gak pa-pa."
Manggut-manggut, Veno mulai mengusir rasa penasarannya. "Oh, iya. Orang tua kamu ke mana? Kok sepi," tanyanya seraya celingak-celinguk.
"Lagi kerumah paman, ada pesta pernikahan di sana."
Menautkan alis, tampak senyuman terukir di wajah Veno. Ia yang sudah dua mingguan berpacaran dengan Susi merasa ini adalah waktu yang tepat. "Benarkah? Kapan mereka pulang?" tanya Veno lagi. Ada niat terselubung dibalik pertanyaanya itu.
"Gak tau," jawab Susi sekenanya.
"Baiklah, kalau gitu, ayo." Veno berucap seraya menarik tangan Susi. Menuntunnya masuk kedalam rumah dan duduk di sofa ruang tamu rumah itu.
"K-kenapa?" Susi mulai gugup.
Memegang kedua belah pundak Susi, Veno mulai mengutarakan niat hatinya. "Sayang, sebenarnya sudah lama aku menginginkan ini," ucap Veno yang terdengar ambigu. Matanya yang berkabut hasrat hanya fokus tertuju pada bibir merekah Susi. Bibir yang selama dua mingguan ini hanya dapat ia lum*at dalam mimpi. "Boleh, ya?"
Tanpa menunggu jawaban, Veno mulai mendekatkan wajahnya. Ia begitu tak sabar ingin menggapai bibir merona Susi dengan bibirnya. Namun sayang, tanpa diduga, Susi mendorong dadanya hingga ia terjungkal sebelum sempat menyatukan bibir mereka.
"Kenapa?" Veno terlihat agak kesal. Mood romantisnya hilang karena penolakan yang Susi berikan.
"Maaf, aku gak sengaja," jawab Susi seraya menekan bibir bawahnya. Kegugupan jelas kentara di wajah orientalnya itu.
Gak sengaja, tapi kok dorongnya kuat banget. Tapi kenapa dia mendorongku? Bukankah wajar kalau meminta ciuman di bibir? Apa dia belum pernah pacaran? Ahh, masa gadis secantik ini gak pernah pacaran. Kalau gitu, aku bakalan jadi orang pertama dong. Veno membatin senang. Kembali terukir seulas senyum di bibirnya.
"Yaudah, gak pa-pa. Kita jalan, yuk. Kamu mau kemanapun pasti aku antar."
Terkembang, Bibir merona Susi makin merekah sempurna. Ia bersyukur Veno tidak marah padanya. "Kalau begitu kita ke toko baju milik temenku, ya?" pinta Susi.
****
Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam.
Karena tidak ada pengunjung, Shinta mulai berjalan dan menghampiri meja kasir Rianti. "Oy Neng, jangan ngelamun terus, dong. Entar yang ada, ayam tetangga mati," ucap Shinta, berharap sahabatnya itu tersenyum mendengar lelucon darinya.
"Ih, apaan sih kamu, garing tauk," sahut Rianti.
Shinta tersenyum kecut, walaupun leluconnya tak berhasil, paling tidak Rianti mau bicara kepadanya. Mengingat betapa nelangsanya sahabatnya itu akibat masalah kaca mobil. Ia tidak tau harus berbuat apa. Yang terpikirkan olehnya adalah ingin menghibur dan menghalau kegilasahan yang seharian ini seperti mengakar kokoh di wajah Rianti.
"Bosen banget nih, jadi ngantuk, mana masih sejam lagi baru boleh pulang," gerutu Shinta sambil memencet-mencet kalkulator yang ada di meja kasir.
Mendengkus, Rianti mulai memutar matanya, malas. "Kamu ini gimana, sih. Dikasi rame pelanggan ... kamu ngeluh, gak ada pelanggan ... juga ngeluh. Udah, balik sono. Entar dimarah pak Haikal, lho."
"Iya deh iya."
Namun, tiba-tiba pintu toko terbuka dan masuklah seorang wanita cantik yang menggandeng tangan seorang pria tampan bertubuh tegap dengan rambut bergaya undercut.
"Dek, mas Haikal ada gak?" tanya wanita itu kepada Shinta. Namun, Shinta bergeming. Ia mematung seakan tidak mendengar apapun.
Matanya hanya tertuju kepada wajah si pria.
Rianti yang sadar akan tingkah sahabatnya itu langsung mengambil alih kendali. "Pak Haikal ada di dalam, Mbak. Ayo, ikut saya."
"Mas Veno gak pa-pa 'kan aku tinggal bentar. Aku mau nyapa mas Haikal dulu," ucap Susi.
"Iya gak pa-pa. Santai aja." Veno berucap seraya tersenyum.
Sementara Shinta, masih setia dengan keterpanaannya. Ia baru tau bahwa pria Coca-cola-nya itu bernama Veno. Pria tampan yang ia lihat beberapa hari lalu. Pria yang membuat hatinya menggila. Dan malam ini bongkahan merah di dadanya kembali berulah seakan siap meledak kapanpun itu.
"Kamu kenapa? Kamu gak apa-apa, kan?" tanya Veno yang keheranan. Gadis didepannya seaksn hilang keseimbangan hingga dia refleks memegang pundak gadis itu.
Oh tuhan ... tangan ini, suara ini, tatapan ini, membuatku seakan ingin terbang.
Shinta tersenyum senang. Ia pun mencoba berdiri dan mengumpulkan kesadarannya.
"Iya aku gak apa-apa, kok, Kak. Dan aku juga rela kok kalo di apa-apain sama kamu," kata Shinta sambil tersenyum genit.
Veno terlihat kaget mendengar kata-kata itu.
Ia tidak menyangka kalau gadis kecil di hadapannya itu berani mengatakan susuatu yang begitu vulgar.
Tiba-tiba.
"Ehemm."
Terdengar suara Susi dari arah samping.
Veno berjengkit, ia lupa kalau tangannya masih ada di pundak Shinta. "Sayang, kamu jangan marah ya ... tadi itu aku cuma mau nolongin dia biar tidak jatuh."
"Iya, aku tau. Aku gak apa-apa, kok," sahut Susi. Ia pun meninggalkan Veno dan berjalan menuju tempat di mana pakaian wanita berada. Ia begitu asyik memilih pakaian yang hendak dibelinya. Sementara Veno, menatap penuh tanya. Bingung akan reaksi Susi yang tak merasa marah ataupun kesal. Bukankah seharusnya dia cemburu? Tapi kenapa dia begitu santai?
****
Di meja kasir.
"Shin, kamu kenapa sih? Kok aneh gitu, untung aja pak Haikal gak liat," ucap Rianti.
Ia penasaran kenapa Shinta seperti orang yang sedang kehilangan kewarasan.
"Coca-cola Ri ... itu si Coca-cola yang ad di mall," jawab Shinta tanpa menoleh Rianti yang ada di sebelahnya. Mata Shinta masih tertuju kepada Veno.
"Ooo pantesan," ucap Rianti singkat.
Setelah kurang lebih 30 menit, Veno dan Susi menuju kasir untuk membayar belanjaan mereka.
Tanpa malu Shinta dekati tubuh Veno yang sedang berdiri di depan meja kasir. Ia ketuk-ketukkan ujung kuku telunjuknya seraya tersenyum. "Kak, kamu ganteng banget sih, mirip kayak Hyun Bin," selorohnya.
"Apa?! Yang bener aja. Masak mukaku kamu sama-samain dengan ubin." Terdengar ketus, wajah Veno pun tampak memerah, harga dirinya terluka karena ucapan Shinta.
"Bukan ubin, Mas, tapi Hyun Bin. Aktor tampan asal Korea Selatan," ungkap Susi sambil menunjukkam foto yang ada di ponselnya.
Mendengar penjelasan kekasihnya itu membuat Veno merasa malu. Ia pun langsung menggenggam tangan Susi untuk keluar dari toko baju itu.
Sementara Shinta, masih berdiri menatap pintu. Tak rela pria pujaan menghilang dari pandangan matanya. "Oh Mas Veno ...."
"Ya ampun ni anak, kesambet setan kali ya," gerutu Rianti. "Shin, orangnya tu udah pulang. Kamu mau tetap menatap pintu itu atau mau ikut aku pulang? Bentar lagi waktunya pulang," kata Rianti mengingatkan.
Ternyata, tanpa mereka sadari, Haikal dari tadi mengawasi tingkah laku Shinta. Ia begitu terlihat marah, matanya memerah dan tangannya mengepal. "Pantesan sikapmu berubah. Kamu maen mata sama laki-laki laen. Awas kamu ya. Kamu itu hanya buatku. Senyummu harus untukku."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
OMG YG KU TAKUTKAN TERNYATA TERJADI JUGA KAN??.TERUS GIMANA DGN ISTERI MU KAL??
2024-04-20
0
Qaisaa Nazarudin
Shinta kek cewek murahan banget,Jangan sampai kamu yg jadi mangsa Veno yg seterusnya..🤦🤦🙄🙄
2024-04-20
0
Qaisaa Nazarudin
Veno bukan saja Playboy Tapi sang Cassanova..
2024-04-20
0