Tiga tahun yang lalu.
Di kantin sekolah, Rianti dan Shinta sedang menunggu pesanannya tiba. Rianti memesan mi rebus dan Shinta memesan bakso. Sementara minumnya mereka sama-sama memesan teh es.
"Ri, kita 'kan bentar lagi naik kelas sebelas. Kamu milih masuk kelas IPA atau IPS?" tanya Shinta setelah menghabiskan sarapan. Memandang fokus pada Rianti yang memainka gawainya tanpa berkedip.
"IPS, otakku gak sanggup kalo masuk kelas IPA." Datar, hampir tak ada ekspresi di air muka Rianti.
Tersenyum siput, Shinta kembali mengesap es-nya dengan wajah sumringah. "O ... ya udah aku ikut kamu, ya."
Rianti mendelik sekilas, Masuk IPS aja uda keliatan seneng, apa lagi kalo bisa masuk IPA.
"Yuk, balik," ajak Rianti yang direspon anggukan setuju dari Shinta. Namun, tanpa diduga, datanglah seorang siswa berbaju olahraga berjalan menuju ke arah mereka. "Rianti, jadilah kekasihku," ucapnya lembut, menyerahkan sekotak coklat yang berbalut pita berwarna merah muda. Menatap Rianti dengan lekat, tanpa menggubris sorakan siswa lain yang heboh karenanya.
Sementara Rianti, speechless, terdiam, terpaku dan menganga. Mendadak hati serasa tumbuhi bunga berbagai macam warna. Harum, membuat pipi Rianti merekah sempurna. Tak pernah terbayangkan olehnya bahwa seorang Doni Setiawan yang terkenal pintar nan tampan itu menyatakan cinta padanya dalam kantin sekolah.
Lima detik, sudah lima detik Rianti mematung. Mata bulatnya mengerjap, ada rasa aneh yang menjalar di pikiran membuat pita suaranya terikat kuat. Belum lagi debaran di dada yang menggila. Sunguh, Rianti ingin terbang saat itu juga.
"Udah ... cepet terima." Shinta berbisik.
"Eh, i-iya iya, Kak." jawab Rianti gagap, kulit mukanya merona. Mendadak malu ditatap Doni sedekat itu.
"Ok, hari ini kita resmi pacaran. Entar jam tiga sore aku jemput, ya. Kita kencan," ucap Doni penuh penekanan dalam setiap katanya.
****
Mega hitam hampir menutupi langit. Angin dingin pun tak kalah unjuk gigi. Menusuk tubuh Rianti yang terlunta menunggu sang pujaan yang tak kunjung tiba. "Ke mana kamu, Don? Kenapa belum nyampe juga." Bergumam dengan suara pelan. Bolak-balik di teras rumah.
"Cie ... ada yang lagi resah ni yee ... " goda Shinta yang entah sejak kapan tiba. Mengabaikan raut wajah Rianti yang seperti tersiram cuka.
"Doi belum dateng?" lanjutnya lagi. Merebahkan diri, duduk di kursi rotan.
"Belum." Rianti menjawab singkat. Sementara tangan tak henti terus saja menghubungi Doni menggunakan ponselnya. "Ke mana sih," ujarnya kesal, kemudian ikut merebahkan diri di sebelah Shinta. Menatap langit sore yang sudah berkabut mendung. "Sepertinya bakalan hujan," ucap Rianti. Menerawang jauh. Memejamkan mata menikmati dinginnya angin yang menerpa wajah. Melupakan sejenak kekesalan yang tak berkesudahan.
"Aku tuh iri. Kamu udah punya pacar, sedangkan aku ... gebetan aja gak punya." Keluar desahan panjang setelah perkataan Shinta. Suara putus asa yang langsung membuat Rianti membuka mata.
"Makanya, jadi cewe itu jangan terlalu centil, orang itu jadi takut mau deket-deket kamu. Mereka pikir kamu cewe gak bener." Rianti terlihat mendikte sahabat terbaiknya itu.
"Ya, gak bisa gitu, dong." Shinta memutar bola matanya, protes. "Cewe yang keliatan centil belum tentu cewe yang gak bener. Contohnya aja sampul buku yang lusuh bukan bearti isinya jelek, malah isinya lebih berkualitas. Makanya banyak yang baca sampai-sampai sampulnya jadi jelek. Terus, ada juga tuh yang bungkusnya rapi tapi isinya hancur. Coba aja kamu beli mi instan terus isinya pecah-pecah, apa kamu jadi beli? Pasti gak jadi, 'kan. Jadi, intinya jangan menilai orang dari penampilan luarnya aja," kilah Shinta panjang lebar. Mendengkus kesal dicap seperti itu.
"Iya deh ... iya. Aku minta maaf," ucap Rianti, menyesal. Memang ada benarnya. Hati seseorang tidak bisa dilihat dari luarnya saja.
Hening, keduanya membisu. Rianti memikirkan Doni. Sementara Shinta, mencoba menetralisir emosinya yang sedikit meluap.
"Janjinya jam berapa?" Shinta menengahi kecanggungan. Ia sadar, ucapan panjang lebarnya mungkin saja menambah beban pikiran Rianti.
"Jam tiga." Rianti menjawab pelan disusul helaan napas panjang.
"Udah kamu telfon, belum?"
"Udah, kok. Tapi gak diangkat. Aku chat juga gak dibaca," jawab Rianti. Terlihat kekecewaan di wajahnya.
"Ya, udah. Kita tunggu aja. Mungkin jalanan macet."
Waktu terus saja berputar. Hingga awan yang tadinya kelabu akhirnya mencurahkan isinya. Hujan lebat menyirami sore yang hampir menjelang magrib. Memberikan senyar kesal di hati Rianti. Kecewa, sudah menunggu berjam-jam tapi sayangnya yang ditunggu tidak kunjung tiba. Akhirnya Shinta pamit pulang dan Rianti masuk ke dalam rumah.
Keesokan harinya.
Rianti dan Shinta pergi ke kelas Xl IPA untuk mencari Doni. Meminta penjelasan akan ketidakhadirannya kemarin sore. Meminta kepastian akan status mereka. Tapi sayang, yang dicari tak kunjung datang. Malah yang mencengangkan, Doni telah pindah keluar negeri. What the hell.
Kaget? Jelas, siapa yang bisa tenang disituasi itu. Mata Rianti mulai berkaca-kaca. Mendengar penjelasan teman sekelas Doni makin membuatnya nelangsa.
Apa ini? Kenapa dia pergi gak pamit? Apakah aku gak menarik sampai-sampai dia menyesal dan mencoba menghindariku? Apa aku cuma dianggap lelucon olehnya?
***
Tibalah mereka di depan Mall terbesar di Semarang.
Seperti pengunjung kebanyakan, keduanya hanya berputar-putar. Mencuci mata dengan melihat barang yang tak mungkin bisa mereka beli sekarang. Tahan batin, itulah yang menjadi niatan mereka sebelum masuk ke dalam pusat perbelanjaan.
"Eh, kamu ngerasa ada yang aneh, gak?" Rianti berbisik. mendekatkan wajahnya ketelinga Shinta. "Aku ngerasa ada yang ngikutin kita," sambung Rianti lagi.
"Gak ada, kok." Shinta menjawab santai. Menoleh kiri kanan, depan belakang. Dan memang tidak ada yang mencurigakan. "Udah, jangan parno-an ngapa. Kita ke sini 'kan buat cuci mata. Bukan buat uji nyali," tandas Shinta. Membuat Rianti tersenyum getir. Menetralisir ketakutan yang mungkin cuma 'perasaan.'
Tiba-tiba, tanpa diduga seseorang menghadang jalan Rianti. Sosok siswa SMA lengkap dengan seragam putih abu-abu dan ransel di pundak. Rianti melangkah ke kiri,, pria itu pun ke kiri. Rianti ke kanan, dia pun ke kanan. Siapa sih? Rianti membatin menahan kesal.
"Tolong minggir, kami mau lewat!" Ucapan ketus Rianti direspon kekehan nyaring dari siswa itu. Membuat Rianti dan Shinta adu pandang, bingung.
Lagi, di luar bayangan Rianti. Siswa itu membalik tubuh seraya menekuk sebelah lututnya. Menengadahkan wajah, mengembangkan senyuman. "Jadilah pacarku," ucapnya lantang. Menyodorkan setangkai mawar merah dan sekotak coklat berbentuk hati.
Jedar!
Rianti serasa disambar petir di tengah keramaian. Ia kaku, lidahnya juga kelu. Namun beberapa detik kemudian dirinya bisa mengendalikan pikiran. Ia tepis tangan siswa itu seraya berkata dengan nada menggeram, "Apaan sih, jangan bikin malu. Aku bukan lelucon!" Tajam, Rianti menatap pria itu dengan kejam. Sialan! Siapa sih dia.
Rianti kembali melangkah. Mengabaikan tatapan aneh pengunjung yang sudah terlanjur memandang mereka karena suara lantang siswa itu. Tapi lagi-lagi langkah Rianti terhenti, karena si dia kembali menghadang. "Aku akan membiarkanmu lewat asal kamu mau jadi pacarku, terimalah perasaanku Rianti. Akan kupastikan kau tidak akan menyesal," ucap siswa itu dengan percaya diri. Mengembangkan senyuman dan kembali menyodorkan bawaan.
Astaga ... dari mana datangnya bocah ini, kenapa suaranya makin nyaring?
"Terima dulu pemberianku, baru kamu boleh pergi, Sayaaang ..." ucapnya sambil mengedipkan mata.
Rianti kembali dibuat menganga, malu akan perbutan pria yang tak dikenalnya itu. Dengan emosi yang hampir meledak, Rianti pun mengambil pemberiannya. "Ini aku terima, tapi tidak perasaanmu!" ucap Rianti penuh penekanan. Berlalu pergi dengan langkah hampir setengah berlari. "Dasar bocah gila!"
Setelah merasa cukup jauh, Rianti dan Shinta duduk di kursi besi, mengatur napas yang terengah-engah.
"Kamu kenal dia gak?" tanya Rianti.
"Kenal lah ... ibunya pelanggan tetap toko sekaligus bibinya pak Haikal," jawab Shinta yang terdengar ngos-ngosan.
Di belakang mereka ternyata ada seorang pria yang memperhatiakan kejadian itu.
Ia menggeram, mengepalkanan tangannya.
Kelihatan raut wajahnya yang merah padam dengan rahang yang sudah mengatup kuat. "Sialan," desisnya.
Tak lama, ponselnya bergetar. Ia mendapat pesan dari sang ayah, Mahendra Abbas.
[Temui dia sekarang di Mall Matahari. Dia telah memunggumu, namanya Melati.]
Ya, pria yang mengintip Rianti dan menerima pesan kencan buta adalah Ardi Mahendra Abbas. Orang yang selama ini mengirim mata-mata untuk mengawasi Rianti.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Waah pasti ada yg gak beres ni Doni,jangan2 taruhan lagi..
2024-04-20
0
Lia Wildan
ini melati org yg mau dijodohkan sama ardi ? sy fikir mau dijodohkan sama rianti dan ternyata malah rianti yg dimata2i ardi sendiri
2021-10-30
0
Iren Lusia Tarigan Sibero
bingung aku
2021-08-01
0