"Hmm.. Ini beneran apartemennya Nadya?" tanya Sato sambil melihat kembali selembaran kertas yang di kasih dari Ritsuka.
Tak peduli dengan wajahnya yang lebam dan masih berdarah, dia datang untuk menjenguk Nadya dengan membawa beberapa makanan dan juga obat-obatan. Laki-laki itu menaiki tangga satu persatu dan sampailah di lantai 4 dengan kamar nomor 151.
"Beneran ini kan ya apartemennya?" kata Sato yang meyakinkan dirinya sendiri.
"Hey!"
Tiba-tiba saja ada seseorang yang memanggil Sato dari kamar apartemen yang bersebelahan dengan Nadya.
"H-Hmm.. Iya? Apa Anda memanggil saya?" tanya Sato memastikan.
"Ya kamu, kamu siapa? Untuk apa kamu dateng ke tempat gadis itu?" tanya orang itu.
"Dan... Ada apa dengan wajahmu itu? Sangat ketikan dengan luka lebam yang begitu banyak di wajahmu, nak.."
Sato hanya cengar-cengir sambil menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal.
"Maaf Bu, apa Nadya ada didalam?" tanya Sato dengan nada bicara lembut.
"Ya dia ada...."
"W-Wah.. Benarkah?? B-Bolehkah saya mas—"
"Tidak boleh!"
Sato terkejut dengan jawaban ibu itu. Dia melarangnya untuk bertemu dengan Nadya. Apa yang salah?
"Maaf.. Kalau boleh tahu, kenapa ya saya tidak boleh masuk?" tanya Sato lagi.
"Dia tidak mau di ganggu oleh siapapun, kamu pasti sudah tahu kejadian itu kan?"
Ya, Sato tahu. Sangat tahu.
Karena dia sendiri yang menyaksikan kejadian itu langsung dan ditambah dengan berita aib yang bisa menjatuhkan nama baik seorang Nadya.
"Saya sebagai tetangganya yang sudah lama disini, saya tidak mau dia semakin menderita. Terkutuklah yang menyebarkan berita itu." kata ibu itu dengan nada geram.
Kalau di ingat-ingat kembali, Sato juga sama seperti ibu itu. Dia juga sangat kesal dengan apa yang terjadi.
"A-Aahh.. Jadi begitu... Y-Ya saya juga tidak mau dia semakin menderita juga... Saya akan pahami itu.." jawab Sato senyuman di bibirnya yang sedikit kaku.
Sebenarnya Sato ingin sekali bertemu dengan gadis itu. Karena semenjak kejadian di malam itu, Nadya menghilang tanpa kabar entah kemana. Bahkan untuk pesan dan telepon saja tidak di respon oleh gadis itu. Sato benar-benar mengkhawatirkannya.
"Tapi ngomong-ngomong, kamu siapanya dia?" tanya Ibu itu penasaran.
Sato yang di tanya seperti itu langsung gugup seketika.
"A-Ahh.. Saya Sato Mafuyu, saya..."
".... saya calon suami dari Nadya..."
Ibu itu langsung terkejut saat mendengar jawaban dari Sato dengan wajahnya yang berseri-seri.
"B-Benarkah?? Kau ini...?"
Sato menganggukkan kepalanya membuat ibu itu yakin kalau dia memang calon suami dari Nadya. Padahal bukan.
"Oh ya maaf Bu, boleh saya titip makanan dan obat-obatan buat dia? Karena kan tadi kata Ibu saya tidak bisa masuk, jadi boleh saya titip ini?" pinta Sato dengan sopan.
"Tentu saja bisa, kau bisa titipkan ke saya dan malam akan saya kasih ke dia."
Sambil Sato memberi makanan dan obat-obatannya kepada Ibu itu, dia langsung berjalan mendekat ke arah pintu apartemen Nadya.
TOK!
TOK!
TOK!
Sato mencoba mengetuk pintu itu berharap kalau Nadya akan keluar dari apartemennya. Bahkan Sato juga sudah memanggil namanya berkali-kali, tetap saja dia tidak keluar juga. Benar kata ibu itu, mungkin dia masih ingin sendiri, mana mungkin dia di ganggu terus menerus kan?
"Permisi... Nadya... Apa kamu di dalem?"
"Boleh saya masuk? Saya mau lihat kamu..."
Tak ada jawaban ataupun respon dari gadis itu. Sato hanya bisa tersenyum tipis lalu terduduk didepan pintu apartemen.
"Hey..." kata Sato dengan memulai pembicaraan.
"Saya tahu pasti itu sangat membuat kamu trauma kan?"
"...."
"Kamu boleh kok terjatuh sedalam-dalamnya.. Boleh banget, karena kita ini manusia biasa..."
"...."
"Tapi inget lah satu hal ini..."
"...."
Tanpa sadar air mata Sato sudah mengalir deras di pipinya.
"Kamu itu berharga, kamu tetep menjadi permata. Semua gadis itu istimewa dan.. kamu termasuk salah satunya..."
"...."
"Jadi... Teruslah hidup. Saya... dan teman-temanmu mengkhawatirkanmu... Semoga kamu lekas sembuh ya..."
Setelah mengatakan hal itu, Sato bangkit dari duduknya dan berpamitan kepada si ibu tetangga sebelah untuk pulang kerumah.
'Semua gadis itu berharga... Benar kan, Ibu?'
...🍁🍁🍁...
"Apakah bisa meeting di laksanakan besok pagi jam 10? Apakah berkasnya sudah disiapkan?" tanya seseorang yang di sebrang sana melalui telepon.
"Baik, Pak. Sudah siap semua, dan saya juga sudah memberitahukan hal ini kepada Sato." jawab Hiiragi.
"Baik saya tutup teleponnya ya Nak Hiiragi. Terima kasih banyak."
"Baik Pak, Terima kasih kembali."
KREK!
Hari ini Hiiragi benar-benar disibukkan oleh jadwal meeting yang terus datang. Bahkan disaat hari ini Sato mengambil jadwal untuk cuti sehari, tetap saja meeting terus di laksanakan walaupun yang menjadi pemimpin meetingnya adalah dirinya sendiri. Mengingat tentang semua yang di ceritakan oleh Sato tentang gadis yang di incarnya, dia merasa iba.
"Haaahhh.... Kok ada cewek sialan kayak Yuri sih? Udah mana cowok brengsek yang jadi mantannya cewek inceran Sato itu kakaknya Yuri lagi... Brengsek bat dah, kakak sama adek sama aja..." oceh Hiiragi kesal sambil menyiapkan berkas-berkas untuk jadwal meeting besok.
Namun seketika Hiiragi terdiam sejenak dari aktifitasnya. Dia mengkhawatirkan Sato. Apakah dia baik-baik saja setelah melihat dengan mata kepalanya sendiri kondisi itu?
"Apa musti gua juga yang turun tangan ngadepin si brengsek itu? Gregetan anjir gua..." kata Hiiragi gemas.
Hiiragi tahu betul bagaimana perilaku seorang Yuri di belakang Sato saat mereka masih berpacaran. Sato sudah di sakiti berkali-kali, di selingkuhi, di bohongi oleh gadis itu tapi lucunya Sato masih bisa memaafkan semua kesalahan Yuri. Terlebih lagi, Hiiragi juga memahami betul kalau Sato bukan seseorang yang mudah memaafkan orang lain begitu saja setelah dengan apa yang di perbuat, tapi berbeda lagi ceritanya jika itu sudah menyangkut dengan orang yang sangat dia sayangi.
"Sato udah jenguk itu cewek belum sih? Kalo belum keterlaluan juga dia, awas aja gua tebas itu batang lehernya." oceh Hiiragi lagi.
Meskipun jomblo tingkat akut, Hiiragi adalah termasuk orang yang mengerti soal percintaan. Maka tak heran jika dia sangat geram sekali dengan perilaku Sato jika dia sudah terlalu bodoh dan kelewat batas.
Setelah semuanya selesai menyiapkan berkas-berkas untuk meeting besok, Hiiragi mulai membereskan barang-barangnya dan mulai melangkah pergi meninggalkan ruangan. Hiiragi sangat kepikiran tentang Sato, bahkan sudah berada di basement parkiran, dia tetap saja memikirkan Sato.
'Itu anak gak apa-apa kan ya? Semoga cewek itu juga gak apa-apa. Gua agak khawatir, takut si cewek itu malah trauma. Emang bener-bener sialan banget dah itu dua kakak adek...'
...🍁🍁🍁...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments