METAVERSE BIRU
Kepala Ritha mendadak pusing saat menerima telepon dari papanya terkait dengan perkembangan pendidikan putera sulungnya. Dadanya terasa sesak. Entah mau ditaruh dimana mukanya, serasa bagai dilempar kotoran yang bau dan menjijikan. Papanya yang mewakili pihak sekolah terpaksa memberinya pilihan yang sama buruknya buat putera kebanggaannya Faiz, yaitu: mengundurkan diri atau dikeluarkan dari sekolah.
Perasaannya bercampur aduk tak karuan. Gabungan antara rasa kecewa, malu, marah dan sedih bertumpuk menjadi sebuah rasa yang sulit buat digambarkan. Bagaimana mungkin anak pendiri dan donatur sekolah dikeluarkan dari sekolah yang digagasnya. Apalagi kejadian ini terjadi saat sekolah yang digagasnya mulai
mendapatkan akreditasi A dan diperhitungkan karena alumninya terkenal cerdas, disiplin dan berbudi. Terlebih sekolah itu dikelola oleh papanya yang notabene adalah kakek Faiz sendiri. Sungguh memalukan.
“Faiz telah berulang kali melanggar peraturan sekolah. Sudah terhitung lebih dari 30 hari dia mangkir dari kegiatan wajib pesantren maupun sekolah selama semester ini. Dengan terpaksa papa harus meminta kalian memindahkan cucu papa dari sekolah ini.Peraturan dan tata tertib harus ditegakkan tanpa pandang bulu agar seluruh santri merasakan keadilan. Jika dibiarkan ia akan menjadi contoh buruk buat santri lainnya,” Pak Umar bicara dengan suara pelan dan berhati-hati. Ritha tahu, saat ini beliau harus bicara sebagai pimpinan lembaga pendidikan. Harus adil. Meskipun bertalian darah dengannya, Faiz adalah santri yang punya hak dan kewajiban yang sama dengan santri lain.
Ritha tak habis pikir. Entah apa yang diinginkan anak sulungnya yang keras kepala itu. Apakah ini adalah salah satu bentuk pemberontakan sebagai remaja tanggung yang baru beranjak dewasa? Mengapa ia melanggar aturan? Apa dia pikir dia bisa berbuat seenaknya lantaran ayahnya pendiri dan donatur sekolah? Dengan statusnya sebagai anak pendiri dan donatur sekolah, serta cucu dari pengelola yayasan pendidikan tempatnya menuntut ilmu, mungkin ia merasa kebal hukum. Boleh melakukan apapun karena tak mungkin dikeluarkan dari sekolah. Atau … dia melakukan itu karena merasa sudah terlalu pintar hingga tak butuh sekolah lagi? Aduh, Faiz. Ada apa dengan kamu, Nak?
Kunang-kunang mengitari kepala Rita, menari-nari sambil mencemoohnya sebagai ibu yang gagal.
Masalah ini sebenarnya bukan hal yang baru. Kelakuan buruk Faiz sudah diberitahukan pak Umar -papanya- pada bulan sebelumnya. Sayangnya Ritha mengabaikan pemberitahuan itu karena kesibukannya yang menggunung. Menyesal. Hanya kata itu yang merundung hatinya saat ini. Seharusnya ia menyempatkan diri mengunjungi anaknya, mendampingi selama beberapa hari, dan bicara dari hati ke hati apa yang menyebabkan anaknya melanggar peraturan seenaknya. Kalau saja hal itu sempat dilakukannya, mungkin masalahnya tak akan sampai seburuk ini.
“Beberapa bulan belakangan ini Faiz telah berulang kali dipanggil wali kelasnya dan guru konseling. Berbagai nasehat dan hukuman sudah dijalani, namun Faiz tetap melakukan kesalahan yang sama tanpa rasa bersalah sama sekali. Papa bingung. Papa juga sudah berkali-kali turun tangan menasehatinya sebagai pimpinan lembaga pendidikan, sebagai kakek maupun sebagai walinya. Tapi Faiz tak pernah jera.” keluh pak Umar. Suaranya terdengar parau. Beliau pasti sangat terbebani dengan sifat keras kepala cucunya tertuanya. Sangat berbeda dengan dua anak perempuannya yang selalu patuh dan disiplin.
Sebagai seorang guru, papa selalu menekankan pentingnya pendidikan anak. Ritha sepakat. Itu sebabnya meski dulu keluarganya sederhana, namun pendidikan tetap diutamakan. Lahir dari keluarga pendidik membuatnya mudah merasa miris dan gagal ketika mendengar anak kandungnya mengabaikan pendidikan.
“Faiz anak yang unik. Dia jarang bicara, tak pernah membantah saat dinasehati dan selalu menjalani hukuman yang ditimpakan padanya dengan baik tanpa mengeluh. Dia telah beberapa kali dihukum membersihkan kamar mandi. Dihukum lari 10 kali putaran keliling lapangan sekolah juga sering. Bahkan sekarang rambutnya masih gundul akibat hukuman. Hampir segala jenis hukuman dan nasehat telah diterimanya, namun tak ada satupun yang dapat membuatnya jera. Papa dan guru-guru di sini bingung kenapa mulutnya selalu membisu tapi kepalanya tetap membatu. Dia bukan tipe anak yang suka memberontak dengan berapi-api. Kadang terlihat penurut karena setelah menjalani hukuman, ia mengikuti semua peraturan pesantren sebagai mana biasa. Namun beberapa hari kemudian ia mengulangi kesalahan yang sama tanpa rasa bersalah. Saat ditegur lagi, ekspresi wajahnya tetap datar dan tenang seperti orang yang tak punya kesalahan. Papa sampai bingung bagaimana menghadapinya. Guru konseling sekolah pun sudah angkat tangan. Seminggu belakangan ia sembunyi-sembunyi keluar pesantren. Saat ditanya, dengan wajah tak berdosa dia bilang perlu bolos dengan alasan fokus mengikuti turnamen game online.”
Ritha membuang nafas dengan hempasan yang keras menutup rasa kecewa mendengar keterangan panjang papanya. Ia berusaha untuk dapat mencerna kata demi kata yang diungkap papanya sambil mengelus
dada. Sesekali ia menghembuskan nafas panjang untuk menenangkan pikirannya dan menghirup lebih banyak oksigen agar mampu tetap berpikir jernih. Ia berusaha lapang dada mendengar hal yang sebelumnya tak pernah terpikirkan akan terjadi pada anaknya.
“Papa sudah rapatkan ini dengan dewan guru, Kak. Atas nama tata tertib dan kemuliaan dunia pendidikan, kami terpaksa harus meminta Faiz keluar dari sekolah dan mengembalikan kewajiban pendidikan pada orang tuanya. Sekarang ini sudah ada beberapa santri yang kecanduan game online gara-gara meniru Faiz. Jika dibiarkan akan berakibat buruk buat pendidikan santri-santri lain di pesantren. Buruk juga buat perkembangan mental Faiz sendiri. Papa tidak mau cucu papa bertindak seenaknya melanggar peraturan walaupun ayahnya pendiri dan penyandang dana sekolah ini,” kata papa dengan suara yang berat. Ritha yakin pasti papa pasti kecewa karena gagal mendidik cucu pertama yang sebelumnya selalu menjadi kebanggaan karena kecerdasan dan ketampanannya di atas rata-rata.
“Apa tidak ada kebijakan lain, Pa? Bukankah nilai akademisnya masih baik?”
Hembusan nafas Papa terdengar kasar. Ritha belum pernah mendengar papa membuang karbon dioksida dari tubuhnya dengan sekasar itu. Kekecewaannya pasti teramat dalam. Papa adalah seorang guru sederhana yang telah berhasil mengantarkan puluhan anak didiknya menjadi ‘orang’ termasuk dua puterinya yang lulus pendidikan tinggi dengan nilai sangat memuaskan. Sekarang, pria tua yang pernah dinobatkan menjadi guru teladan itu harus menyerah, tak kuasa mendidik cucu sulungnya.
Ah, Ritha jadi menyesal mengeluarkan pertanyaan yang terkesan mengingkari dan dengan tak tahu malu menegosiasikan keputusan sekolah yang sepertinya sudah final. Ingin rasanya ia memukul kepalanya sendiri. Bagaimana mungkin bisa keluar pertanyaan bodoh itu pada seorang pendidik yang jujur dan taat peraturan seperti papanya.
“Nilai akademisnya tak pernah buruk. Tapi pesantren tidak hanya mementingkan nilai akademis saja, Kak. Di dalam visi, misi dan kurikulum lembaga, ada kewajiban pesantren dalam pendidikan karakter, adab dan disiplin atau pengendalian diri santri.”
Ritha mengangguk pelan.
“Sebelum kecanduan game online, Faiz adalah santri teladan. Dia selalu menunjukan prestasi terbaiknya di bidang akademik maupun non-akademik. Dia sudah terlanjur dianggap panutan bagi santri lainnya. Kami tidak ingin santri lain mengikuti jejaknya. Peraturan harus ditegakkan. Faiz sudah melanggar peraturan, sering tidak mengikuti kegiatan pesantren dan selama 6 bulan terakhir ia tercatat telah bolos lebih dari 30 hari. Sekolah sudah memperingati, menasehati dan menghukum sesuai prosedur, namun tidak ada yang membuatnya jera. Papa juga sudah berulang kali bicara empat mata, tapi tak berhasil membuatnya kembali menaati peraturan sekolah.”
“Apa karena kecanduan game online Faiz jadi anak nakal?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
lady El
yah,,baru tau ada novel baru
2022-02-17
1
bieb
baru gabung thor..😘😘👍
2022-02-04
1
cengar cengir
mungkinkah kurang perhatian orangtua.
sepertinya yes...
apalagi yg diem gitu.
2022-01-17
2