Biru, sebuah nama yang disematkan untuk segala hal dalam hidupnya membuat banyak orang mengharu biru. Bagaimana tidak, Biru lahir.sebagai bayi yatim yang kulitnya berwarna kebiru-biruan. Orang medis menyebutnya Sianosis (cyanosis) atau sindrom bayi biru. Sebelumnya keluarga menduga faktor keturunan yang menyebabkan kulit bayi yang lahir berwarna biru adalah karena kelainan jantung bawaan sebagaimana kelainan jantung yang diderita kakak perempuan satu-satunya. Ternyata tidak. Setelah melalui pemeriksaan intensif jantung Biru dinyatakan normal dan sehat. Biru tumbuh sehat dan normal sebagaimana anak-anak lainnya, tidak seperti kakak perempuannya yang mudah lelah.
Biru menyukai aktivitas fisik sejak kecil. Biru kecil bisa berlari-lari sesukanya tanpa takut mengalami sesak nafas atau pingsan karena kelelahan. Di pesantren Biru mengikuti semua cabang olahraga yang diperkenalkan: atletik, pencak silat, volley, memanah, berkuda dan berenang. Tapi Biru paling tertarik dengan cabang olahraga memanah. Apapun target memanah yang diberikan orang, hampir tak pernah meleset. Biru tergabung dalam tim memanah yang handal. Pesantrennya mendapat juaran umum pada cabang oleh raga memanah tingkat Jawa Barat berkat perannya juga. Biru mendapat medali emas untuk kelas memanah perorangan maupun beregu. Hanya satu yang tak dapat dilakukannya dengan anak panah, yaitu memanah hati orang yang dicintainya. Target yang satu itu jauh panggang daripada api.
Hahaha. Kau gila Biru. Bagaimana mungkin kamu punya obsesi memanah hati kakak iparmu sendiri? Miris sekali.
Rasa itu tumbuh begitu saja dan membuatnya gundah. Biru merasa bahagia dan nyaman bila berada di dekatnya. Semua hal tentang kang Asep baginya istimewa. Tak ada seorang pun yang mampu membuatnya merasa nyaman
selain sosok kakak iparnya itu. Diam-diam Biru selalu memupuk rindu dari hari senin sampai sabtu karena ia harus tinggal di asrama putri pesantren yang sebenarnya letaknya hanya beberapa ratus meter dari rumah kakaknya, tempat tinggal yang memberinya keteduhan sejak Biru masih bayi. Bila rindunya tak tertahankan, pagi-pagi sekali ia menunggu di beranda masjid untuk melihat kakak iparnya itu berjalan untuk mengikuti shalat subuh berjamaah di masjid yang terletak di kawasan pesantren. Hanya melihat saja. Tanpa menyapa atau beradu pandang. Itu pun dilakukan secara sembunyi-sembunyi tanpa ada satu orang pun yang tahu. Melihat saja sudah jadi obat buat rindunya yang menggebu. Biru sadar, ia tak bisa berharap lebih. Itu dosa dan memalukan.
Kadang ada rasa yang mengganggu pikirannya. Biru merasa seperti orang berhati iblis. Andai saja ada orang tahu bagaimana rasa itu tumbuh dalam hatinya, mereka pasti sudah menghujat atau menganggap Biru pelakor yang tak tahu malu. Jelas. Biru tahu ini rasa cinta yang salah. Bukannya memikirkan bagaimana membalas budi baik kakak tiri yang merawatnya sejak bayi merah, setelah beranjak dewasa mengapa Biru justru sibuk memikirkan bagaimana
mengambil hati suaminya. Padahal Lily -kakak perempuannya- adalah seorang perempuan kuat yang berhati malaikat. Dia telah berbaik hati membesarkan Biru yang yatim ini dengan cinta tanpa syarat. Padahal ibu kandungnya pergi meninggalkannya entah kemana. Sampai saat ini perempuan itu tak pernah mencari anak yang telah dilahirkannya.
Sungguh.Rasa cinta itu adalah siksaan. Biru tahu yang dirasakannya salah tapi tak tahu bagaimana cara mengenyahkan rasa itu dari hatinya. Dia tersiksa dengan perasaannya sendiri. Tahukah kamu bagaimana caranya membunuh perasaan itu? Biru benci situasi ini. Benci sekali. Ia sangat mencintai Lily dan tak ingin melukai hati malaikat tak bersayap itu. Haruskah ia bunuh diri agar lepas dari dilema yang aneh ini? Biru tak berani bicara tentang perasaannya pada siapapun. Ia takut. Sangat takut semua orang akan kecewa jika tahu hatinya begitu kotor. Bukannya mereda, semakin hari entah mengapa rasa itu semakin tumbuh besar dalam hatinya.
Biru ingin marah tapi tak tahu pada siapa. Haruskah marah pada hati sendiri. Atau marah pada nasib buruknya yang lahir tanpa ayah dan ditinggalkan ibu kandungnya. Kalau anak lain boleh menjadikan ayahnya cinta pertama mereka, mengapa Biru tidak boleh mencintai kakak ipar yang selama ini menggantikan peran ayah buatnya sebagai cinta pertamanya. Ya. Biru sudah tahu pasti jawabnya. Biru menjatuhkan cinta yang salah alamat. Karena cinta pertamanya bukan mahromnya. Dia adalah suami kakak tiri yang telah merawat dan membesarkan Biru selama ini. Dia bisa saja menikahi Biru kalau tidak ada kakak perempuannya. Lalu, haruskah ia berharap kakaknya yang penyakitan itu mati agar dapat memiliki suaminya. Jujur kadang terbersit harapan itu dalam hatinya. Itulah sebabnya kenapa Biru merasa ada iblis bersarang dalam hatinya.
Kata ibu guru yang memberiku bimbingan konseling, warna biru merupakan simbol dari kepercayaan, loyalitas, tanggung jawab, dan keamanan. Warna biru sering digunakan sebagai warna dinding, tirai, lukisan atau furnitur rumah sakit karena dipercaya dapat merelaksasi otak agar pikiran pasien lebih tenang. Oleh karena itu, jika Biru merasa agak stres atau pikiran sedang kacau balau, bu Fia menyarankan untuk mencari benda yang berwarna biru. Setelah mendapatkan benda berwarna biru, tatap benda tersebut selama kurang lebih 20 menit. Niscaya akan merasa lebih tenang. Kadang ada benarnya juga apa kata guru konselingnya. Saat sedih, Biru duduk di bawah pohon seraya menarik nafas panjang dan menengadahkan kepala menatap birunya langit. Hatinya menjadi lebih tenang karena merasa Tuhan menyapa lewat birunya langit. Tapi Biru justru merasa sedih dan merana ketika menatap buku harian yang bersampul biru. Sama-sama berwarna biru, namun memberi efek yang berbeda.
Bolehkah aku bertanya, tak bisakah aku menatap diriku sendiri agar tenang? Bukankah aku Biru, warna yang memiliki arti seni yang bisa menyembuhkan.
Saat ini Biru sedang berada di taman dekat sumber air alami yang terletak di lembah yang dipenuhi aneka bunga mawar. Hari ini Biru ingin berlama-lama ditempat itu namun Faiza -keponakannya yang ceriwis- mengikutinya terus sejak tadi. Gadis kecil bermata coklat dengan kelopak kecil itu punya kebiasaan baru berfoto dan menari-nari dengan iringan penggalan musik disko yang sedang hits. Biru kebagian tugas dokumentasi, diminta memegang kamera kemanapun sesuai perintah sang tuan puteri bernama Faiza.
“Di sini, Bi. Bibi jadi kameramen di sini ya. Aku dan Alisa ngedance. Jangan lupa musik yang sudah aku pilih tadi dibunyikan yang keras ya.”
Biru menggangguk. Dia berdiri di tempat yang ditunjuk Faiza sambil mengutak-atik kamera kecil milik keponakannya itu. Bentuknya mungil tapi ternyata kualitas gambarnya bagus, setara dengan kamera mahal yang harganya puluhan juta. Anak sultan mah bebas, bisa membeli apapun yang terbaik. Juga suka memerintah orang seenaknya.
“Kamu sudah hapal gerakannya kan, Lis?”
Alisa menggangguk kalem. Bibirnya menyunggingkan senyum yang menyejukan. Biru selalu iri pada anak bungsu Lily yang sangat dimanja abahnya itu. Ia juga ingin dimanja, namun kang Asep selalu menciptakan jarak padanya. Sejak Alisa hadir, kang Asep tak pernah menatapnya. Tapi tentu saja Biru tak berhak protes dan tak menunjukan rasa irinya. Biru tahu itu salah. Semua rasa cukup dipendam dalam hati saja.
“Siap- siap ya.”
Biru menyetel musik disko yang dipilih Faiza dari gawainya. Dua keponakannya itu bergerak ala-ala penari kontemporer yang menggelitik. Faiza yang memang jago menari memiliki gerakan lebih luwes dan lentur daripada Alisa. Namun secara keseluruhan tampilan keduanya sudah seperti penari professional yang sengaja menari di kebun mawar. Begitu unik dan menarik.
“Sip. Bagus.”
“Coba lihat.” Faiza merampas kameranya sebab tak sabar melihat hasil videonya.
“Lumayan.” gumam gadis kecil yang memiliki bola mata yang tampak seperti garis lurus tipis saat tersenyum.
“Kok cuma lumayan sih, Za.” protes Biru tidak terima.
“Anglenya kurang bagus, Bi. Masih kelihatan kurang professional.” jawab Faiza dengan lagak angkuhnya meninggikan dagu. Sok tahu.
Biru mengerucutkan bibirnya. Menurutnya video itu sudah bagus, tapi keponakannya hanya menilai lumayan. Sebal sih sebenarnya usaha kerasnya hanya dihargai dengan kata lumayan, tapi sebagai bibi terpaksa harus mengalah sama keponakan.
“Mau diulang lagi?” tawarnya.
“Nggak usah. Sudah masuk standar minimum kok.” kelit gadis kecil itu.
Biru membalikan wajahnya agar bisa mencebik tanpa dilihat keponakannya itu. Cih. Bilang aja bagus. Gitu aja kok repot sih.
“Sekarang bikin video musik lagi dengan ganti lagu, ganti gaya, dan ganti latar. Ayo kita ke sana.” Faiza menunjuk ke arah kebun kopi lalu berlari menuju tempat itu dengan diikuti Alisa.
Dengan malas Biru mengekor dua keponakan perempuannya itu seperti seorang penggembala yang pasrah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
bieb
👍👍
2022-02-04
1
Retno Dwi
mantap
2022-02-02
1
Dora Husien
hatiku mengjaru biru...
2022-01-09
1