Faiza melompat naik ke atas helikopter dengan dibantu Bas. Dengan telaten lelaki lajang itu mendudukan keponakannya di kursi depan heli, tepat di sebelah tempat duduknya sebagai pilot benda berbaling-baling besar itu. Ia juga sempat mengacak-acak rambut Faiza sebelum memasangkan headset di kepala keponakannya dengan dengan disertai tatapan mata dan senyum yang teduh. Jauh dari kesan sangar dan angkuh yang melekat pada dirinya selama ini. Ritha tersenyum melihat keakraban mereka. Ikatan darah masih menyatukan mereka meski paman dan ayahnya masih kerap berselisih paham, namun tetap saling mendukung sebagai saudara.
Ritha duduk sendirian di kursi belakang. Begitu selesai mengenakan headset. Bas langsung menyalakan mesin helicopter hingga suara mesinnya beradu sama kerasnya dengan suara baling-baling yang mulai berputar-putar. Semakin lama putarannya semakin kencang sebelum akhirnya heli terangkat dari Pad-nya dan bergerak semakin meninggi.
Menikmati pemandangan kota Jakarta dalam ketinggian merupakan sebuah kesenangan tersendiri. Gedung-gedung tinggi yang menjulang dengan berbagai desain arsitektur memanjakan matanya. Sebagian Gedung itu
adalah hasil rancangan Ritha dan tim desain GNC maupun GBP. Ada rasa bangga terselip dalam hatinya. Tak banyak orang tahu hasil karyanya. Hanya mereka yang suka mengintip profil perusahaan GNC dan GBP yang tahu bahwa Gedung tersebut adalah rancangan tim yang dipimpinnya. Memang tak semua orang harus tahu. Bangganya juga tak boleh membuatnya besar kepala. Mulai besok, Ritha akan mengurangi peran profesinya agar lebih fokus mendampingi masa-masa kritis anak-anaknya yang memasuki masa pencarian jati diri.
Setelah melintasi kota Bogor, pemandangan berubah menjadi lanskap alam yang terdiri dari pegunungan, bukit, lembah, sungai, dan lanskap alami yang menyejukan mata. Tuhanlah yang merancang lanskap yang indah itu. Manusia hanya tinggal menikmati, menjaga kelestarian ekosistem alami dan mengelolanya sebagai wujud baktinya diturunkan Tuhan ke Bumi.
Cuaca sedang sangat cerah. Tak ada awan mendung, angin kencang atau hal lain yang mengganggu penerbangan pagi ini. Tak sampai satu jam helicopter telah mendarat di helipad yang terletak di belakang rumah Lily.
Anak-anak Lily – Aksa, Amar dan Alisa- terlihat berlari ke luar rumah lewat pintu samping. Pasti suara gemuruh helicopter itu yang memberitahu mereka agar menyambut kerabatnya dengan suka cita. Biru terlihat mengekor tiga keponakannya di belakang. Lily dan Asep muncul kemudian. Namun Faiz tak tampak berada di tengah-tengah mereka.
Kemana anak itu? Ritha bertanya-tanya dalam hati. Ada kecemasan menyusup di sana.
“Kita sudah sampai.” Faiza berteriak dengan gembira sambal melepas headset yang dikenakannya dan meletakkan benda itu pada tempat yang telah disediakan dalam pesawat helikopter tipe terbaru yang baru bulan lalu dibeli Satya. Penampilan helikopter itu lebih keren dan canggih. Itu sebabnya Bas tertarik "test drive" helikopter baru hingga menawarkan diri mengantarkan Ritha dan anaknya ke Sukabumi. Padahal Ritha merasa lebih nyaman kalau pergi diantar pilot sewaan saja.
“Jangan terburu-buru, Sayang! Biarkan baling-baling heli berhenti dengan sempurna. Sabar. Pintu baru akan terbuka setelah semua aman.” Ritha mengingatkan puterinya agar tidak terburu-buru turun. Keselamatan harus diutamakan. Putrinya terlihat sangat antusias ingin segera menemui paman, bibi dan sepupunya.
Faiza tetap duduk di kursinya sambil mengamati pergerakan baling-baling yang mulai melambat. Gadis kecil itu melambai-lambaikan tangan ke arah para sepupunya yang telah menyambut mereka dengan gembira. Ia tampak gelisah, tak sabar untuk turun dan bergabung dengan paman, bibi dan para sepupunya itu. Bokongnya beberapa kali diangkat lalu diturunkan lagi ke kursi. Matanya sesekali melirik ke arah bundanya yang duduk di belakang lalu beralih melihat bayang-bayang pergerakan baling-baling helikopter dengan tak sabar. Gerakan itu diulangnya beberapa kali sebelum baling-baling berhenti dengan sempurna dan pintu otomatis terbuka.
“Hai. Apa kabar?”
Faiza melompat dari pintu dengan gerakan yang cepat bagai tupai melompat dari satu pohon kelapa ke pohon lainnya. Gadis kecil itu berlari menghampiri mereka yang menyambutnya sambil berteriak-teriak dengan gembira. “Aku datang… Aku datang.”
Ritha hanya bisa geleng-geleng kepala. Gadis kecilnya sangat ekspresif dan antusias. Berbeda sekali dengan kakaknya yang pendiam dan misterius. Setelah menyalami paman dan bibinya, anak itu langsung mengajak sepupunya berlarian di taman.
“Apa kabar, Kak?” sapa Lily yang menyambutnya dengan senyum yang paling ramah. Ritha begitu mengagumi suara adik iparnya yang terdengar lembut mendayu dan keramahannya yang luar biasa.
Ritha membalasnya dengan seutas senyum yang sama tulusnya.
“Baik, Ly.”
“Mau jemput Faiz?”
Ritha tersenyum samar. “Seperti yang kamu tahu. Dia akan membawa pengaruh buruk buat santri di sini kalau tetap dibiarkan berbuat sesuka hatinya.”
“Faiz tetap anak baik, Kak. Mungkin hanya tempatnya yang tidak lagi cocok dengan apa yang diinginkannya.”
Ah, sejuk rasanya mendengar kalimat adik ipar yang membesarkan hatinya. Faiz memang anak baik. Ritha tak perlu berpikir macam-macam.
“Masuk yuk.” Lily menggandengnya masuk ke dalam rumahnya yang besar namun terkesan tua karena bangunannya berdesain eropa kuno yang tidak lagi ngetren pada masa ini. Pilar-pilarnya bulat, besar dan berulir.
Lily tak merubah desain bangunan yang dibangun sejak jaman mamanya masih hidup puluhan tahun yang lalu. Ia hanya menambah bangunan dan merenovasi tanpa mengubah desain dasar arsitekturnya. Berada di rumah itu mengingatkannya pada kastil kuno di pedesaan Swiss yang pemandangannya indah dan damai.
Ritha tak langsung mengikuti ajakan Lily. Lebih baik menunggu Bas yang masih belum bergabung bersama mereka. Lelaki itu masih berada di bangku kemudi memeriksa kelangkapan teknis pesawat sebelum ditinggalkan di
pad-nya.
“Faiz belum ke sini, Ly? Padahal kami sudah beritahu dia akan jemput pagi ini.” keluh Ritha dengan suara pelan.
“Belum. Kayaknya masih di asrama.”
“Nggak usah buru-buru, Kak. Santailah dulu di sini. Nanti aku temani ke pesantren. Kakak pasti perlu menemui pak Umar dulu kan? Kita ngobrol-ngobrol sebentar di sini sambil refreshing. Kami kangen kalian. Sudah lama kak Ritha dan kak Satya tidak ke sini.” sahut Lily.
Ritha menggangguk dan tersenyum tipis.
“Aku yang nggak bisa lama di sini. Waktuku hanya sejam.” Bas menghampiri mereka dengan wajah sangar mematahkan anjuran Asep untuk bersantai-santai dulu di rumahnya.
Ritha terperangah. Sejam? Mana cukup. Duh jadi menyesal kenapa tadi tidak bersikukuh pergi dengan pilot sewaan saja agar waktunya lebih longgar dan nyaman.
Asep langsung nyengir. Paham ada perselisihan tak kentara antar ipar. Ia menghampiri Bas lalu menyalami serta memeluk iparnya itu dengan ramah.
“Memangnya mas Bas sibuk banget ya?” tanya Lily yang memperlihatkan wajah kecewanya pada jawaban Bas. Sungguh. Ia masih kangen dengan ipar, ponakan dan kakaknya. Berharap mereka bisa ngobrol berlama-lama melepas rindu.
“Time is money.” Jawab Bas sambil mengangkat dagu dan alisnya bersamaan.
Lily mencebik setelah menyalami kakak kandungnya. Terbiasa dengan sikap angkuh Bas tak menghilangkan rasa kecewa Lily pada ucapan kakaknya tadi.
“Memangnya kak Satya kemana?”
“Ada meeting dengan partner kerja dari Canada.” jawab Ritha yang masih berusaha tenang meski dongkol dengan soal batasan waktu sejam yang disampaikan Bas secara mendadak tanpa kompromi.
“Alasan. Dia pasti mau tebar pesona sama bule Canada itu.” cibir Bas
Ritha tersenyum dan mengerdipkan matanya pada Lily yang sudah sama-sama tahu arti kerdipan matanya adalah, jangan dianggap omongan si pahit lidah.
“Satya kayaknya niat banget nyari gadis bermata biru yang lain. Istrinya sudah membosankan. Ustadz-ustadznya selalu menyarankan dia poligami.” Masih tak puas mencibir. Kali ini kalimat Bas makin menyakitkan terdengar di telinga Ritha. Tapi Ritha hanya bisa mengelus dada tanpa keinginan membantah ucapan pedas Bas yang terus terang cukup mengganggu hatinya.
"Ngapain kak Satya disuruh poligami. Kak Bas yang masih jomlo harusnya nikah dulu. Angka statistik di Indonesia berimbang lho, bahkan lelaki sedikit lebih banyak. Nggak ada alasan poligami karena jumlah perempuan lebih banyak dan harus diayomi oleh lelaki dengan pernikahan." celetuk Lily dengan nada sinis. Tampaknya dia ikut kesal dengan celetukan Bas. Meski tinggal di daerah terpencil dan kental dengan kehidupan agama, namun Lily ternyata bukan salah satu orang yang mendukung poligami.
"Yang nyuruh poligami itu bukan aku, Ly. Ustadz-ustadznya Satya." bantah Bas tersenyum culas.
"Itu ustadz-ustadznya Satya kayaknya gemas banget tahu ada pengusaha kaya yang ganteng tapi cuma punya satu istri. Padahal banyak perempuan lain yang ngarep jadi istrinya dan ngejar-ngejar dia."
Lily mencebik lalu menarik lengan Ritha agar menjauh dari kakaknya yang berlidah pahit itu. Ngeselin banget nggak sih. Pantes nggak laku laku. Mulutnya nggak pernah distel bernada manis, padahal sering makan yang manis manis. Lidahnya terlalu lancar mengucap kalimat pahit dan pedas tanpa memikirkan perasaan orang yang mendengarnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
Retno Dwi
penasaran nanti siapa wanita yg bs menaklukkkan si bas bermulut pedas
2022-02-02
1
Wenny
sabar cantikk. gak usah di masukin ke hati omongan mas bas.. hayooo cantiik semangatt💪💪💪☺️
2022-01-08
1
Hikari
Faiz tetap anak baik. Beda generasi mungkin menyebabkan beda cara pandang. Ritha hanya belum paham bagaimana cara berpikir anaknya.
Bravo Faiz. Yuk main game online lagi😁😁😁
2022-01-08
1