Hari ini Ritha telah bersiap menjemput Faiz dengan ditemani Faiza, puteri bungsunya yang ceriwis. Satya tak bisa menemaninya karena sudah terlanjur janji bertemu dengan kolega yang baru saja tiba dari Canada. Hari ini untuk
pertama kalinya ia pergi dengan diantar Bas, kakak iparnya yang sampai saat ini masih betah membujang. Bas tak ingin punya komitmen dengan siapapun. Meski membujang Bas tidak pernah jomlo. Ia selalu punya pacar. Bahkan berkali-kali gonta-ganti pacar. Tiga tahun terakhir ini ia berpacaran dengan selebgram terkenal yang bucin setengah mati padanya. Hubungan mereka sudah terjalin cukup lama jika dibandingkan dengan pacar-pacarnya yang lain, tapi Bas tak kunjung menikahinya. Entahlah. Padahal kehidupan Bas sekarang sudah cukup mapan dan usianya sudah kepala empat.
Bas telah membeli rumah peninggalan orang tuanya di Menteng yang sebelumnya dimiliki kakak tertua mereka: Bram. Rumah tua yang letaknya bersebelahan dengan rumah Satya dibeli Bas lima tahun yang lalu, saat Bram butuh banyak uang untuk membayar hutang keluarganya karena bisnis-bisnisnya gulung tikar. Sejak saat itu Bas menjadikan rumah tua itu sebagai kantor perusahaan property dan perusahaan jasa keamanan yang dimiliki dan dikelolanya sendiri. Itulah sebabnya kenapa Ritha sekarang cukup dekat dengan kakak iparnya yang berlidah pahit itu. Telinganya sudah kebal mendengar kalimat-kalimat yang bernada merendahkan yang kerap keluar dari mulut iparnya itu. Kata-kata Bas tak pernah dimasukan ke dalam hati. Anggap saja gurauan yang patut diapresiasi dengan sedikit senyum. Meski hubungannya lebih baik, namun Ritha tak mau mencampuri urusan pribadinya. Padahal ia sering merasa risih lantaran dikuntit pacar Bas yang tak berhenti berharap ia mau membujuk Bas agar menikahinya. Tentu saja ia tak bisa menyanggupi permohonan itu. Bas memiliki pemikiran dan kehidupan sendiri yang Ritha sendiri kurang paham.
“Rith, buruan ke rooftop! Aku sudah siap nih. Lima menit nggak ke atas, aku tinggal terbang ke langit ke 9 ya.” Bas menghubungi teleponnya tanpa salam dan langsung menutup Kembali tanpa menunggu jawaban Ritha. Tanpa salam juga. Kebiasaan buruk itu sudah menetap sejak lama.
Ritha buru-buru menggandeng Faiza berjalan menuju tangga beton tua yang merupakan salah satu jalan paling cepat menuju rooftop. Tak ada lift maupun escalator. Rumah itu masih tetap dipertahankan dengan desain lama, warisan orang tua suaminya.
“Buruan, Za! Pakde Bas sudah menunggu di rooftop. Nanti pakde marah kalau nunggunya kelamaan.”
“Sebentar, Bun. Ada yang ketinggalan. Aku mau ambil medali aku dari lomba lariku tempo hari untuk dipamerkan pada kak Faiz, bi Biru, bi Lily, adik Aksa dan yang lainnya.”
“Nggak usah, Za. Pakde Nggak mau nunggu terlalu lama. Kita ke Sukabumi mau jemput kakak. Jadi, kalau mau pamer nanti saja kalau kakak sudah pulang ke rumah.”
Faiza cemberut. Ia mengikuti Langkah Ritha dengan malas. Ritha buru-buru menarik tangan puterinya agar mau melangkah lebih cepat ke rooftop.
“Memangnya kakak sudah nggak betah di pesantren ya, Bun?”
“Iya. Kakak ingin tinggal sama-sama kita di Jakarta.”
Gadis kecil itu tersenyum memperlihatkan giginya yang gingsul di sebelah kiri. “Yey… Kakak pulang.” Serunya riang.
“Kamu senang kakak pulang?”
“Iya. Nanti aku paksa kakak joget tic tak dan aku upload biar viral.”
Ritha tak terlalu menanggapi celoteh anaknya yang memang aktif dan hobi menari itu. Ia masih menarik lengan gadis kecil yang berkulit kuning dengan mata sipit seperti ayahnya itu agar berjalan lebih cepat menaiki tangga menuju rooftop. Kalau tidak begitu, gadis kecilnya pasti akan memenuhi tasnya dengan berbagai barang yang ingin dipamerkannya pada saudara-saudaranya.
“Kak Faiz nanti pindah sekolah dimana, Bun?” Faiza berhenti sejenak untuk menatap netra biru bundanya
Ritha hanya menjawab dengan kalimat pendek, “Belum tahu.”
Lagi-lagi perempuan dengan hijab biru bermotif awan itu menarik lengan gadis kecilnya agar tetap berjalan lebih cepat lagi menaiki anak-anak tangga. Yang ada dalam pikirannya sekarang adalah harus cepat sampai rooftop.
Ia malas mendengar omelan kakak iparnya yang tak pernah sabar menunggu. Selalu terpatri dalam benaknya, lidah iparnya itu pahit. Ocehannya jarang enak didengar.
“Di Zakia Internasional High School yang satu kompleks dengan sekolah aku aja ya, Bun.”
“Kamu nanti bilang aja sama kak Faiz langsung ya. Kalau bisa bujuk kakakmu agar mau bersekolah di sekolah umum. Kak Faiz maunya home schooling.”
“Ih… jangan home schooling! Nggak enak di rumah melulu. Bosan lagi. Sekolah di tempat yang sama aja dengan sekolah Izza. Nanti kan berangkatnya bisa bareng sama Izza.” Gadis kecil itu tersenyum genit seperti membayangkan sesuatu yang membuat matanya berbinar bahagia. Tentu saja memiliki seorang kakak yang jarang bertemu membuat kangennya berlapis-lapis. Dia tak bisa menyembunyikan ekspresi bahagianya bisa bersatu dengan kakaknya yang selama ini menghabiskan waktunya tidak bersama keluarga di rumah.
Ritha tersenyum. Hatinya lega karena merasa punya sedikit bantuan untuk membujuk anak sulungnya bersekolah di sekolah umum biasa, bukan home schooling. “Kalau kamu maunya begitu, bantu bunda bujuk kak Faiz ya.”
“Iya. Pasti.”
“Kak Faiz harus sekolah di sekolah yang sama dengan Izza. Teman-teman Izza pasti nanti terpesona semua sama kak Faiz. Kak Faiz kan ganteng.”
Ritha menatap ekspresi genit gadis kecilnya sembari mengernyitkan dahi. Anak SD sekarang ternyata sudah peduli fisik lawan jenis. Faiza sepertinya bangga sekali dengan ketampanan kakaknya.
“Bangga punya kakak ganteng?”
“Bangga dong, Bun.”
Ritha hanya menanggapinya dengan senyum.
Mereka telah sampai di roof top rumah Bas di mana terdapat helipad. Helikopter tipe terbaru telah mendarat di sana dan Bas sudah duduk rapi dengan headsetnya di kursi kemudi. Ritha mengambil nafas Panjang sejenak. Naik tangga manual ke lantai 3 membuat nafasnya terengah-engah.
“Hey, Mata kucing cepetan! Lelet banget sih.” Bas menggerutu dengan suara keras seperti halilintar. Ritha hampir terjerembab karena kaget.
“Ini sudah cepet, Pak de.” teriak Faiza yang langsung berlari menghampiri helikopter yang telah terparkir di landasannya.
Ritha masih mengatur nafasnya.
“Sudah dibilang jangan panggil pakde. Panggil om.” gertak Bas.
“Om itu panggilan buat adiknya ayah atau bunda. Pakde Bas kan kakaknya ayah Satya.” protes Faiza
“Pokoknya harus panggil Om. Aku ini lebih muda daripada ayahmu. Saking aja Om kamu ini lahir duluan. Tapi tetap lebih muda dari ayahmu. Kalau nggak mau manggil om, nggak dianterin ke Sukabumi.” Ancam Bas dengan mata melotot.
Faiza menunduk, tapi matanya melirik bundanya seolah meminta dukungan bahwa apa yang dikatakannya benar. Ritha hanya tersenyum tipis dan mengangguk sebagai isyarat agar Faiza mengalah saja. Sudah sering mereka mendebatkan panggilan itu dan tak pernah menghasilkan apa-apa. Bas hanya mau dipanggil Om. Baginya silsilah itu tidak penting. Panggilan pak de itu tidak keren. Itu sebabnya ia mewajibkan semua keponakannya memanggil om tanpa kecuali.
“Iya, Om.” Akhirnya anak kecil yang mengalah pada orang dewasa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
bieb
dasar om pakde Bas menolak tua😁
2022-02-04
1
Retno Dwi
suka
2022-02-02
1