Kepala Ritha mendadak pusing saat menerima telepon dari papanya terkait dengan perkembangan pendidikan putera sulungnya. Dadanya terasa sesak. Entah mau ditaruh dimana mukanya, serasa bagai dilempar kotoran yang bau dan menjijikan. Papanya yang mewakili pihak sekolah terpaksa memberinya pilihan yang sama buruknya buat putera kebanggaannya Faiz, yaitu: mengundurkan diri atau dikeluarkan dari sekolah.
Perasaannya bercampur aduk tak karuan. Gabungan antara rasa kecewa, malu, marah dan sedih bertumpuk menjadi sebuah rasa yang sulit buat digambarkan. Bagaimana mungkin anak pendiri dan donatur sekolah dikeluarkan dari sekolah yang digagasnya. Apalagi kejadian ini terjadi saat sekolah yang digagasnya mulai
mendapatkan akreditasi A dan diperhitungkan karena alumninya terkenal cerdas, disiplin dan berbudi. Terlebih sekolah itu dikelola oleh papanya yang notabene adalah kakek Faiz sendiri. Sungguh memalukan.
“Faiz telah berulang kali melanggar peraturan sekolah. Sudah terhitung lebih dari 30 hari dia mangkir dari kegiatan wajib pesantren maupun sekolah selama semester ini. Dengan terpaksa papa harus meminta kalian memindahkan cucu papa dari sekolah ini.Peraturan dan tata tertib harus ditegakkan tanpa pandang bulu agar seluruh santri merasakan keadilan. Jika dibiarkan ia akan menjadi contoh buruk buat santri lainnya,” Pak Umar bicara dengan suara pelan dan berhati-hati. Ritha tahu, saat ini beliau harus bicara sebagai pimpinan lembaga pendidikan. Harus adil. Meskipun bertalian darah dengannya, Faiz adalah santri yang punya hak dan kewajiban yang sama dengan santri lain.
Ritha tak habis pikir. Entah apa yang diinginkan anak sulungnya yang keras kepala itu. Apakah ini adalah salah satu bentuk pemberontakan sebagai remaja tanggung yang baru beranjak dewasa? Mengapa ia melanggar aturan? Apa dia pikir dia bisa berbuat seenaknya lantaran ayahnya pendiri dan donatur sekolah? Dengan statusnya sebagai anak pendiri dan donatur sekolah, serta cucu dari pengelola yayasan pendidikan tempatnya menuntut ilmu, mungkin ia merasa kebal hukum. Boleh melakukan apapun karena tak mungkin dikeluarkan dari sekolah. Atau … dia melakukan itu karena merasa sudah terlalu pintar hingga tak butuh sekolah lagi? Aduh, Faiz. Ada apa dengan kamu, Nak?
Kunang-kunang mengitari kepala Rita, menari-nari sambil mencemoohnya sebagai ibu yang gagal.
Masalah ini sebenarnya bukan hal yang baru. Kelakuan buruk Faiz sudah diberitahukan pak Umar -papanya- pada bulan sebelumnya. Sayangnya Ritha mengabaikan pemberitahuan itu karena kesibukannya yang menggunung. Menyesal. Hanya kata itu yang merundung hatinya saat ini. Seharusnya ia menyempatkan diri mengunjungi anaknya, mendampingi selama beberapa hari, dan bicara dari hati ke hati apa yang menyebabkan anaknya melanggar peraturan seenaknya. Kalau saja hal itu sempat dilakukannya, mungkin masalahnya tak akan sampai seburuk ini.
“Beberapa bulan belakangan ini Faiz telah berulang kali dipanggil wali kelasnya dan guru konseling. Berbagai nasehat dan hukuman sudah dijalani, namun Faiz tetap melakukan kesalahan yang sama tanpa rasa bersalah sama sekali. Papa bingung. Papa juga sudah berkali-kali turun tangan menasehatinya sebagai pimpinan lembaga pendidikan, sebagai kakek maupun sebagai walinya. Tapi Faiz tak pernah jera.” keluh pak Umar. Suaranya terdengar parau. Beliau pasti sangat terbebani dengan sifat keras kepala cucunya tertuanya. Sangat berbeda dengan dua anak perempuannya yang selalu patuh dan disiplin.
Sebagai seorang guru, papa selalu menekankan pentingnya pendidikan anak. Ritha sepakat. Itu sebabnya meski dulu keluarganya sederhana, namun pendidikan tetap diutamakan. Lahir dari keluarga pendidik membuatnya mudah merasa miris dan gagal ketika mendengar anak kandungnya mengabaikan pendidikan.
“Faiz anak yang unik. Dia jarang bicara, tak pernah membantah saat dinasehati dan selalu menjalani hukuman yang ditimpakan padanya dengan baik tanpa mengeluh. Dia telah beberapa kali dihukum membersihkan kamar mandi. Dihukum lari 10 kali putaran keliling lapangan sekolah juga sering. Bahkan sekarang rambutnya masih gundul akibat hukuman. Hampir segala jenis hukuman dan nasehat telah diterimanya, namun tak ada satupun yang dapat membuatnya jera. Papa dan guru-guru di sini bingung kenapa mulutnya selalu membisu tapi kepalanya tetap membatu. Dia bukan tipe anak yang suka memberontak dengan berapi-api. Kadang terlihat penurut karena setelah menjalani hukuman, ia mengikuti semua peraturan pesantren sebagai mana biasa. Namun beberapa hari kemudian ia mengulangi kesalahan yang sama tanpa rasa bersalah. Saat ditegur lagi, ekspresi wajahnya tetap datar dan tenang seperti orang yang tak punya kesalahan. Papa sampai bingung bagaimana menghadapinya. Guru konseling sekolah pun sudah angkat tangan. Seminggu belakangan ia sembunyi-sembunyi keluar pesantren. Saat ditanya, dengan wajah tak berdosa dia bilang perlu bolos dengan alasan fokus mengikuti turnamen game online.”
Ritha membuang nafas dengan hempasan yang keras menutup rasa kecewa mendengar keterangan panjang papanya. Ia berusaha untuk dapat mencerna kata demi kata yang diungkap papanya sambil mengelus
dada. Sesekali ia menghembuskan nafas panjang untuk menenangkan pikirannya dan menghirup lebih banyak oksigen agar mampu tetap berpikir jernih. Ia berusaha lapang dada mendengar hal yang sebelumnya tak pernah terpikirkan akan terjadi pada anaknya.
“Papa sudah rapatkan ini dengan dewan guru, Kak. Atas nama tata tertib dan kemuliaan dunia pendidikan, kami terpaksa harus meminta Faiz keluar dari sekolah dan mengembalikan kewajiban pendidikan pada orang tuanya. Sekarang ini sudah ada beberapa santri yang kecanduan game online gara-gara meniru Faiz. Jika dibiarkan akan berakibat buruk buat pendidikan santri-santri lain di pesantren. Buruk juga buat perkembangan mental Faiz sendiri. Papa tidak mau cucu papa bertindak seenaknya melanggar peraturan walaupun ayahnya pendiri dan penyandang dana sekolah ini,” kata papa dengan suara yang berat. Ritha yakin pasti papa pasti kecewa karena gagal mendidik cucu pertama yang sebelumnya selalu menjadi kebanggaan karena kecerdasan dan ketampanannya di atas rata-rata.
“Apa tidak ada kebijakan lain, Pa? Bukankah nilai akademisnya masih baik?”
Hembusan nafas Papa terdengar kasar. Ritha belum pernah mendengar papa membuang karbon dioksida dari tubuhnya dengan sekasar itu. Kekecewaannya pasti teramat dalam. Papa adalah seorang guru sederhana yang telah berhasil mengantarkan puluhan anak didiknya menjadi ‘orang’ termasuk dua puterinya yang lulus pendidikan tinggi dengan nilai sangat memuaskan. Sekarang, pria tua yang pernah dinobatkan menjadi guru teladan itu harus menyerah, tak kuasa mendidik cucu sulungnya.
Ah, Ritha jadi menyesal mengeluarkan pertanyaan yang terkesan mengingkari dan dengan tak tahu malu menegosiasikan keputusan sekolah yang sepertinya sudah final. Ingin rasanya ia memukul kepalanya sendiri. Bagaimana mungkin bisa keluar pertanyaan bodoh itu pada seorang pendidik yang jujur dan taat peraturan seperti papanya.
“Nilai akademisnya tak pernah buruk. Tapi pesantren tidak hanya mementingkan nilai akademis saja, Kak. Di dalam visi, misi dan kurikulum lembaga, ada kewajiban pesantren dalam pendidikan karakter, adab dan disiplin atau pengendalian diri santri.”
Ritha mengangguk pelan.
“Sebelum kecanduan game online, Faiz adalah santri teladan. Dia selalu menunjukan prestasi terbaiknya di bidang akademik maupun non-akademik. Dia sudah terlanjur dianggap panutan bagi santri lainnya. Kami tidak ingin santri lain mengikuti jejaknya. Peraturan harus ditegakkan. Faiz sudah melanggar peraturan, sering tidak mengikuti kegiatan pesantren dan selama 6 bulan terakhir ia tercatat telah bolos lebih dari 30 hari. Sekolah sudah memperingati, menasehati dan menghukum sesuai prosedur, namun tidak ada yang membuatnya jera. Papa juga sudah berulang kali bicara empat mata, tapi tak berhasil membuatnya kembali menaati peraturan sekolah.”
“Apa karena kecanduan game online Faiz jadi anak nakal?”
“Sebelum kecanduan game online, Faiz adalah santri teladan. Dia adalah panutan bagi santri lainnya. Kami tidak ingin santri lain mengikuti jejaknya. Oleh sebab itu peraturan harus ditegakkan. Faiz sudah melanggar peraturan, sering tidak mengikuti kegiatan pesantren dan selama 6 bulan terakhir ia tercatat telah bolos lebih dari 30 hari. Sekolah sudah memperingati, menasehati dan menghukum sesuai prosedur, namun tidak ada yang membuatnya jera. Papa juga sudah berulang kali bicara empat mata tapi tak berhasil membuatnya kembali menaati peraturan sekolah.”
“Apa karena kecanduan game online Faiz jadi anak nakal?”
“Tidak. Papa yakin dia anak baik. Saat dinasehati Faiz selalu mendengarkan dengan tenang dan menjawab semua pertanyaan dengan sopan. Tapi yah, ternyata nasehat kami hanya masuk kuping kiri keluar kuping kanan. Papa sudah tua, Kak. Puluhan tahun sebagai pendidik, belum pernah menghadapi situasi yang dilematis seperti sekarang. Bingung harus bagaimana. Faiz tidak bisa dinasehati sama sekali. Papa pun tidak bisa bersikap keras pada cucu sendiri. Guru lainnya pun tak ada yang berani memberi hukuman keras karena dia anak Satya, salah satu pendiri dan donator utama pesantren ini. Lepas dari itu, Faiz memiliki tatapan mata yang teduh dan pembawaan yang tenang. Seperti terhipnotis kharismanya, Papa dan guru-guru lain nggak pernah bisa marah di hadapannya.”
Ritha kembali menelan salivanya sendiri. Soal kharisma memang tak perlu diragukan lagi. Tampaknya Faiz mewarisi bakat kepemimpinan yang kharismatik dari ayahnya. Aura yang terpancar dari dalam tubuh dan sinar matanya mampu menghipnotis orang untuk patuh dan segan padanya. Tapi entah kenapa Ritha merasa karakter anaknya semakin ke sini semakin tampak anti sosial, bahkan menjurus pada perilaku psikopat. Perasaaan itu membuat nyalinya makin ciut dan meragukan kemampuannya mendidik anak. Jika mereka yang paham ilmu pedagogik saja menyerah menghadapi Faiz, bagaimana dengan dirinya yang awam. Hampir separuh hidupnya didedikasikan untuk profesinya sebagai seorang arsitek. Ritha hanya mahir bagaimana merancang bangunan, lanskap dan mengelola perusahaan konstruksi. Mungkinkah naluri keibuannya terkikis oleh kerasnya pekerjaan di dunia konstruksi atau oleh keegoisannya sebagai ibu yang telah menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak selama 9 tahun ini hanya pada lembaga pendidikan. Ritha terlena. Ia pikir semua akan berjalan sesuai prasangka yang mengendap di kepala, menyerahkan pendidikan pada ahlinya. Bukan pada sembarang orang, melainkan papanya sendiri yang telah teruji mampu menjadi guru terbaik selama puluhan tahun malang melintang di dunia pendidikan. Ternyata tidak. Papa memilih menyerahkan cucunya kembali ke pangkuan orang tua demi kemaslahatan pendidikan ratusan santri lain di pesantren yang dikelolanya. Kini Ritha bingung dan cemas. Saat kewajiban mendidik anak kandungnya diserahkan kembali padanya, yang ada di kepalanya hanya pertanyaan, "apa ia sanggup?"
Ritha menyangsikan kemampuannya mendidik anak. Ia tak punya pengetahuan dan pengalaman mendidik. Apalagi mendidik anak spesial yang berperilaku 'misterius' seperti Faiz. Ritha makin menyadari bahwa selama ini dirinya bukan ibu yang baik. Padahal katanya semua perempuan itu dilahirkan dengan naluri keibuan yang menjadi modal utama dalam pendidikan anak.
Mendengar apa yang disampaikan papa barusan, entah kenapa Rita khawatir putera sulungnya itu tumbuh menjadi sosok psikopat. Anak remajanya begitu pandai menyembunyikan 'sesuatu' dengan ekspresi wajah dan perilaku yang tenang. Itu seperti karakter psikopat yang sering dibacanya dalam novel-novel psikologi. Biasanya tokoh psikopat digambarkan sebagai orang yang terlihat tenang dan tak merasa bersalah sedikit pun atas tindakan yang menurut orang lain itu salah. Tokoh semacam itu akan melakukan kejahatan atau menyerang musuhnya dengan diam-diam. Setiap tindakan dilakukan dengan mode senyap yang sama sekali tak terbaca namun mampu melakukan hal yang sangat sadis tanpa perasaan empati sama sekali. Hiy… mengerikan. Ritha tak ingin anaknya jadi seperti itu.
Kekhawatirannya memaksa pikirannya mengenang lagi saat terakhir mengunjungi Faiz bulan lalu. Faiz terlihat dingin, sama sekali tak menunjukan antusiasme saat bertemu keluarganya. Dia mencium punggung tangan Ritha dan Satya dengan ekspresi wajah yang datar. Sepanjang pertemuan ia hanya diam, duduk tenang di sofa guest house pesantren tempat biasanya orang tua bertemu dengan anaknya yang menjadi santri di sana. Faiz bahkan mengabaikan adiknya yang heboh bercerita tentang lomba menari yang baru saja dimenangkan tim sekolahnya. Sebagai kakak, ia tak menunjukan empati sama sekali. Boro-boro mengucapkan selamat atas kemenangan adiknya. Anak itu hanya tersenyum tipis dengan ekor mata yang terkesan meremehkan. Mata birunya menyiratkan suatu hal misterius yang sulit ditangkap apa maknanya.
Sejak memasuki usia remaja Faiz memang tak banyak bicara. Tak suka berdebat atau menyerang orang lain. Dia sangat tertutup, sama sekali tak pernah menceritakan kehidupan pribadinya pada siapapun. Sedikit berteman karena konon waktunya lebih banyak berada di depan layar komputer multimedia karena ia berminat besar pada ekstra kulikuler pemrograman komputer dan jaringan.
Ritha bingung bagaimana besok harus menghadapi anaknya sendiri yang tengah beranjak remaja dengan karakter yang tertutup dan misterius. Lima belas tahun umurnya. Dikeluarkan dari sekolah karena terlalu banyak bolos. Sungguh ini diluar dugaannya. Sejak kecil semua orang sudah mengakui kecerdasan Faiz. Tentu saja ia bangga. Tapi dengan kecerdasannya anak itu mampu membuat berbagai alasan yang sulit terbantahkan. Dia sangat keras kepala. Tak ada yang bisa mengubah pemikirannya selain dirinya sendiri. Ritha semakin bingung, tak tahu harus mulai mengarahkannya dari mana. Dunia terasa begitu menghimpitnya.
Bagaimana ini? Game online telah meracuni pikiran anaknya. Salah? Entahlah. Salah atau benar sering kali samar karena teknologi itu seperti pedang bermata dua. Tak mungkin menyalahkan perkembangan teknologi informasi yang telah terjantur menjadi gaya hidup dunia. Lembaga pendidikan tak bisa menutup diri dari pesatnya perkembangan teknologi informasi. Tanpa dilengkapi
sarana multimedia, jaringan internet dan komputer, sebuah lembaga pendidikan pasti akan menjadi kuburan batu. Lulusannya dipastikan akan mengalami kesulitan ketika berada di luar lingkungan pesantren jika sama sekali tak mengenal dunia metaverse. Bagi anak-anak yang kecanduan bermain di dunia maya, kehidupan sosialnya di dunia nyata mungkin bisa terganggu. Hidup dalam dua dunia memungkinkan orang untuk menyembunyikan identitas pribadi yang sebenarnya dalam dunia yang berbeda. Tak jarang sekarang kita bertemu dengan orang yang terlihat baik di dunia nyata, ternyata jadi penjahat di dunia maya ataupun sebaliknya.
“Mungkin ada baiknya kita ikuti keinginannya untuk home schooling, Kak. Dia sangat terobsesi bermain game online. Faiz bukan anak nakal. Dia hanya butuh perlakuan khusus karena hobinya tidak sesuai dengan peraturan pesantren.” Papa kembali bicara. Kali ini suaranya terdengar tenang dengan pemikiran bijak sebagai pendidik yang optimis pada anak didiknya.
“Tapi Ritha nggak mau Faiz jadi anak anti sosial, Pa. Ritha takut kemampuan komunikasi dan empatinya tidak terasah kalau mengambil program home schooling.”
“Berdiskusilah dengan mas Satya bagaimana baiknya. Masalah utamanya sebenarnya Faiz terlalu sibuk di dunia metaverse dan tak bisa mengikuti peraturan pesantren yang kurikulumnya ketat. Kalau dibiarkan bisa menjadi contoh buruk buat santri lain."
“Baik, Pa. Ritha akan jemput Faiz besok.”
“Sabar ya, Kak! Faiz anak yang istimewa. Papa rasa dia membutuhkan peluk, doa dan perhatian lebih dari orang tuanya. Kamu perlu lebih banyak waktu mengawasi dan mendampingi anak ABG yang masih labil seperti Faiz. Sekarang ini yang ia butuhkan adalah teman diskusi yang mengerti dirinya. Sebagai ibunya, kamu mungkin lebih paham bagaimana menemani anak-anak pada masa pubertas dan memberinya pemahaman cara berpikir yang baik dengan mengajaknya berdiskusi dari hati ke hati. Gunakan naluri keibuanmu. Papa yakin Faiz akan merasa lebih nyaman berdiskusi dengan ibunya.”
Benarkah? Apa Ritha masih memiliki naluri keibuan? Mengapa selama ini ia tak bisa paham bagaimana pemikiran dan perasaan Faiz? Apakah selama ini ia kurang peka atau tidak dapat menggunakan naluri keibuannya? Apa mungkin karir dan pikiran yang selalu terbagi-bagi membuat naluri keibuannya terkikis hingga ia abai terhadap perasaan dan masalah yang dialami anak-anaknya? Atau ia hanya kurang waktu bersama anaknya? Ritha terus bertanya-tanya dalam hati, menginstropeksi apa kesalahan dirinya sebagai seorang ibu.
“Baik, Pa.Terima kasih sudah membantu kami mendidik Faiz selama ini,” ucap Ritha lirih.
Papa benar, pendidikan anak prinsipnya adalah tanggung jawab orang tua. Bisa jadi Faiz hanya membutuhkan perlakuan khusus. Mungkin ini saatnya Ritha harus belajar bagaimana menjadi orang tua yang baik. Mau tidak mau ia harus mengurangi aktivitas di luar rumah. Perkembangan Pendidikan anak lebih penting daripada karir. Ritha sadar bahwa sebenarnya pendidikan anak adalah kewajiban orang tua. Ritha tak boleh lari dari tanggung jawabnya. Mungkin inilah saat dimana ia harus mencoba lebih dekat dan memperhatikan perkembangan anak kandungnya.
Kejadian ini memaksa Ritha mencukupkan perjalanan karirnya sampai di sini. Ia harus fokus menjadi seorang ibu rumah tangga demi kebaikan anak-anaknya. Sudah cukup banyak capaian membanggakan yang diperolehnya sebagai seorang arsitek. Ratusan desain puluhan gedung tingkat tinggi, kawasan resort bahkan kawasan industrial yang dirancangnya telah mendapatkan banyak pujian. Keberhasilannya mendukung Satya membawa Ganesha Bangun Nusantara dan Goldlight New Construction menjadi perusahaan konstruksi multi nasional juga tak bisa dianggap sepele. Semua sudah cukup. Tak ada yang ingin dicapai lagi.
Mungkin ini cara Tuhan memintanya berbalik arah menjadi seorang ibu yang seutuhnya. Ia harus mundur perlahan dari profesinya untuk belajar menjalani tugas yang lebih mulia sebagai seorang ibu dimana pendidikan anak berpusat. Apa artinya karir dan kekayaan yang berlimpah bila anaknya kurang perhatian dan kasih sayang. Cukup sudah 9 tahun menyerahkan tanggung jawab pendidikan anak pada lembaga pendidikan semata, meskipun itu dikelola oleh ayahnya sendiri. Ini saatnya membayar hutang waktu pada puteranya, karena selama tinggal di pesantren Faiz telah kehilangan waktu berkualitas bersama dengan orang tua dan adik kandungnya.
“Terserah kamu, Cantik. Kamu lebih tahu mana yang harus jadi prioritas.” Hanya itu yang dikatakan Satya Ketika Ritha menceritakan kasus Faiz malam hari dalam perbincangan singkat di atas ranjang malam itu.
Ritha mencebik. Kecewa dengan respon suaminya yang datar. Itu sama sekali di luar ekspektasinya. Apa semua lelaki itu egois? Tak mau tahu masalah pendidikan anaknya. Bukannya menyumbang saran atau ide, Satya malah tersenyum acuh dan memeluknya. Menyebalkan. Padahal ia butuh teman bertukar pikiran mengenai masalah anaknya, bukan sentuhan fisik.
Ritha mencebik. Kecewa dengan respon suaminya yang datar. Itu sama sekali di luar ekspektasinya. Apa semua lelaki itu egois? Tak mau tahu masalah pendidikan anaknya. Bukannya menyumbang saran atau ide, Satya malah tersenyum acuh dan memeluknya. Menyebalkan. Padahal ia butuh teman bertukar pikiran mengenai masalah anaknya, bukan sentuhan fisik.
Apa semua lelaki tak menganggap masalah pendidikan karakter anak sebagai masalah serius?
Satya malah memeluknya dengan erat sampai Ritha nyaris kehabisan nafas. Tangan naganya menjalar menelusuri bagian seluruh bagian tubuh istrinya. Sementara hidungnya mengendus-endus dan lidahnya menjulur seperti anjing pelacak yang mencari buruan.
Hih, kesal. Bukannya menikmati sentuhan suaminya, Ritha justru membuang nafas ke udara dengan hentakan yang lembut dengan suara mendesis. Ia berusaha melepaskan diri dari pelukan suaminya. Pikirannya tentang anak sulungnya menghempas seluruh hasratnya pada dunia. Ia benar-benar takut anaknya tumbuh menjadi seorang psikopat yang anti sosial dan tak punya empati.
Satya tertawa kecil. “Kenapa malam ini Cantikku jadi siluman ular?” godanya sambil mengacak-acak rambut hitam istrinya yang dibiarkan tergerai begitu saja.
Ritha tak bergeming. Satya mulai merasakan sikap istrinya yang tak biasa bersikap dingin saat dicumbu. Wajahnya berkerut-kerut bak jeruk purut. Sama sekali tak sedap dilihat. Pasti ada hal serius yang memenuhi kepalanya itu.
“Kenapa? Kecewa dengan tanggapan aku ya?” Satya masih mencoba mencumbu dengan memeluk tubuh istrinya dari arah belakang. Ia mengecup ubun-ubun istrinya sambil menghirup wangi rambut istrinya yang segar memanjakan hidung.
“Iya.”
Satya segera mengubah posisinya hingga duduk berhadapan dengan istrinya yang berwajah keruh. Senyum-senyum memperhatikan tiap detil garis wajah cantiknya. Tetap terlihat menggemaskan walau sedang marah.
“Bukan cuma Faiz yang kecanduan game online, Cantik. Banyak orang tua yang mengeluhkan hal serupa. Sekarang kan memang sedang jamannya game online. Lagi pula papa bilang kan Faiz tidak nakal, hanya butuh perhatian lebih dari orang tuanya dan kamu sebagai ibunya sudah berinisiatif meluangkan lebih banyak waktu untuk mendampinginya. Aku
setuju. Masalahnya sudah selesai kan? Aku tinggal ketok palu karena kamu sudah memberikan solusi.”
Benar juga sih. Sebagai perempuan Ritha kelewat mandiri. Salah strategi. Tak seharusnya Ritha bercerita tentang masalah anak mereka beserta solusinya. Kalimat yang dilontarkannya tadi seperti sebuah pemberitahuan. Wajar jika Satya tak tak merasa perlu berpendapat pada masalah itu dan langsung setuju dengan solusi yang ditawarkan Ritha. Tidak ada yang harus dibicarakan lagi seolah-olah jawabanya pasti besok pagi mereka harus menjemput Faiz pulang ke Jakarta dan mendaftarkan home schooling sesuai keinginannya. Padahal Ritha ingin diskusi soal pendidikan yang terbaik buat anaknya yang mencakup seluruh aspek kehidupannya, bukan hanya pendidikan akademis saja. Ia tak setuju anaknya yang tertutup itu sekolah tanpa teman. Seharusnya ia mengeluh saja agar Satya terpancing untuk mencari solusi.
“Aku harus bagaimana, Cantik? Apa kamu merasa keberatan mengurangi banyak aktivitas di luar rumah untuk mendampingi putera kesayangan kita?” Kini Satya meminta penegasan kenapa istrinya seolah belum puas dengan tanggapannya.
Ritha menggeleng. Ritha tak suka anaknya home schooling. Faiz harus terbiasa berkomunikasi, bersosialisasi dan berorganisasi. Ia tak ingin melihat Faiz seperti anak autis yang anti sosial, sibuk sendiri dengan dunia maya. Ia takut anaknya tumbuh menjadi seorang psikopat. Anak itu harus belajar bagaimana berempati pada orang lain, mengikis bakat sombong yang diwarisi dari keluarga ayahnya yang sudah turun temurun kaya raya, dan juga membuang sifat egois yang telah dipertontonkannya sejak kecil. Anak sultan tetap harus diajarkan empati dan bersosialisasi dengan segala karakter manusia.
“Aku tidak mau Faiz home schooling, mas. Faiz nanti jadi makin tertutup. Akibatnya mungkin kelak dia akan kesulitan berkomunikasi dan bersosialisasi dengan orang banyak. Aku tidak mau anakku jadi anti sosial. Tolong mas bujuk dia supaya pindah sekolah umum saja di Jakarta!” pinta Ritha.
Wajah Satya berubah muram seketika. Keningnya sedikit berkerut. Tak yakin mampu mengubah keinginan putra sulungnya. Otaknya langsung berputar, membawa ingatannya kembali pada masa 10 tahun silam saat mereka frustasi tak mampu membujuk puteranya untuk ke sekolah. Membujuk Faiz untuk ke sekolah adalah satu masalah besar yang tak mampu diselesaikan seorang pemimpin besar sekelas Satya. Ribuan hari sudah dihabiskan untuk membujuk anak balitanya agar mau ke sekolah. Berbagai cara telah dilakukan untuk membujuknya. Dari iming-iming hadiah sampai kalimat persuasif yang menceritakan bagaimana asyiknya sekolah sudah dilakukan. Namun hasilnya nihil. Anak itu sangat keras kepala dan entah kenapa Satya tak kuasa memaksanya. Kemampuan persuasif dan kharismanya lenyap di hadapan anaknya sendiri. Ia tak tega setiap kali melihat mata anaknya yang sayu itu mulai berair. Rasanya pilu.
Ritha meringis melihat perubahan ekspresi suaminya. Satya pasti pesimis. Keduanya sama-sama mengangkat bahu dengan wajah yang menegang karena paham mereka teringat hal yang sama. Sepuluh tahun yang lalu pasangan itu nyaris putus asa karena tak berhasil membujuk putera semata wayangnya masuk sekolah taman kanak-kanak. Ritha masih ingat betul kejadian itu.
"Ada apa, Sayang?" tanya Ritha pada anak balitanya yang berlari sambil menangis menubruknya. Ekor matanya melirik sang ayah yang menguntit di belakang bocah itu dengan wajah putus asa. Ekspresinya pagi itu sama persis dengan ekspresi yang diperlihatkan Satya malam ini.
Belum pernah Ritha melihat suami tercintanya berekspresi nyaris putus asa begitu. Aneh sekali melihat ekspresi seorang bos besar yang perintahnya sama artinya dengan titah dewa tak berkutik di hadapan darah dagingnya sendiri. Wibawa yang diagungkannya hilang entah kemana.
"Bunda, ayah selalu maksa aku pakai baju sewagam. Padahal aku sudah bilang, aku tidak mau sekolah lagi," adu Faiz sambil menghentak-hentakan kakinya ke lantai. Pada usianya yang lima tahun, Faiz telah memiliki banyak
kosa kata dan lancar berbicara kecuali huruf "R" yang memang sulit dilafalkan.
Ritha melirik suaminya yang hanya angkat bahu. Satya sudah kewalahan, tak sanggup membujuk Faiz kembali ke taman kanak-kanak bertaraf internasional yang dipilih Satya untuk sekolah putra tunggalnya. Satya telah memilihkan sekolah terbaik. Namun anak itu tidak betah di sekolah. Faiz yang sudah terbiasa dibawa ke kantor sejak bayi selalu ingin ikut ke kantor bersamanya setiap hari. Rupanya ia tak suka bergaul dengan anak seusianya yang seringkali tidak bisa memahami keinginan dan maksudnya. Berbeda dengan di kantor, karena status ayahnya
sebagai bos Faiz selalu mendapat perhatian dan penghormatan dari para karyawan yang sudah hapal kebiasaan dan karakternya.
Ritha jongkok agar wajahnya bisa setara dengan jagoan kecilnya. Ditatapnya mata biru yang berair itu dengan tatapan yang menenangkan. "Kenapa kamu tidak mau sekolah, Nak? Bukannya sekolah itu menyenangkan? Ada banyak teman, ibu guru yang baik dan banyak permainan juga."
"Faiz tidak suka teman-teman di sekolah banyak yang suka nangis tewiak ‘mama mama’. Ada juga anak yang suka ngompol dan nggak ngewti dibilangin kalau pipis itu hawus di toilet. Faiz mau ikut Bunda ke kantow aja. Nggak mau
ke sekolah. Pusing."
"Mereka semua teman seusia Faiz, Sayang. Tidak semua anak usia 5 tahun sudah pintar seperti Faiz. Mereka belum terbiasa ke sekolah jadi menangis minta ditunggu mamanya. Ada juga yang belum bisa pipis dengan baik. Faiz harus belajar memaklumi teman supaya disukai orang banyak."
"Faiz nggak mau sekolah. Faiz mau ikut ayah dan bunda ke kantow aja. Faiz belajaw di kantow aja sama Bunda. Kalau Bunda sibuk, Faiz kan bisa sama tante Awi atau om Bimo. Faiz sudah bisa baca, Bunda. Bewhitung dan menggambaw juga sudah bisa. Buat apa sekolah. Faiz bosan disuwuh bu guwu ulang-ulang tewus nulis abjad-abjad."
Ritha menelan ludah. Ia paham kurikulum anak usia pra-sekolah memang baru pengenalan huruf. Sedangkan Faiz sudah cukup lancar membaca karena tiap hari anak itu berinisiatif belajar sendiri atau nonton tayangan video online edukasi. Sekolah sebenarnya dimaksudkan hanya untuk mendidiknya bersosialisasi dengan teman-teman sebaya. Tak ada target kecuali peningkatan kemampuan sosial dan komunikasi, karena Faiz telah tumbuh menjadi anak mandiri dalam hal belajar dan aktivitas sehari-hari dalam usianya yang masih sangat muda.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!