Satya berjalan santai memasuki bagian belakang rumahnya dimana terdapat dapur, ruang makan terbuka, taman dan kolam renang. Sengaja melepaskan sepatu di dekat garasi dan dimasukan di dalam rak sepatu yang ada di tempat itu. Ia berjalan di atas lantai granit yang dingin hanya beralaskan kaos kaki. Bukan tanpa maksud. Sengaja ingin menggoda istrinya atau anak perempuannya yang pastinya sedang berada di area belakang rumah. Langkahnya tanpa suara.
Ternyata yang dijumpai pertama kali adalah Ritha. Mbak Imah sempat menoleh mengetahui kedatangannya namun
Satya menaruh telunjuknya di bibir sebagai isyarat agar asisten rumah tangganya itu tidak bersuara. Untungnya mbak Imah cukup paham isyaratnya. Asisten itu kembali melakukan pekerjaannya menaruh makanan ke dalam pinggan kristal di atas meja makan seperti semula. Sebentar kemudian asistennya yang cukup tahu diri itu segera mengambil alih pekerjaan Ritha yang tengah sibuk mencuci perabot dapur.
“Biar saya saja yang mencuci panci dan perkakas itu, Bu. Semua makanan telah saya masukan ke piring saji dan pinggan kristal. Bisa ibu cek meja makannya, barangkali ada yang kurang.” ujar mbak Imah sopan.
Satya mengacungkan jempol dari balik kulkas. Puas dengan respon asisten rumah tangganya yang mendukung niatnya mengejutkan Ritha.
“Pak Satya sebentar lagi pulang, Mbak.”
Memang sudah pulang. Asisten itu tersenyum dan mengangguk namun tidak mengutarakan apa yang tadi sudah dilihatnya. Aktingnya cukup lumayan.
Satya bersembunyi di samping kulkas besar yang letaknya berada diantara dapur dan ruang makan. Setelah ini Ritha pasti akan menata meja makan, sebab waktu makan siang keluarga sudah dekat. Dia pasti akan memastikan apakah semua sajian telah dipersiapkan dengan baik.
Begitu perempuan itu lewat, Satya langsung sigap menangkap tubuh Ritha dari belakang hingga Ritha terkejut.
“Masak apa, Bunda cantik?” Tangan Satya langsung melingkar di pinggang istrinya. Dengan tubuh yang menempel tanpa jarak, ia mengayun pelan tubuh istrinya ke kanan dan ke kiri seperti sebuah tarian klasik tanpa musik.
“Mas kapan pulang? Kok nggak kedengeran suaranya.”
“Pertanyaan mas belum dijawab lo.” Satya tak mau menjawab pertanyaan sebelum pertanyaannya dijawab. Lagipula pertanyaan Ritha itu bersifat retoris, tak perlu jawaban. Dia pasti sudah tahu jika Satya baru saja sampai rumah.
“Masak beef teriyaki.” Ritha hanya menyebutkan salah satu menu yang disajikannya untuk makan siang hari ini. Mudah saja. Nanti mereka juga akan segera tahu menu lengkapnya di meja makan.
“Mana anak-anak?”
“Biru masih menemani Faiza yang sedang ganti baju karena habis berenang sepulang dari Sukabumi tadi. Biasa, anak itu mau pamer ke tantenya kalau sudah mahir berenang gaya katak.”
“Faiz?”
Ritha mengangkat bahunya. Bibirnya mengerucut, menoleh sebentar memandang suaminya, lalu kembali menikmati buaian Satya dengan senyum yang mengembang.
“Belum keluar dari kamarnya. Kita lihat saja nanti, seharusnya dia berada di meja makan jam 11.40.”
Satya tersenyum. Sak klek banget ya Faiz. Tingkat otoriter dan disiplinnya tinggi namun masih perlu diuji.
Satya merenggangkan pelukannya lalu membalikan tubuh istrinya agar menghadapnya. Rengkuhannya baru dilepas setelah mencuri ciuman kilat di bibir istrinya. Benar-benar kilat. Tak lebih dari sedetik. Walau begitu efeknya bagai setrum, hangatnya mengalir ke seluruh tubuh hingga Ritha merasa langsung ahh melayang di atas awan.
Tak ada kesempatan berbuat lebih di ruang terbuka. Tidak etis. Ada pekerja rumah di sekitar mereka. Apalagi tak lama berselang terdengar teriakan Faiza memanggil ayah berulang-ulang sembari berlari kecil menghampiri. Biru tampak mengekor di belakangnya seperti pengasuh bayi.
Gadis kecil itu langsung menyium tangan ayahnya lalu memeluknya. Tangan kecilnya melingkari pinggang ayahnya dengan posesif seolah ingin menunjukan kepemilikan ayah pada dunia. Kepalanya bersandar nyaman di dada ayahnya karena tinggi gadis kecil itu baru sedada ayahnya. Tentu saja Satya menyambut dengan rangkulan hangat yang dilanjutkan dengan kecupan gemas di kedua belah pipi anak gadisnya.
“Bagaimana kabar hari ini? Menyenangkan di rumah bibi Lily?”
“Hari ini cerah. Semuanya menyenangkan, Ayah. Yang tidak menyenangkan cuma pak de Bas. Soalnya pakde Bas
marah-marah melulu nyuruh kita cepat pulang. Padahal kita semua masih pengen lebih lama di sana. Semua dimarahin sama pak de Bas. Kayaknya pak de Bas perlu sering-sering diukur tensinya, Yah. Nanti tahu-tahu stroke jadi patung nggak bisa gerak tapi matanya melotot. Hua…” Faiza memperagakan bagaimana ekspresi patung melotot yang dimaksud. Ekspresi wajahnya mengundang gelak semua yang melihatnya. Melotot tapi tidak menakutkan. Justru menggemaskan.
Satya mencium pipi putrinya sekali lagi. Gadis kecil memang pandai mengadu. Pandai pula membuat berita heboh, menggali informasi menarik dan mengemasnya menjadi cerita realitas yang berbumbu manis-manis manja.
Tak ingin mengabaikan adiknya, Satya merangkul Biru yang berada di sebelahnya dengan tangan kanannya sementara tangan lainnya masih mendekap Faiza. “Bagaimana kabarmu, Biru?”
“Baik, Kak.”
“Kamu mau sekolah dimana?”
“Di Zakia International School aja, Ayah.” usul Faiza. Mata coklatnya berkedip manja pada sang ayah.
“Mau bersekolah satu kompleks dengan gedung SDnya Faiza?” tanya Satya sembari menatap lekat wajah adiknya.
“Bukan SD, Ayah. Elementary school.” protes Faiza.
“Sama saja, Sayang. SD itu Bahasa Indonesia.”
Faiza merengut. “No. No. No. Zakia elementary school. That’s my school name, Dad.” ujarnya tegas dengan mata melotot ke arah ayahnya yang makin tersenyum gemas melihat tingkah puterinya.
“You’re always right, Baby.” Satya langsung menyerah, membenarkan dan mencium kening putrinya. Faiza tersipu dan merasa menang argumen juga menang ciuman yang bertubi-tubi.
“Saya mau sekolah di sekolah biasa saja yang dekat dari sini, Kak. Jangan sekolah internasional. Takutnya Biru nggak bisa ngikutin nantinya. Biru nggak pintar. Anak-anak Jakarta pasti lebih pintar-pintar daripada anak Sukabumi ujung. Lagipula Biru nggak mau sekolah di tempat yang hanya bisa dijangkau oleh orang kaya saja. Pergaulannya pasti jauh berbeda dengan kehidupan Biru selama ini di pesantren. Biru nggak yakin bisa menyesuaikan diri dengan mereka. Biru mau sekolah yang dekat, jadi bisa bike to school setiap hari.”
“Oke. Segera kakak telepon teman kakak yang jadi kepala sekolah di sekolah islam yang letaknya hanya 2 blok dari rumah kita. Nanti sore kita janjian ke rumahnya. Kayaknya sekolahnya lumayan. Katanya sih sudah terakreditasi A, tapi bangunan dan fasilitasnya tidak sebagus sekolah internasional.” jawab Satya tegas dan ringan. Baginya itu hanya masalah sepele.
“Bagaimana dengan sekolah Faiz, Mas?” Ritha menyela percakapan karena menurutnya penting menyesuaikan sekolah Biru dengan Faiz. Ritha ingin mereka sekolah di sekolah yang sama agar bisa saling dukung satu sama lain.
“Faiz mau home shooling.” Terdengar jawaban tegas angsung dari orang yang dibicarakan.
Faiz terlihat turun dari tangga dan menghampiri meja makan.
Semua mata memandang remaja tanggung dengan tubuh sedikit kurus yang siang itu mengenakan kaos biru bergambar pesawat tempur dengan celana chinos selutut yang warna birunya lebih gelap daripada kaos yang dikenakannya. Dia selalu berpenampilan stylist dengan pakaian rapi dan serasi. Faiz berjalan dengan santai menuruni tangga. Ekspresinya datar. Ia segera meraih tangan ayahnya untuk salim. Diciumnya punggung tangan ayahnya selama 3 detik sebelum akhirnya mendongak dan tersenyum tipis.
“Apa kabar, Boy?” Satya menepuk bahu putranya. Akrab seperti teman.
“Baik, Yah.”
“Punya project apa kamu sekarang?”
“Merancang metaverse.” Faiz menjawab pertanyaan ayahnya dengan tegas dan percaya diri.
Satya mengangkat alis. Ekor matanya melirik ke mata istrinya yang tadi mengeluhkan sikap dan keputusan puteranya. Ritha membalas dengan lirikan pula.
Semua duduk di kursi makannya masing-masing. Faiz menempatkan diri di sebelah kiri ayahnya. Sementara Ritha
berada di sebelah kanan Satya. Posisinya berhadap-hadapan dengan putra sulungnya itu memungkinkannya selalu melihat bagaimana dingin dan datarnya ekspresi putera sulungnya itu. Ritha menyendok nasi di atas piring keramik ceper hitam berbentuk kotak lalu menyerahkannya pada suaminya.
“Terima kasih, Bun.” Satya menerima dengan senyum ramah. Ekor matanya melirik ke kanan. Mencoba membaca pesan yang mungkin ada lewat cara menatap istrinya. Keduanya beradu pandang. Nyess. Sinar mata biru itu selalu membuat hati satya diliputi rasa damai yang menggugahnya untuk tersenyum dan tersenyum lagi.
Ritha pun ketularan senyumnya. Hatinya diliputi oleh rasa bahagia hari ini dengan kebersamaan di meja makan. Ia menyendok nasi untuk dirinya sendiri sebelum menyerahkan centong nasi pada Biru dan anak-anaknya bergiliran. Momen makan siang bersama seperti ini sangat jarang terjadi karena biasanya mereka semua sibuk dengan kegiatan dan pekerjaan masing-masing di siang hari. Yang biasanya dilakukan bersama hanya sarapan. Sesekali makan malam bersama. Makan siang bersama adalah momen paling langka. Apalagi dengan formatur keluarga lengkap seperti sekarang ini
“Apapun yang mau kamu lakukan akan ayah dukung, Boy. Asalkan tetap menyelesaikan pendidikan formal, ingat ibadah, ingat olahraga dan ingat makan. Ayah tidak mau kamu kesehatan fisik atau mental kamu terganggu gara-gara terobsesi dengan metaverse project itu. Jalani semua dengan santai, tapi tetap bertanggung jawab dan terarah.”
Ritha melotot. Kenapa Satya jadi terkesan mendukung anaknya home schooling? Dia sama sekali tidak memberi nasehat pada anaknya, padahal sudah jelas-jelas Faiz bersalah karena sering bolos sampai dikeluarkan dari sekolah. Itu kesalahan fatal yang tak boleh terulang. Harusnya Satya menegaskan itu. Pendidikan formal itu penting. Jangan sampai diabaikan karena obsesi yang belum jelas manfaatnya buat kehidupan Faiz nantinya. Namun meski berbeda pendapat, Ritha tak sanggup membantah. Satya adalah kepala keluarga yang harus dijaga marwah dan wibawanya di dalam maupun di luar rumah. Tak patut menunjukan perbedaan cara pandang di depan anak-anak. Rasa dongkolnya disimpan dalam hati saja. Akan diungkapkan kekecewaannya nanti saat mereka hanya berdua saja. Ada beberapa tabungan tema diskusi antara dia dengan Satya, yaitu soal klarifikasi niat poligami dan tentang Faiz. Ini bisa jadi diskusi panjang.
Faiz tersenyum dengan sikap santai ayahnya. Merasa didukung. Satya mengacak-acak rambut anak kesayangannya itu seolah tidak pernah ada masalah yang perlu diselesaikan di meja makan ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
Retno Dwi
good father
2022-02-02
1