Ritha menutup hati dan telinga ketika Bas mengungkapkan seluruh kalimat pedasnya karena menganggapnya lamban dan terlalu bertele-tele dalam menyelesaikan masalah yang menurutnya sederhana. Tak mungkin bicara tentang masalah yang sebenarnya pada iparnya yang tempramental itu. Harus tebal telinga. Ia belum tahu celah bagaimana cara menghentikan Bas bicara seenaknya.
“Sudah 2 jam belum beres juga urusannya? Ngapain aja sih kamu, Rith?” bentak Bas dengan suara sekeras guntur.
“Ayo balik sekarang! Aku ada janji makan siang bareng calon klien.”
“Sabar, Mas! Masih jam 9.30 kok. Kita tunggu Faiz dan Biru 15 menit lagi. Mereka sudah jalan menuju ke mari.”
“Kamu itu jadi orang lembek banget sih. Aku kan sudah bilang nggak bisa lama-lama di sini. Waktuku itu bernilai. Emang kamu mau ganti rugi kesempatanku yang hilang karena nungguin kamu? Hah.”
Telinga rasanya seperti disiram air mendidih. Ritha hanya mampu menanggapi dengan tersenyum tipis. Percuma dijawab. Kata apapun tak akan meredakan omelan Bas. Malah mungkin darah tingginya makin naik tak terkendali dan omongan yang keluar makin banyak mengandung unsur api.
“Santai aja, mas Bas. Duduk dulu! Minum kopi sembari menikmati pemandangan alam di sini. Mas Bas kan jarang banget ke sini. Aku masih ingin kangen-kangenan lho. Lagipula kalau Faiz sudah sekolah di Jakarta, Lily pasti bakal makin kangen sama kak Ritha. Kalian pasti akan semakin jarang berkunjung ke sini.” rayu Lily dengan senyum lembutnya.
“Kamu yang lebih muda. Harusnya kamu yang ke Jakarta mengunjungi kami. Bukan kami yang menjenguk kamu.” bantah Bas sembari menuding dengan jari telunjuknya tepat di wajah Lily yang spontan mengelus dada akibat ulahnya.
Benar juga apa kata Bas. Tapi nggak segitunya juga kali. Saudara itu harus saling mengunjungi agar hubungannya semakin akrab.
“Lagian perutku bisa kembung kebanyakan kopi. Mentang-mentang juragan kopi, dari tadi ditawarin kopi melulu.”
Lily tersenyum manja. Melancarkan rayuan pulau kelapanya dengan suara manja yang selembut desir angin. “Kak Bas mau susu kampung?”
“Apa itu susu kampung? Namanya aja kampungan, apa menariknya.” Bas masih membalas dengan nada kasar dan tampang masam.
“Eh. Jangan salah. Kami punya susu kampung special dari racikan kopi Jampang terbaik dicampur susu kambing murni. Namanya susu kampung Jampang Kulon. Racikan susu kampung kami sekarang jadi best seller di kafe-kafe. Mas Bas harus coba.”
Bas tak langsung mencela, berarti dia cukup penasaran atau tertarik dengan tawaran Lily mencicipi produk best sellernya yang terbaru. Ritha bisa bernafas sedikit lebih lega setelah kakak iparnya itu mau berhenti bicara walau mungkin hanya sebentar.
“Pak Nana, tolong ambil susu kampung Jampang kulonnya 3 botol yang ukuran seliter ya. Yang 2 botol tolong dikemas beku.” Lily memerintahkan pegawainya untuk mengambilkan produk best sellernya.
“Duduk-duduk dulu dong, Mas Bas! Jangan kebanyakan marah-marah, nanti darah tingginya kumat lo. Hidup harus santai, supaya nggak gampang kena darah tinggi yang berujung stroke. Anak ABG sekarang memang agak susah diaturnya. Bukan salah kak Ritha kalau mereka belum sampai di sini. Dari tadi kak Ritha sudah nelponin mereka berkali-kali.” Lily mencoba menjelaskan dengan lembut dan tenang sebagai pihak yang netral.
Bas mau duduk dengan bibir masih mencibir.
Tak lama kemudian Biru dan Faiz terlihat datang dari arah yang bersamaan.
“Hei, Bocah. Cepetan!” teriak Bas. Lelaki berpenampilan dandy itu langsung berdiri dan melambaikan tangan agar remaja yang mereka tunggu mengindahkan perintahnya. Wajahnya terlihat garang seperti harimau yang siap mengamuk.
Kedua remaja itu berlari cepat menghampiri.
“Ngapain aja lama bener?”
“Pamit dulu sama kakek, guru dan teman-teman.” jawab Biru. Gadis itu tersenyum dengan manisnya.
Bas melotot dan menghardiknya dengan suara lebih keras dari guntur, “Ngapain kamu ikutan pamit, Hah.”
“Mulai sekarang saya akan tinggal di rumah mas Satya di Jakarta dan sekolah di sana.” Biru menjawab dengan wajah lugu dan senyum yang mengembang, belum tahu kalau jawabannya akan mendapat respon buruk kakak lelakinya itu.
Ritha jadi deg-degan menunggu apa yang akan dilakukan Bas pada kedua remaja itu.
“Sekolah di Jakarta? Ngapain kamu ikut-ikutan pengen sekolah di jakarta.”
“Supaya nemenin Faiz sekolah.”
“Nemenin Faiz sekolah? Emangnya Faiz takut pergi ke sekolah sendirian? Faiz itu laki-laki dan udah gede. Nggak perlu ditemenin, apalagi ditemeninnya sama kamu. Kalau butuh pengawalan, ayahnya bisa membayar body guard.”
Emm, kalau begini Ritha harus pasang badan. Tak mungkin menceritakan alasan yang sebenarnya pada Bas yang
jelas-jelas tidak suka pada adik bungsunya. “Saya yang minta Biru tinggal di rumah dan Mas Satya sudah setuju.”
“Ngapain kamu bawa anak sialan ini ke rumah Menteng? Dia itu turunan pelakor yang bawa sial dalam keluarga kami. Bisa-bisa bangkrut bisnis kita kalau kamu pelihara dia di rumah Menteng. Kamu harusnya tahu sejak pelakor itu masuk ke rumah Menteng, bisnis papa anjlok dan menyisakan banyak utang. Goldlight nyaris bangkrut gara-gara keluarga ibunya korupsi dan terlibat kasus suap di Goldlight Energy. Dia itu keturunan pembawa sial.”
Ritha memeluk Biru. “Semua bayi lahir dalam keadaan suci. Nggak ada orang bawa sial, Mas. Biru itu adik kita. Dia sudah yatim sejak lahir. Tanggung jawab kita menyayangi dan melindunginya.”
“Benar. Aku hampir 17 tahun merawat Biru. Seperti yang mas Bas tahu, bisnis kami nggak bangkrut. Laba rugi tiap tahun wajar naik turun. Namanya bisnis pasti ada dinamikanya, Mas. Biru tidak mungkin bawa sial. Anak yatim itu justru bawa berkah.” bela Lily dengan suaranya yang lemah. Dalam hati ada sedikit rasa yang memintanya membenarkan dugaan Bas. Bibit pelakor itu sudah ada. Buktinya diam-diam Biru mencintai suami kakaknya sendiri.
Ritha menatap Lily yang dalam hatinya pasti terbersit rasa cemburu dan marah pada adik bungsunya itu. Beruntung Lily cukup pandai mengendalikan emosional. Dia menyelesaikan masalah melalui jalur yang seharusnya dan dengan kepala yang dingin.
“Aku nggak sudi melihara dia. Aku nggak yakin dia adikku.”
Ritha mempererat pelukannya pada tubuh Biru dan membelai punggung gadis remaja itu dengan lembut. “Jangan dengar apa kata mas Bas, Bi! Mulutnya memang mengandung granat. Tenang ya! Kamu akan tinggal bersama keluarga mas Satya. Percayalah! Kami akan selalu menyayangi dan melindungi kamu,” bisiknya dekat telinga Biru agar hatinya lebih kuat.
Biru mengangguk tanpa kata. Matanya berkaca-kaca. Hatinya luka. Tuduhan dan celaan Bas sangat menyakitkan. Gadis itu berusaha untuk tampak tegar dengan celaan kakaknya yang menyimpan marah dan dendam pada ibu kandungnya yang sekarang entah dimana keberadaannya. Bas memang sangat keterlaluan.
“Biru akan tinggal bersama kami.”
“Pastikan jangan sampai dia menginjakan kaki di rumahku.”
Bola mata Bas hampir keluar saat menatap Ritha dengan garangnya. Sebentar kemudian beralih menatap Biru dengan sorot mengancam. “Kamu akan terima hukuman berat kalau sampai menginjakan kaki di rumahku. Ingat itu! Aku bahkan tidak segan membunuhmu.”
“Tidak perlu mengancam anak-anak segitunya, Mas. Aku pastikan Biru hanya akan menginjakan kaki di rumah kami.”
“Ya, Biru janji hanya akan menginjakan kaki di rumah kak Satya aja.” Biru mengangkat tangan kanannya dan memperlihatkan telapak tangannya yang putih pada kakak-kakaknya seiring dengan sinar matanya yang menatap mata kakaknya satu per satu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
Retno Dwi
bas blm menemukan pawang nya makanya galak. nikah mas bas
2022-02-02
1
Ning Nuri
mulutnya bas setajam silet...
2022-01-19
1
Risa Aprilia
galak bgt si bas,,
2022-01-12
1