Ritha menelan ludah. Ia paham kurikulum anak usia pra-sekolah memang baru pengenalan huruf. Sedangkan Faiz sudah cukup lancar membaca karena tiap hari ia berinisiatif belajar sendiri atau nonton tayangan video online edukasi. Sekolah sebenarnya dimaksudkan hanya untuk mendidiknya bersosialisasi dengan teman-teman sebaya. Tak ada target kecuali peningkatan kemampuan sosial dan komunikasi, karena Faiz telah tumbuh menjadi anak mandiri dalam hal belajar dan aktivitas sehari-hari dalam usianya yang masih sangat muda.
"Anak kecil tempatnya tidak di kantor, Sayang. Kantor itu tempat orang dewasa bekerja."
"Faiz juga bisa bekewja. Dawi dulu juga Faiz ikut Bunda ke kantow. Pokoknya Faiz nggak mau ke sekolah. Faiz mau ke kantow aja."
Ritha menghembuskan nafas. Kalau sudah begini, yang salah adalah dirinya sebagai ibu. Sejak bayi ia memang selalu membawa Faiz dan pengasuhnya ke kantor. Sebagai ibu bekerja, ia tetap tak ingin kehilangan masa emas buah hatinya juga karirnya. Ritha merasa beruntung bisa bekerja di perusahaan milik suaminya sendiri hingga ia bebas membawa anak ke kantor. Artinya ia tak kehilangan kesempatan berkarir dan mengasuh anak. Tidak terpikir akibatnya akan jadi seperti ini. Faiz tumbuh lebih cepat dewasa daripada anak seusianya karena ia terbiasa bergaul dengan orang dewasa. Selain bersama orang tua, orang yang berperan dalam membentuk karakternya adalah pengasuh dan karyawan kantor. Mereka kerap menemani Faiz bermain lego dan belajar sendiri dari tayangan program edukasi anak di laptop. Tentu saja semua orang di kantor memperlakukan Faiz seperti raja yang dipuja dan dituruti semua keinginannya. Tak diragukan lagi. Segala pujian dan perlakuan istimewa diperolehnya karena ia anak Satya, presiden director yang merupakan pimpinan tertinggi di perusahaan besar yang membawahi banyak anak perusahaan yang bergerak di berbagai sektor bisnis.
"Sekolah itu menyenangkan. Bunda dulu sangat suka pergi ke sekolah karena kita akan dapat banyak teman di sekolah." Ritha berusaha membujuk puteranya dengan sabar dan senyum semenarik mungkin.
Dicuekin. Faiz hanya meliriknya. Anak itu kembali sibuk mengutak-atik legonya lagi sambil memperhatikan buku petunjuk yang dijembrengnya di atas lantai. Legonya kali ini terdiri dari komponen-komponen tak beraturan yang kecil-kecil. Lego pesawat tempur itu sebenarnya diperuntukan bagi anak usia 8 tahun ke atas. Namun dia telah bisa menyusunnya sendirian pada usianya yang belum genap 5 tahun.
"Hakanawa juga tiap hari ke sekolah kan? Faiz ingat apa nama sekolah Hakanawa?" Ritha mengalihkan perhatiannya dengan menyebut tokoh kartun
kesukaan Faiz yang sering ditontonnya di chanel TV cabel.
"Best Futue Kindewgawden," seru Faiz dengan keras dan bersemangat menyebut nama TK tempat sekolah tokoh utama film kartun kesukaannya.
Ritha tersenyum. Ia berharap dalam hato semoga triknya kali ini berhasil membujuk Faiz kembali bersekolah.
"Sekarang Faiz akan berangkat ke sekolah yang sama modernnya dengan Hakanawa, tapi namanya Global International Kindergarden."
Anak itu menggeleng. Menatap sayu bundanya dengan mata yang bersinar tajam seperti batu intan pemotong kaca. "Tidak mau. Faiz mau jadi papa Hakanawa aja yang tiap hawi bewangkat ke kantow." ucapnya tegas.
Ritha menghela nafas. Gagal lagi membujuk anaknya.
"Ya sudah. Tidak apa-apa kali ini Faiz ikut Ayah dan Bunda ke kantor. Tapi lusa Faiz harus berangkat ke sekolah ya."
Faiz menunduk. Tidak mengucapkan kata setuju namun tidak memberikan penolakan. Anak itu sepertinya tengah mencari alasan yang tepat untuk tidak berangkat ke sekolah.
"Faiz bisa belajaw sendiwi, Bunda. Tidak pewlu sekolah. Semua owang bilang Faiz pintaw sepewti ayah. Faiz bisa bekewja jadi pwesiden diwektuw menggantikan ayah."
Ish. Percaya diri sekali dia. Mentang-mentang anak semata wayang seorang president director merasa tak perlu sekolah. Iya. Perusahaan ayah pasti diwariskan padamu, Nak. Tapi kamu tetap perlu sekolah. Belajar memang tak harus di sekolah, tapi .... Bunda bingung harus bagaimana menjelaskannya. Bunda ingin kamu bersekolah selayaknya anak-anak lain seusiamu, Nak.
Ritha terpaksa mengabaikan sebentar masalah sekolah sampai dapat menemukan alasan tepat dan tak terbantahkan kenapa Faiz harus sekolah. Ia mengambil segelas susu murni dan setangkup roti sandwich isi beef teriyaki lalu mendudukan Faiz di kursi makannya.
“Sekarang anak Bunda yang pintar sarapan dan minum susu dulu ya."
Faiz mengangguk. Ritha tersenyum bangga padanya. Faiz anak yang cerdas dan disiplin seperti ayahnya. Waktu makan ia harus duduk di kursi makan dan baru akan beranjak ketika makanannya sudah habis. Ia juga sudah hafal doa makan. Permainan kesukaannya adalah menyusun lego menjadi rumah-rumahan, kendaraan, gedung dan benda-benda lain yang biasa ia lihat sepanjang perjalanan ke kantor.
Meski keras kepala dan sedikit angkuh, namun Faiz tetap balita yang lucu dan menggemaskan. Perilaku yang sulit dikendalikan dan membuat orang tuanya pusing tujuh keliling hanya satu, yaitu tidak mau sekolah.
Drama tak mau sekolah juga terjadi pada hari berikutnya dan berikutnya lagi. Ritha sampai pusing karena kehabisan cara untuk membujuknya pergi ke sekolah. Meski sudah diantar ayah bundanya ke sekolah, ia tetap enggan. Malah mengamuk jika dipaksa.
"Bagaimana ini?"
Ritha angkat bahu. Menyerah. Satya juga hanya tampak tak berdaya.
"Kalau selama sebulan ini kita tidak berhasil juga membujuknya ke sekolah, kita ikuti saja apa maunya meskipun sayang juga uang pangkal sekolah itu kan mahal banget. Kita coba trial ke beberapa sekolah lain. Faiz itu mewarisi sifat keras kita. Tidak bisa dipaksakan nanti malah trauma."
Satya mengangguk. Ia memeluk Faiz yang tertidur dalam perjalanan ke kantor. Balita itu terlihat lelah karena hampir satu jam menangis di depan ruang kelasnya. Dibujuk bagaimanapun dia tetap bersikeras tidak mau masuk ke ruang kelasnya. Kasihan juga, pendiriannya sangat kukuh tidak mau sekolah meski kedua orang tuanya tidak bosan mengantar putera semata wayangnya ke sekolah tiap pagi.
Kesempatan terakhir Satya mencoba mendaftar kelas trial di taman kanak-kanak sekolah internasional yang sama dengan Sekolah dasar tempat Amel bersekolah. Maksudnya agar Faiz dapat bersosialisasi lebih mudah di sekolah yang bersebelahan gedung dengan sekolah Amel -kakak sepupunya. Mereka berangkat ke sekolah bersama. Sepanjang jalan Amel sengaja diminta bercerita tentang apa saja hal-hal menyenangkan yang bisa dilakukan di sekolah. Tapi Faiz tetap cemberut. Ia bahkan tak mau masuk ke ruang kelasnya. Akhirnya karena pagi itu ada pertemuan penting di kantor, Faiz kembali di bawa ke kantor lagi.
"Faiz mau jadi apa kalau tidak mau sekolah, Sayang?" tanya Satya pada suatu petang yang santai di rumah.
"Mau jadi ayah." jawab Faiz lugas sembari mengerdipkan sebelah matanya.
Satya tersenyum bangga.
Faiz tak peduli senyum ayahnya. Ia kembali sibuk menyusun potongan-potongan kecil lego menjadi sebuat pesawat tempur yang gagah. Ekspresinya datar saja.
"Kalau mau jadi ayah, Faiz harus rajin ke sekolah karena waktu seusia Faiz Ayah sekolah juga. Ayah selalu ke sekolah dengan semangat tiap pagi karena ayah suka punya teman banyak dan ikut berbagai kompetisi yang diselenggarakan sekolah. Kalau kita menang kompetisi atau perlombaan akan dapat piala, medali dan hadiah. Itu sebabnya ayah punya banyak medali dan piala.” Satya menunjukan lemari kaca yang dipenuhi piala dan medalinya yang pernah diraihnya.
Faiz melirik lemari itu sebentar dengan tatapan yang sulit diartikan. Kesannya seperti meremehkan. Sedetik kemudian matanya menatap ayahnya dengan penuh harap, tapi tak ada binar yang membuatnya berapi-api. Untuk hal yang satu ini, tampaknya ia sama sekali tak menunjukan bahwa ia mewarisi sifat ayahnya yang suka berkompetisi. Jelas. Faiz memiliki kepribadian sendiri. Meski sekilas tampak memuja ayahnya, tapi dia bukan kloning seorang Satya.
"Besok Faiz coba dulu sekolah lagi ya, Sayang. Nanti Bunda tunggu di depan kelas bersama ibu-ibu teman sekelasmu yang lain. Kalau Faiz mau sekolah, nanti bunda kasih Faiz hadiah apa saja yang Faiz mau," Melihat Faiz tak bergeming, Ritha membujuk dengan hadiah lagi.
"Lego robot yang ada lampunya boleh?"
"Tentu saja boleh."
Faiz mengangguk pelan ekspresinya datar, tak menunjukan antusiasme sama sekali
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments