“Sebelum kecanduan game online, Faiz adalah santri teladan. Dia adalah panutan bagi santri lainnya. Kami tidak ingin santri lain mengikuti jejaknya. Oleh sebab itu peraturan harus ditegakkan. Faiz sudah melanggar peraturan, sering tidak mengikuti kegiatan pesantren dan selama 6 bulan terakhir ia tercatat telah bolos lebih dari 30 hari. Sekolah sudah memperingati, menasehati dan menghukum sesuai prosedur, namun tidak ada yang membuatnya jera. Papa juga sudah berulang kali bicara empat mata tapi tak berhasil membuatnya kembali menaati peraturan sekolah.”
“Apa karena kecanduan game online Faiz jadi anak nakal?”
“Tidak. Papa yakin dia anak baik. Saat dinasehati Faiz selalu mendengarkan dengan tenang dan menjawab semua pertanyaan dengan sopan. Tapi yah, ternyata nasehat kami hanya masuk kuping kiri keluar kuping kanan. Papa sudah tua, Kak. Puluhan tahun sebagai pendidik, belum pernah menghadapi situasi yang dilematis seperti sekarang. Bingung harus bagaimana. Faiz tidak bisa dinasehati sama sekali. Papa pun tidak bisa bersikap keras pada cucu sendiri. Guru lainnya pun tak ada yang berani memberi hukuman keras karena dia anak Satya, salah satu pendiri dan donator utama pesantren ini. Lepas dari itu, Faiz memiliki tatapan mata yang teduh dan pembawaan yang tenang. Seperti terhipnotis kharismanya, Papa dan guru-guru lain nggak pernah bisa marah di hadapannya.”
Ritha kembali menelan salivanya sendiri. Soal kharisma memang tak perlu diragukan lagi. Tampaknya Faiz mewarisi bakat kepemimpinan yang kharismatik dari ayahnya. Aura yang terpancar dari dalam tubuh dan sinar matanya mampu menghipnotis orang untuk patuh dan segan padanya. Tapi entah kenapa Ritha merasa karakter anaknya semakin ke sini semakin tampak anti sosial, bahkan menjurus pada perilaku psikopat. Perasaaan itu membuat nyalinya makin ciut dan meragukan kemampuannya mendidik anak. Jika mereka yang paham ilmu pedagogik saja menyerah menghadapi Faiz, bagaimana dengan dirinya yang awam. Hampir separuh hidupnya didedikasikan untuk profesinya sebagai seorang arsitek. Ritha hanya mahir bagaimana merancang bangunan, lanskap dan mengelola perusahaan konstruksi. Mungkinkah naluri keibuannya terkikis oleh kerasnya pekerjaan di dunia konstruksi atau oleh keegoisannya sebagai ibu yang telah menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak selama 9 tahun ini hanya pada lembaga pendidikan. Ritha terlena. Ia pikir semua akan berjalan sesuai prasangka yang mengendap di kepala, menyerahkan pendidikan pada ahlinya. Bukan pada sembarang orang, melainkan papanya sendiri yang telah teruji mampu menjadi guru terbaik selama puluhan tahun malang melintang di dunia pendidikan. Ternyata tidak. Papa memilih menyerahkan cucunya kembali ke pangkuan orang tua demi kemaslahatan pendidikan ratusan santri lain di pesantren yang dikelolanya. Kini Ritha bingung dan cemas. Saat kewajiban mendidik anak kandungnya diserahkan kembali padanya, yang ada di kepalanya hanya pertanyaan, "apa ia sanggup?"
Ritha menyangsikan kemampuannya mendidik anak. Ia tak punya pengetahuan dan pengalaman mendidik. Apalagi mendidik anak spesial yang berperilaku 'misterius' seperti Faiz. Ritha makin menyadari bahwa selama ini dirinya bukan ibu yang baik. Padahal katanya semua perempuan itu dilahirkan dengan naluri keibuan yang menjadi modal utama dalam pendidikan anak.
Mendengar apa yang disampaikan papa barusan, entah kenapa Rita khawatir putera sulungnya itu tumbuh menjadi sosok psikopat. Anak remajanya begitu pandai menyembunyikan 'sesuatu' dengan ekspresi wajah dan perilaku yang tenang. Itu seperti karakter psikopat yang sering dibacanya dalam novel-novel psikologi. Biasanya tokoh psikopat digambarkan sebagai orang yang terlihat tenang dan tak merasa bersalah sedikit pun atas tindakan yang menurut orang lain itu salah. Tokoh semacam itu akan melakukan kejahatan atau menyerang musuhnya dengan diam-diam. Setiap tindakan dilakukan dengan mode senyap yang sama sekali tak terbaca namun mampu melakukan hal yang sangat sadis tanpa perasaan empati sama sekali. Hiy… mengerikan. Ritha tak ingin anaknya jadi seperti itu.
Kekhawatirannya memaksa pikirannya mengenang lagi saat terakhir mengunjungi Faiz bulan lalu. Faiz terlihat dingin, sama sekali tak menunjukan antusiasme saat bertemu keluarganya. Dia mencium punggung tangan Ritha dan Satya dengan ekspresi wajah yang datar. Sepanjang pertemuan ia hanya diam, duduk tenang di sofa guest house pesantren tempat biasanya orang tua bertemu dengan anaknya yang menjadi santri di sana. Faiz bahkan mengabaikan adiknya yang heboh bercerita tentang lomba menari yang baru saja dimenangkan tim sekolahnya. Sebagai kakak, ia tak menunjukan empati sama sekali. Boro-boro mengucapkan selamat atas kemenangan adiknya. Anak itu hanya tersenyum tipis dengan ekor mata yang terkesan meremehkan. Mata birunya menyiratkan suatu hal misterius yang sulit ditangkap apa maknanya.
Sejak memasuki usia remaja Faiz memang tak banyak bicara. Tak suka berdebat atau menyerang orang lain. Dia sangat tertutup, sama sekali tak pernah menceritakan kehidupan pribadinya pada siapapun. Sedikit berteman karena konon waktunya lebih banyak berada di depan layar komputer multimedia karena ia berminat besar pada ekstra kulikuler pemrograman komputer dan jaringan.
Ritha bingung bagaimana besok harus menghadapi anaknya sendiri yang tengah beranjak remaja dengan karakter yang tertutup dan misterius. Lima belas tahun umurnya. Dikeluarkan dari sekolah karena terlalu banyak bolos. Sungguh ini diluar dugaannya. Sejak kecil semua orang sudah mengakui kecerdasan Faiz. Tentu saja ia bangga. Tapi dengan kecerdasannya anak itu mampu membuat berbagai alasan yang sulit terbantahkan. Dia sangat keras kepala. Tak ada yang bisa mengubah pemikirannya selain dirinya sendiri. Ritha semakin bingung, tak tahu harus mulai mengarahkannya dari mana. Dunia terasa begitu menghimpitnya.
Bagaimana ini? Game online telah meracuni pikiran anaknya. Salah? Entahlah. Salah atau benar sering kali samar karena teknologi itu seperti pedang bermata dua. Tak mungkin menyalahkan perkembangan teknologi informasi yang telah terjantur menjadi gaya hidup dunia. Lembaga pendidikan tak bisa menutup diri dari pesatnya perkembangan teknologi informasi. Tanpa dilengkapi
sarana multimedia, jaringan internet dan komputer, sebuah lembaga pendidikan pasti akan menjadi kuburan batu. Lulusannya dipastikan akan mengalami kesulitan ketika berada di luar lingkungan pesantren jika sama sekali tak mengenal dunia metaverse. Bagi anak-anak yang kecanduan bermain di dunia maya, kehidupan sosialnya di dunia nyata mungkin bisa terganggu. Hidup dalam dua dunia memungkinkan orang untuk menyembunyikan identitas pribadi yang sebenarnya dalam dunia yang berbeda. Tak jarang sekarang kita bertemu dengan orang yang terlihat baik di dunia nyata, ternyata jadi penjahat di dunia maya ataupun sebaliknya.
“Mungkin ada baiknya kita ikuti keinginannya untuk home schooling, Kak. Dia sangat terobsesi bermain game online. Faiz bukan anak nakal. Dia hanya butuh perlakuan khusus karena hobinya tidak sesuai dengan peraturan pesantren.” Papa kembali bicara. Kali ini suaranya terdengar tenang dengan pemikiran bijak sebagai pendidik yang optimis pada anak didiknya.
“Tapi Ritha nggak mau Faiz jadi anak anti sosial, Pa. Ritha takut kemampuan komunikasi dan empatinya tidak terasah kalau mengambil program home schooling.”
“Berdiskusilah dengan mas Satya bagaimana baiknya. Masalah utamanya sebenarnya Faiz terlalu sibuk di dunia metaverse dan tak bisa mengikuti peraturan pesantren yang kurikulumnya ketat. Kalau dibiarkan bisa menjadi contoh buruk buat santri lain."
“Baik, Pa. Ritha akan jemput Faiz besok.”
“Sabar ya, Kak! Faiz anak yang istimewa. Papa rasa dia membutuhkan peluk, doa dan perhatian lebih dari orang tuanya. Kamu perlu lebih banyak waktu mengawasi dan mendampingi anak ABG yang masih labil seperti Faiz. Sekarang ini yang ia butuhkan adalah teman diskusi yang mengerti dirinya. Sebagai ibunya, kamu mungkin lebih paham bagaimana menemani anak-anak pada masa pubertas dan memberinya pemahaman cara berpikir yang baik dengan mengajaknya berdiskusi dari hati ke hati. Gunakan naluri keibuanmu. Papa yakin Faiz akan merasa lebih nyaman berdiskusi dengan ibunya.”
Benarkah? Apa Ritha masih memiliki naluri keibuan? Mengapa selama ini ia tak bisa paham bagaimana pemikiran dan perasaan Faiz? Apakah selama ini ia kurang peka atau tidak dapat menggunakan naluri keibuannya? Apa mungkin karir dan pikiran yang selalu terbagi-bagi membuat naluri keibuannya terkikis hingga ia abai terhadap perasaan dan masalah yang dialami anak-anaknya? Atau ia hanya kurang waktu bersama anaknya? Ritha terus bertanya-tanya dalam hati, menginstropeksi apa kesalahan dirinya sebagai seorang ibu.
“Baik, Pa.Terima kasih sudah membantu kami mendidik Faiz selama ini,” ucap Ritha lirih.
Papa benar, pendidikan anak prinsipnya adalah tanggung jawab orang tua. Bisa jadi Faiz hanya membutuhkan perlakuan khusus. Mungkin ini saatnya Ritha harus belajar bagaimana menjadi orang tua yang baik. Mau tidak mau ia harus mengurangi aktivitas di luar rumah. Perkembangan Pendidikan anak lebih penting daripada karir. Ritha sadar bahwa sebenarnya pendidikan anak adalah kewajiban orang tua. Ritha tak boleh lari dari tanggung jawabnya. Mungkin inilah saat dimana ia harus mencoba lebih dekat dan memperhatikan perkembangan anak kandungnya.
Kejadian ini memaksa Ritha mencukupkan perjalanan karirnya sampai di sini. Ia harus fokus menjadi seorang ibu rumah tangga demi kebaikan anak-anaknya. Sudah cukup banyak capaian membanggakan yang diperolehnya sebagai seorang arsitek. Ratusan desain puluhan gedung tingkat tinggi, kawasan resort bahkan kawasan industrial yang dirancangnya telah mendapatkan banyak pujian. Keberhasilannya mendukung Satya membawa Ganesha Bangun Nusantara dan Goldlight New Construction menjadi perusahaan konstruksi multi nasional juga tak bisa dianggap sepele. Semua sudah cukup. Tak ada yang ingin dicapai lagi.
Mungkin ini cara Tuhan memintanya berbalik arah menjadi seorang ibu yang seutuhnya. Ia harus mundur perlahan dari profesinya untuk belajar menjalani tugas yang lebih mulia sebagai seorang ibu dimana pendidikan anak berpusat. Apa artinya karir dan kekayaan yang berlimpah bila anaknya kurang perhatian dan kasih sayang. Cukup sudah 9 tahun menyerahkan tanggung jawab pendidikan anak pada lembaga pendidikan semata, meskipun itu dikelola oleh ayahnya sendiri. Ini saatnya membayar hutang waktu pada puteranya, karena selama tinggal di pesantren Faiz telah kehilangan waktu berkualitas bersama dengan orang tua dan adik kandungnya.
“Terserah kamu, Cantik. Kamu lebih tahu mana yang harus jadi prioritas.” Hanya itu yang dikatakan Satya Ketika Ritha menceritakan kasus Faiz malam hari dalam perbincangan singkat di atas ranjang malam itu.
Ritha mencebik. Kecewa dengan respon suaminya yang datar. Itu sama sekali di luar ekspektasinya. Apa semua lelaki itu egois? Tak mau tahu masalah pendidikan anaknya. Bukannya menyumbang saran atau ide, Satya malah tersenyum acuh dan memeluknya. Menyebalkan. Padahal ia butuh teman bertukar pikiran mengenai masalah anaknya, bukan sentuhan fisik.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
lady El
salut sama author ini,berani ambil tema2 yg ”kurang menjual” d lapak ini,tp novel nya no kaleng2
semangat ka,,,
2022-02-17
3
bieb
pusing ..menghadapi anak abg..mungkin pelukan dan bisikan doa saat anak teridur salah satu cara meluluhkan egonya
2022-02-04
1
Ummi Fatihah
mas Satya, jangan cuma bilang" terserah..."...😀😀
2022-01-05
1