Ritha mencebik. Kecewa dengan respon suaminya yang datar. Itu sama sekali di luar ekspektasinya. Apa semua lelaki itu egois? Tak mau tahu masalah pendidikan anaknya. Bukannya menyumbang saran atau ide, Satya malah tersenyum acuh dan memeluknya. Menyebalkan. Padahal ia butuh teman bertukar pikiran mengenai masalah anaknya, bukan sentuhan fisik.
Apa semua lelaki tak menganggap masalah pendidikan karakter anak sebagai masalah serius?
Satya malah memeluknya dengan erat sampai Ritha nyaris kehabisan nafas. Tangan naganya menjalar menelusuri bagian seluruh bagian tubuh istrinya. Sementara hidungnya mengendus-endus dan lidahnya menjulur seperti anjing pelacak yang mencari buruan.
Hih, kesal. Bukannya menikmati sentuhan suaminya, Ritha justru membuang nafas ke udara dengan hentakan yang lembut dengan suara mendesis. Ia berusaha melepaskan diri dari pelukan suaminya. Pikirannya tentang anak sulungnya menghempas seluruh hasratnya pada dunia. Ia benar-benar takut anaknya tumbuh menjadi seorang psikopat yang anti sosial dan tak punya empati.
Satya tertawa kecil. “Kenapa malam ini Cantikku jadi siluman ular?” godanya sambil mengacak-acak rambut hitam istrinya yang dibiarkan tergerai begitu saja.
Ritha tak bergeming. Satya mulai merasakan sikap istrinya yang tak biasa bersikap dingin saat dicumbu. Wajahnya berkerut-kerut bak jeruk purut. Sama sekali tak sedap dilihat. Pasti ada hal serius yang memenuhi kepalanya itu.
“Kenapa? Kecewa dengan tanggapan aku ya?” Satya masih mencoba mencumbu dengan memeluk tubuh istrinya dari arah belakang. Ia mengecup ubun-ubun istrinya sambil menghirup wangi rambut istrinya yang segar memanjakan hidung.
“Iya.”
Satya segera mengubah posisinya hingga duduk berhadapan dengan istrinya yang berwajah keruh. Senyum-senyum memperhatikan tiap detil garis wajah cantiknya. Tetap terlihat menggemaskan walau sedang marah.
“Bukan cuma Faiz yang kecanduan game online, Cantik. Banyak orang tua yang mengeluhkan hal serupa. Sekarang kan memang sedang jamannya game online. Lagi pula papa bilang kan Faiz tidak nakal, hanya butuh perhatian lebih dari orang tuanya dan kamu sebagai ibunya sudah berinisiatif meluangkan lebih banyak waktu untuk mendampinginya. Aku
setuju. Masalahnya sudah selesai kan? Aku tinggal ketok palu karena kamu sudah memberikan solusi.”
Benar juga sih. Sebagai perempuan Ritha kelewat mandiri. Salah strategi. Tak seharusnya Ritha bercerita tentang masalah anak mereka beserta solusinya. Kalimat yang dilontarkannya tadi seperti sebuah pemberitahuan. Wajar jika Satya tak tak merasa perlu berpendapat pada masalah itu dan langsung setuju dengan solusi yang ditawarkan Ritha. Tidak ada yang harus dibicarakan lagi seolah-olah jawabanya pasti besok pagi mereka harus menjemput Faiz pulang ke Jakarta dan mendaftarkan home schooling sesuai keinginannya. Padahal Ritha ingin diskusi soal pendidikan yang terbaik buat anaknya yang mencakup seluruh aspek kehidupannya, bukan hanya pendidikan akademis saja. Ia tak setuju anaknya yang tertutup itu sekolah tanpa teman. Seharusnya ia mengeluh saja agar Satya terpancing untuk mencari solusi.
“Aku harus bagaimana, Cantik? Apa kamu merasa keberatan mengurangi banyak aktivitas di luar rumah untuk mendampingi putera kesayangan kita?” Kini Satya meminta penegasan kenapa istrinya seolah belum puas dengan tanggapannya.
Ritha menggeleng. Ritha tak suka anaknya home schooling. Faiz harus terbiasa berkomunikasi, bersosialisasi dan berorganisasi. Ia tak ingin melihat Faiz seperti anak autis yang anti sosial, sibuk sendiri dengan dunia maya. Ia takut anaknya tumbuh menjadi seorang psikopat. Anak itu harus belajar bagaimana berempati pada orang lain, mengikis bakat sombong yang diwarisi dari keluarga ayahnya yang sudah turun temurun kaya raya, dan juga membuang sifat egois yang telah dipertontonkannya sejak kecil. Anak sultan tetap harus diajarkan empati dan bersosialisasi dengan segala karakter manusia.
“Aku tidak mau Faiz home schooling, mas. Faiz nanti jadi makin tertutup. Akibatnya mungkin kelak dia akan kesulitan berkomunikasi dan bersosialisasi dengan orang banyak. Aku tidak mau anakku jadi anti sosial. Tolong mas bujuk dia supaya pindah sekolah umum saja di Jakarta!” pinta Ritha.
Wajah Satya berubah muram seketika. Keningnya sedikit berkerut. Tak yakin mampu mengubah keinginan putra sulungnya. Otaknya langsung berputar, membawa ingatannya kembali pada masa 10 tahun silam saat mereka frustasi tak mampu membujuk puteranya untuk ke sekolah. Membujuk Faiz untuk ke sekolah adalah satu masalah besar yang tak mampu diselesaikan seorang pemimpin besar sekelas Satya. Ribuan hari sudah dihabiskan untuk membujuk anak balitanya agar mau ke sekolah. Berbagai cara telah dilakukan untuk membujuknya. Dari iming-iming hadiah sampai kalimat persuasif yang menceritakan bagaimana asyiknya sekolah sudah dilakukan. Namun hasilnya nihil. Anak itu sangat keras kepala dan entah kenapa Satya tak kuasa memaksanya. Kemampuan persuasif dan kharismanya lenyap di hadapan anaknya sendiri. Ia tak tega setiap kali melihat mata anaknya yang sayu itu mulai berair. Rasanya pilu.
Ritha meringis melihat perubahan ekspresi suaminya. Satya pasti pesimis. Keduanya sama-sama mengangkat bahu dengan wajah yang menegang karena paham mereka teringat hal yang sama. Sepuluh tahun yang lalu pasangan itu nyaris putus asa karena tak berhasil membujuk putera semata wayangnya masuk sekolah taman kanak-kanak. Ritha masih ingat betul kejadian itu.
"Ada apa, Sayang?" tanya Ritha pada anak balitanya yang berlari sambil menangis menubruknya. Ekor matanya melirik sang ayah yang menguntit di belakang bocah itu dengan wajah putus asa. Ekspresinya pagi itu sama persis dengan ekspresi yang diperlihatkan Satya malam ini.
Belum pernah Ritha melihat suami tercintanya berekspresi nyaris putus asa begitu. Aneh sekali melihat ekspresi seorang bos besar yang perintahnya sama artinya dengan titah dewa tak berkutik di hadapan darah dagingnya sendiri. Wibawa yang diagungkannya hilang entah kemana.
"Bunda, ayah selalu maksa aku pakai baju sewagam. Padahal aku sudah bilang, aku tidak mau sekolah lagi," adu Faiz sambil menghentak-hentakan kakinya ke lantai. Pada usianya yang lima tahun, Faiz telah memiliki banyak
kosa kata dan lancar berbicara kecuali huruf "R" yang memang sulit dilafalkan.
Ritha melirik suaminya yang hanya angkat bahu. Satya sudah kewalahan, tak sanggup membujuk Faiz kembali ke taman kanak-kanak bertaraf internasional yang dipilih Satya untuk sekolah putra tunggalnya. Satya telah memilihkan sekolah terbaik. Namun anak itu tidak betah di sekolah. Faiz yang sudah terbiasa dibawa ke kantor sejak bayi selalu ingin ikut ke kantor bersamanya setiap hari. Rupanya ia tak suka bergaul dengan anak seusianya yang seringkali tidak bisa memahami keinginan dan maksudnya. Berbeda dengan di kantor, karena status ayahnya
sebagai bos Faiz selalu mendapat perhatian dan penghormatan dari para karyawan yang sudah hapal kebiasaan dan karakternya.
Ritha jongkok agar wajahnya bisa setara dengan jagoan kecilnya. Ditatapnya mata biru yang berair itu dengan tatapan yang menenangkan. "Kenapa kamu tidak mau sekolah, Nak? Bukannya sekolah itu menyenangkan? Ada banyak teman, ibu guru yang baik dan banyak permainan juga."
"Faiz tidak suka teman-teman di sekolah banyak yang suka nangis tewiak ‘mama mama’. Ada juga anak yang suka ngompol dan nggak ngewti dibilangin kalau pipis itu hawus di toilet. Faiz mau ikut Bunda ke kantow aja. Nggak mau
ke sekolah. Pusing."
"Mereka semua teman seusia Faiz, Sayang. Tidak semua anak usia 5 tahun sudah pintar seperti Faiz. Mereka belum terbiasa ke sekolah jadi menangis minta ditunggu mamanya. Ada juga yang belum bisa pipis dengan baik. Faiz harus belajar memaklumi teman supaya disukai orang banyak."
"Faiz nggak mau sekolah. Faiz mau ikut ayah dan bunda ke kantow aja. Faiz belajaw di kantow aja sama Bunda. Kalau Bunda sibuk, Faiz kan bisa sama tante Awi atau om Bimo. Faiz sudah bisa baca, Bunda. Bewhitung dan menggambaw juga sudah bisa. Buat apa sekolah. Faiz bosan disuwuh bu guwu ulang-ulang tewus nulis abjad-abjad."
Ritha menelan ludah. Ia paham kurikulum anak usia pra-sekolah memang baru pengenalan huruf. Sedangkan Faiz sudah cukup lancar membaca karena tiap hari anak itu berinisiatif belajar sendiri atau nonton tayangan video online edukasi. Sekolah sebenarnya dimaksudkan hanya untuk mendidiknya bersosialisasi dengan teman-teman sebaya. Tak ada target kecuali peningkatan kemampuan sosial dan komunikasi, karena Faiz telah tumbuh menjadi anak mandiri dalam hal belajar dan aktivitas sehari-hari dalam usianya yang masih sangat muda.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
lady El
ah,, jenius emang beda,,
2022-02-17
1
Wenny
hayooo cantiik.. yg sabar yahh
2022-01-07
2