Mereka berpindah tempat ke kebun kopi dan membuat video dance lagi di tempat itu. Tak terasa sudah satu jam mereka berpindah-pindah tempat. Sebelumnya Faiza minta buat video di dekat helikopter, lalu pindah ke dekat sumber mata air, pindah lagi ke taman mawar dan sekarang pindah ke kebun kopi. Biru lelah. Lebih tepatnya bosan mengikuti bocah cerewet yang tak pernah merasa puas dengan hasil ambil gambarnya itu. Begini rasanya profesi kameramen. Capek mengikuti kemauan artis sekaligus produsernya yang tampak antusias dengan ide-idenya yang menurutnya spektakuler. Padahal apaan sih. Cuma video nari selama paling lama satu menit doang. Apa menariknya coba?
“Ini lokasi terakhir ya, Za.”
“Iya. Izza juga capek, Bibi.”
Ih, kok dia yang mengeluh. Padahal Biru yang disuruh-suruh ke sana ke mari mengikuti apa maunya.
Untunglah setelah kegiatan joget ala artis korea di kebun kopi anak itu benar-benar menghentikan aktivitas berjogetnya. Biru juga bebas. Tak menjadi kameramen lagi.
“Nanti aku minta mbak Gayatri yang edit video dan milih mana yang paling bagus buat diupload di akun tic taknya dia.”
“Jadi kamu joget-joget itu buat konten akun tic tak si Gayatri itu?”
Faiza mengangguk.
Biru mengepalkan tinjunya. Sebal. Jadi ingin tahu yang Namanya Gayatri itu seperti apa. Seenaknya aja dia memperalat keponakannya untuk dijadikan konten. Pasti si Gayatri itu banyak folowernya gara-gara terpesona pada luwes dan cantiknya keponakannya. Jangan-jangan dia dapat endorse dari akun tic taknya. Wah, nggak benar ini.
“Gayatri itu siapa?”
“Guru tari aku,”
Oh, ternyata dia yang mengajari sang keponakan melenggak-lenggok begitu.
“Nggak usah kasih video itu ke Gayatri. Bikin akun sendiri aja.” bujuknya.
“Nggak boleh sama Bunda. Kan belum cukup umur.”
“Kalau begitu besok bibi aja yang bikin akunnya. Bibi kan sudah mau 17 tahun.”
Faiza hanya melirik dengan tatapan remeh. Cih, menyebalkan sekali sih keponakananya yang satu ini. Kalau nggak mau ya sudah sih. Tidak perlu meremehkan begitu.
Faiza melihat ibunya telah kembali dan duduk di beranda belakang rumah seraya menikmati pemandangan, secangkir kopi dan talas rebus yang bertabur kelapa sebagai camilannya. Gadis kecil itu segera berlari menghampiri.
“Makasih ya, Bi.” Gadis kecil itu sempat berhenti sebentar, menoleh dan tersenyum padanya lalu berlari lagi menghampiri ibunya.
Alisa mengekor di belakangnya.
Aman. Biru memilih berjalan lagi ke bawah, kembali ke taman bunga mawar yang berada dekat sumber air alami yang selalu mengalir sepanjang tahun. Taman itu adalah tempat favoritnya. Biru senang berlama-lama duduk di bawah pohon kopi sambil memandang ribuan kuntum mawar yang mekar silih berganti sepanjang masa. Ketika berada diantara ribuan kuntum mawar itu Biru merasa seperti puteri cantik di negeri dongeng yang menanti datangnya pangeran berkuda putih membawanya pergi ke istana di atas awan. Sejak kecil Biru sering mendatangi taman itu saat senja tiba. Satu keindahan taman mawar yang tak mungkin terlupakan seumur hidup adalah ketika cahaya keemasan matahari sore memantul di kolam kecil yang tak pernah kering itu. Indah sekali.
Gemericik suara air yang terus menerus mengalir dari kolam kecil itu begitu memanjakan telinga. Kolam kecil itu adalah sumber mata air yang jumlahnya tak pernah berkurang atau bertambah sebab alam menyemburkan air tanpa henti. Sebagian airnya terus mengalir lewat selokan kecil menuju sungai yang terletak di bawah sana.
Biru masih mengingat masa kecilnya bersama dengan tiga keponakan lelakinya. Saat itu mereka masih sama-sama kompak satu dengan lainnya. Waktu Biru SD kelas 5 Faiz, Azka dan Amar membuat rumah-rumahan dari kayu untuk tempat menyembunyikan barang-barang aneh ciptaannya yang sekaligus dijadikan markas besar tempat mereka berkumpul. Letaknya menjorok ke bawah. Tak terlihat dari lantai dua Gedung pesantren maupun dari rumah mereka. Letaknya yang tersembunyi membuat mereka kerap menggunakan rumah itu untuk bolos di jam-jam pelajaran yang menurut mereka membosankan. Tapi belakangan kakek guru tahu tempat persembunyian mereka itu. Sejak saat itu pemimpin gerombolan yang tidak fasih mengucapkan huruf “R” mencari tempat persembunyian lain untuk merencanakan misi-misi rahasianya bersama dua sepupunya yang sama gilanya. Rumah-rumahan itu ditinggalkan begitu saja. Mulai.saat itu pula Biru jadi pemilik tunggal rumah-rumahan jelek itu dan menggunakannya untuk mengusir penat sendirian. Tempat itu adalah tempat favoritnya. Pada hari-hari libur Biru sering tertidur dalam rumah kayu berukuran 2 x 2 meter itu dan selalu memimpikan hal yang sama tentang dunia masa depan.
“Bi. Bibi. Bangun! Miss Fia sudah mencawi bibi sehawian. Bibi kenapa bolos kelas matematika. Padahal itu kan pelajawan paling menyenangkan” Itu suara khas Faiz, si ganteng bermata biru yang tak fasih mengucap huruf “R”
Biru mengerjap. Menggosok-gosokan kedua matanya yang masih mengantuk lalu duduk sambil menggeliat meluruskan otot-otot tubuh.
“Ada apa sih, Iz? Ganggu aja deh."
“Kata miss Fia, bibi sudah 2 kali bolos kelas matematika.”
Aku menggaruk-garuk kepala. “Pusing, Iz.” keluhnya terus terang.
“Pusing kenapa?”
“Susah banget. Otak aku itu beku, nggak encer kayak otak kamu. Ngeliat miss Fia aja bawaannya udah pusing.”
“Besok jam istiwahat ke guest house. Nanti aku ajawin.”
“Emang kamu bisa ngerjain soal matematika untuk anak SMP? Kamu kan masih SD.” Waktu itu Biru sudah duduk dibangku kelas 7 sementara Faiz masih kelas 6. Biru menyangsikan kemampuan keponakannya itu. Masak anak SD bisa mengerjakan soal matematika anak SMP. Tidak mungkin.
“Bisa. Kasih aja aku bukunya. Aku pasti bisa.” serunya yakin. Tatap matanya tajam menghunus. Biru tahu, itu artinya Faiz sedang serius dan tidak sedang mengajaknya bercanda
Ternyata memang benar keponakannya yang tidak fasih mengucapkan huruf R itu jago matematika. Sejak diberi les
privat sama dia, Biru tidak takut matematika lagi. Walau tidak pernah dapat nilai sempurna untuk mata pelajaran yang menjadi momok baginya itu namun Biru dapat mengikuti pelajaran. Setidaknya minimal ia bisa dapat angka 70 tiap kali ulangan matematika.
Sekarang Faiz setara dengannya di kelas 1 SMU. Anak itu berhasil lompat karena prestasi akademiknya sangat baik dan lulus program akselerasi. Sesekali Biru masih minta bantuan Faiz kalau ada kesulitan di mata pelajaran fisika, kimia atau matematika. Hari ini Biru akan kehilangan teman baik sekaligus keponakannya yang semakin hari jadi pendiam dan sibuk main game online sepanjang waktu. Faiz diminta keluar dari sekolah karena terlalu sering bolos sekolah dan tidak ikut kegiatan wajib pesantren. Dia akan pindah sekolah ke Jakarta dan berkumpul dengan orang tua dan adiknya yang cerewet itu. Biru pasti akan sangat kehilangan.
“Biru.”
Biru menoleh. Dilihatnya kakak iparnya yang memiliki mata biru itu sambil tersenyum.
“Ngapain kamu di situ?”
“Leyeh leyeh.”
“Cepat pergilah ke kamarmu, bereskan pakaian dan barang-barang pribadi kamu.”
Biru bengong.
“Mulai sekarang kamu akan tinggal bersama kami di Jakarta.”
Biru masih bertanya-tanya dalam hati. “Kenapa?”tanyanya masih dalam mode bengong. Antara percaya dan tidak dengan keputusan kakak iparnya yang sangat tiba-tiba itu.
“Kamu nggak mau tinggal bersama kami?”
“Bukan begitu. Biru mau tinggal dengan kak Satya atau kakak-kakak yang lain. Tapi kenapa keputusannya mendadak?”
“Karena kakak perlu kamu untuk mengawasi Faiz di sekolahnya yang baru nanti.” Ritha menemukan satu alasan yang kira-kira tak membuat Biru bertanya-tanya kenapa ia harus ikut ke Jakarta. Tidak mungkin menjelaskan alasan yang sebenarnya. Cukup Lily, Ritha dan guru konselingnya yang tahu.
“Memangnya Faiz harus diawasi?”
“Ya. Kamu harus pastikan dia tidak bolos sekolah. Kan kamu tahu sendiri kenapa Faiz harus keluar dari pesantren. Kakak takut dia akan melakukan hal yang sama di sekolah barunya.”
“Emmm…. Memangnya kami akan berada di kelas yang sama? Sekolahnya tidak dipisah kelas lelaki dengan perempuan?”
“Izza minta kalian sekolah di sekolah umum, bukan boarding school. Kelas laki-kali tidak dipisah dengan perempuan.”
Biru manggut-manggut.
“Kamu mau?”
Biru tersenyum manis dan berkata, “Dengan senang hati.”
“Sekarang cepat kemasi barang-barang kamu. Bi Lilis akan membantumu. Nanti atau besok supir kak Lily yang akan bawa barang-barang kamu dan Faiz ke rumah kami. Urusan administrasi kepindahan sekolah kamu sedang diurus kakek Umar. Kita pulang 30 menit lagi bareng mas Bas dengan heli. Yang cepat ya, Biru. Mas Bas bakal marah kalau pertandingan tinjunya sudah selesai dan kita belum bersiap untuk berangkat ke Jakarta.”
Biru tersenyum. Gadis itu berlari cepat pergi ke kamarnya di asrama putri untuk membereskan pakaian dan barang-barang pribadinya. Entah apa yang terjadi esok. Biru merasa lebih baik ia ikut Faiz ke Jakarta. Di sana ia akan mendapatkan banyak pengalaman baru, teman-teman baru dan mungkin kehidupan baru yang sama sekali berbeda. Tak ada yang perlu ditakutkan karena Biru pernah beberapa kali tinggal di sana saat liburan sekolah. Rumah peninggalan papa yang dibeli 2 kakak lelakinya bersama mereka itu nyaman. Biru tahu, ada banyak foto papa di sana. Oh… Papa… Biru rindu papa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
Retno Dwi
good
2022-02-02
1
Risa Aprilia
baca maraton,,, siiip cerita biru bgus jg,,,
2022-01-10
1
Wenny
Biruuu..mudah2 menemukan dunia baru yg lebih indah...
tksh thorr selalu Up. semangat 💪
2022-01-10
1