Roda sepeda bromptom S6 menggilas aspal jalan mulus dengan santai pagi itu. Biru mulai berangkat ke sekolah sendiri karena belum berhasil mengajak Faiz bersekolah sebagaimana seharusnya. Anak itu tetap bersikukuh buat home schooling, setidaknya sampai menjelang ujian akhir semester. Untunglah kepala sekolah itu teman baik ayahnya. Dengan alasan keikutsertaannya dalam turnamen permainan daring tingkat internasional dan dengan menyertakan deretan bukti berbagai prestasi yang sempat diraih, Faiz mendapat dispensasi khusus bersyarat. Dia boleh tidak hadir di kelas selama turnamen karena sang kepala sekolah berharap nama sekolah mereka ikut harum bila Faiz dapat menjuarai turnamen itu. Sekolah itu hanya sekolah biasa, bukan sekolah favorit meski lokasinya relatif dekat dengan kawasan perumahan mewah. Wajar jika mereka berharap memiliki siswa berprestasi seperti Faiz. Apalagi ayah Faiz pengusaha ternama yang tidak mungkin tidak memberikan sumbangan besar buat sekolah yang konon tanah dan bangunannya nyaris dijual oleh ketua yayasan karena pemasukan yayasan tak mampu mencukupi biaya operasionalnya.
Menurut Biru, syarat yang diajukan kepala sekolah terlampau mudah buat Faiz. Faiz harus berhasil lulus ujian akhir semester dengan nilai sangat memuaskan agar bisa langsung masuk semester 11 setelah liburan bulan Juli nanti. Jika nilainya tidak memadai, terpaksa harus mengulang di kelas 10. Terdengar seperti syarat basa-basi saja. Biru sangat yakin Faiz pasti sanggup. Satya pun langsung menyetujuinya tanpa menyanggah sama sekali. Uang gedung dan sumbangan sukarela yang nilainya cukup besar langsung dibuatkan cek saat itu juga.
Kepala sekolah sempat sedikit membelakan mata. Terlihat terkejut melihat jumlah yang tertera dalam cek tersebut. Namun lelaki setengah baya yang berjanggut tipis itu langsung mengubah ekspresinya dengan tenang mengembangkan senyum lebar. “Terima kasih, pak Satya. Kami senang bisa menerima siswa siswi yang berprestasi seperti Faiz dan Biru. Saya percaya Faiz pasti dapat diandalkan seperti ayahnya. Saya pribadi ikut berdoa semoga Faiz memenangkan turnamen tersebut. Sumbangan bapak sangat bermanfaat buat kami. Dengan sumbangan yang bapak berikan, insya Allah operasional sekolah bisa berjalan selama paling tidak sampai setahun ke depan.”
Satya tersenyum remeh, namun terlihat tulus. Baru kali ini Biru melihat gaya angkuh kakak lelakinya yang dinilainya paling ramah dibandingkan saudaranya yang lain. Semua kakak lelakinya ternyata memiliki keangkuhan yang sama. Apa itu memang karakter yang diwariskan dari gen keluarga Wirajaya Halim? Rasanya tidak sebab Lily selalu bersikap rendah hati bahkan kadang-kadang terkesan kurang percaya diri. Apa gaya angkuh itu merupakan kamuflase untuk menutup rasa tak percaya diri? Rasanya juga bukan. Biru yakin senyum remeh Satya disebabkan jumlah yang tertera dalam cek itu dianggap nilainya tak seberapa. Hanya uang receh bila dibandingkan dengan penghasilan atau harta yang dimilikinya. Mungkin itu hanya reaksi spontan. Tak menyangka ternyata uang sebesar itu begitu berharga hingga bisa digunakan untuk operasional sekolah selama setahun. Uang sumbangan itu bisa jadi setara dengan 2 atau 3 bulan iuran siswa di sekolah internasional. Biru yakin kakaknya itu sejak dari lahir tak pernah hidup miskin. Mungkin juga tak pernah memiliki teman orang miskin sebab berada di lingkungan pergaulan orang kaya. Konon semua kakak lelakinya bersekolah di sekolah internasional yang eksklusif dan tak menerima siswa dari kalangan menengah ke bawah karena iuran bulanannya setara dengan harga rumah bersubsidi di Jabotabek.
“Saya titip Pendidikan adik dan anak saya ya, pak Hisyam. Kalau ada sesuatu dengan mereka jangan sungkan untuk memberitahu langsung saya.”
“Baik, pak Satya. Terima kasih telah mempercayakan pendidikan adik dan anak pak Satya pada kami. Kami pikir, seperti warga Menteng yang lain bapak akan mempercayakan pendidikan anggota keluarga ke sekolah berlabel internasional.”
“Mau saya begitu tadinya, Pak. Tapi adik saya ini ingin sekolah yang lokasinya dekat rumah karena ingin ke sekolah naik sepeda. Sebelumnya sekolahnya juga dekat dari rumah. Pesantren tempat dia menimba ilmu milik keluarga kami yang letaknya di sebelah rumah adik bungsu saya.”
“Saya yakin, kualitas anggota pak Satya tetap terbaik walau sekolah dimanapun. Bibitnya sudah unggul susah dicari bandingnya.” Kepala sekolah memuji seraya mengacungkan jempol.
Satya tersenyum bangga dengan dagu sedikit terangkat. Biru memperhatikan gayanya yang terlihat begitu keren. Rasa-rasanya ia harus belajar bersikap serupa agar ia mirip dengan anak Wirajaya Halim yang lain. Jangan terlalu lugu. Ia juga ingin terlihat elegan dan percaya diri.
Satya dan Faiz rupanya memiliki pemikiran yang sama gilanya. Biru heran kenapa kakak lelakinya itu terkesan mendukung anaknya yang meremehkan pendidikan gara-gara permainan daring yang menyesatkan. Karena terlalu sayang? Atau merasa Pendidikan tidak terlalu penting karena toh akhirnya Faiz juga yang akan mewarisi bisnisnya yang telah menggurita dengan asset yang sangat besar. Berbeda dengan Ritha yang mencemaskan keputusan itu. Ritha tetap meminta Biru membantunya mempengaruhi Faiz agar meninggalkan kecanduannya terhadap permainan daring. Banyak sekali yang dikhawatirkan perempuan itu, namun yang paling meresahkan adalah dampak psikologis akibat kekerasan visual dan verbal yang tidak sesuai dengan adab islami. Cara pandang dan pola asuh suami istri itu memang terlihat berbeda. Ritha terlihat lebih suka Faiz fokus pada pendidikan. Pasti karena terlahir sebagai anak kakek guru yang sebagian besar hidupnya didedikasikan bagi dunia Pendidikan. Sementara Satya lebih santai. Bagi Satya yang lahir dari keluarga pebisnis pengalaman hidup lebih penting. Pengalaman hidup bisa dijadikan pembelajaran agar manusia menjadi lebih tangguh dan itu tidak harus terjadi di lingkungan sekolah saja, namun di setiap tempat dan kesempatan. Biarlah Faiz mendapatkan pengalamannya sendiri dengan dunia yang disukainya yang penting ia bertanggung jawab atas pilihannya.
Udara pagi Jakarta sudah terasa pengap meski ada beberapa pohon rindang di jalan-jalan yang dilalui sepedanya. Matahari mengintip saja di ufuk timur. Biasnya samar. Tiba-tiba Biru rindu udara pagi di Jampang yang dingin dan menyegarkan. Juga senyum kakak iparnya yang meracik minuman berbahan dasar kopi untuk teman sarapan keluarganya.
Oh my God, hempaskan pikiran itu. Jangan singgah lagi di otaknya. Ia harus memulai dunia baru di kota yang ramai lalu lalang kendaraan dan penuh polusi ini. Biru menghentikan laju sepedanya sejenak untuk menarik nafas panjang lalu kembali mengayuh bromptom S6 dengan lebih cepat agar pikirannya tidak kembali melayang ke mana-mana. Ia harus siap menghadapi hari barunya di sekolah yang baru.
Setelah memarkirkan sepedanya dan menguncinya di dekat tempat parkir sepeda motor, Biru langsung menuju ruang kepala sekolah sesuai petunjuk yang diberikan pak Hisyam saat Biru berkunjung ke rumahnya bersama Satya kemarin. Sekolah itu berlabel sekolah islam, namun tak semua siswinya berkerudung. Tampaknya kerudung bukan suatu hal yang wajib di sekolah ini. Beberapa siswi yang ditemuinya masuk sekolah tadi menatapnya dengan tatapan aneh lalu berbisik-bisik dengan teman sebelahnya.
Biru melihat pakaian yang dikenakannya. Seragam SMU biasa, kemeja lengan Panjang berwarna putih, rok rimple Panjang berwarna abu-abu dan kerudung sutra berbentuk segi empat berwarna putih yang dikenakan dengan cara sedikit modis. Salah satu ujung kerudungnya ditarik kebelakang dan supaya tetap rapi Biru menyematkan bros dengan ukuran sangat mungil di dada. Tidak terlalu berlebihan. Kenapa ia merasa jadi pusat perhatian?
Masabodo. Biru mencoba bersikap cuek. Ia berjalan yakin ke ruangan di sebelah kanan tempat parkir yang bertuliskan ‘kepala sekolah’ sesuai pesan pak Hisyam.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam. Masuklah Biru!”
Beruntung kepala sekolah sudah berada di ruangannya hingga ia bisa menghindar dari tatapan beberapa siswa yang agaknya penasaran dengan kehadirannya sebagai anak baru di sekolah itu. Terus terang ia malu dan jengah.
Biru masuk ke dalam ruangan yang tampak sempit oleh barang-barang yang sebagian mulai tampak usang. Di sebelah kiri ada lemari kayu tua berisi piala-piala dan medali dan lemari buku berisi banyak folder dokumen. Di ujung ruangan ada meja, kursi kerja dan dua kursi di depan meja besar yang sepertinya terbuat dari kayu jati. Meja kerja itu berdisain sederhana, terlihat tua namun tampak kokoh. Sementara di dekat dinding depan ruangan itu terdapat sofa kuno berlapis kulit sintetis berwarna hijau tua. Sudah ada 2 orang Wanita paruh baya dan seorang pria muda duduk di ruangan pak Hisyam. Biru menganggukan kepala seraya merapatkan kedua tangannya di dada, memberi hormat dengan senyum ramah pada semuanya. Habisnya bingung harus bersikap bagaimana. Biru belum tahu bagaimana cara menghormati guru di sekolah itu. Di pesantren ia biasa menghormati guru dengan cara yang berbeda antara guru laki-laki dan perempuan. Kalau bertemu ibu ustadzah harus mencium tangan, sementara untuk menghormati ustadz dengan menangkupkan tangan di dada sambil menundukkan kepala.
"Duduklah, Biru!"
“Kenalkan, Biru. Ini ibu Rianty, wali kelas 10-1 yang akan jadi kelas kamu nantinya.”
Biru menganggukan kepala seraya tersenyum hormat pada perempuan berkerudung hijau yang tampangnya sedikit angker. Alisnya tebal. Sorot matanya tajam.
“Yang ini ibu Maslahah, kepala tata usaha.”
Biru menoleh ke perempuan berkerudung pink yang ditunjuk pak Hisyam kemudian. Wajahnya sudah tampak banyak kerutan. Sepertinya kepala tata usaha berwajah teduh itu sebentar lagi akan pensiun. Biru pun tersenyum ramah dan menganggukan kepala padanya.
“Dan yang ini bapak Zain, guru olahraga sekaligus pembina OSIS di sini.”
Biru melakukan hal yang sama pada lelaki muda bertubuh atletis yang ternyata adalah guru olahraga. Cocoklah penampilan dengan profesinya sebagai guru olahraga.
“Menurut catatan dari sekolah lamanya, Biru ini pernah menjuarai pertandingan pencak silat dan panahan tingkat kabupaten dan provinsi, pak Zain.” terang pak Hisyam.
“Wah, bagus itu. Mungkin kita perlu adakan eskul baru panahan di sekolah kita, pak Hisyam. Supaya bakat Biru tidak terpendam selama di sekolah.” Pak Zain berkomentar sedikit sinis sambil terkekeh. Sorot matanya agak nakal, namun Biru tak peduli.
Biru pun tak peduli apakah di sekolah itu ada eskul panahan atau tidak. Toh ia bisa latihan memanah di rumah. Ia juga sudah berencana ikut bergabung perguruan pencak silat atau olahraga bela diri lain di luar sekolah. Dunia barunya harus lebih berwarna dan pengalamannya harus lebih luas daripada lingkungan sekolah.
“Sebenarnya ada satu siswa baru lagi, tapi mungkin baru bisa bergabung 2 bulan yang akan datang.”
“Langsung ikut ujian akhir semester, Pak?”
“Iya.”
Kedua guru dan seorang kepala tata usaha yang berada dalam ruangan itu sama-sama mengerutkan kening tapi tak ada yang memotong ucapan pak Hisyam dengan pertanyaan yang pasti sedang bergulat dalam benak mereka.
“Anaknya masih ikut karantina sebuah turnamen internasional. Jadi kita memberi kesempatan belajar mandiri selama 2 bulan ini. Prestasi akademisnya bagus. Tapi kita tetap akan berlaku fair. Kalau dia berhasil mengikuti ujian akhir semester dengan nilai memuaskan, akan naik kelas. Jika tidak, awal tahun ajaran baru harus mengulang di kelas 10.”
Ketiganya langsung mengangguk mengerti. Mungkin sebelumnya kepala sekolah sudah menceritakan siapa orang tuanya. Enak juga ya punya ayah yang punya pengaruh dan pergaulan yang luas. Faiz dapat kemudahan karena dia anak Satya Wirajaya Halim. Kalau dia bukan anak siapa-siapa mana mungkin dapat dispensasi tidak masuk sekolah selama itu. Biru masih bertanya-tanya apa hidupnya lebih mudah karena dia adik Satya?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
Retno Dwi
good
2022-02-02
1
cengar cengir
kalo guru olahraganya maen²,
langsung aja ditampol
2022-01-19
1
Wenny
mbak biru. selamat datang di dunia yg penuh warna👍😘
2022-01-16
1