Biru berdiri tegak menatap kakaknya dengan hati gamang. Gadis itu masih merasa belum memiliki sandaran hidup. Beruntung saat ini keluarga Satya menawarkan diri bersedia menampungnya dan tetap berprasangka baik padanya. Biru tahu, cepat atau lambat ia memang harus meninggalkan keluarga kakak perempuannya agar mereka dapat hidup lebih tenang dengan keluarga kecilnya. Mungkin Lily telah menyadari ada bibit-bibit cinta di hati adiknya terhadap suaminya sehingga ia menyerahkan pengasuhan Biru pada kakak lelakinya. Kebetulan gayung bersambut. Kak Ritha tidak keberatan menampungnya. Perempuan berhati lembut itu pasti tidak tega menegur langsung adiknya. Bukan karena hatinya tidak resah dan cemburu. Bukan. Melainkan karena rasa sayang Lily
pada Biru melebihi bencinya. Lagipula Biru hanya bermain dengan rasa yang tumbuh sendiri tanpa sengaja ditanam. Selama tidak ada perselingkuhan, cinta hanyalah rasa yang tak patut disalahkan.
Biru menduga, guru konseling mungkin sudah membocorkan pengakuannya saat tertangkap basah beberapa kali mengintai kang Asep melalui rekaman CCTV pesantren pada Lily. Mustahil guru konseling diam saja. Lily pasti tahu perasaannya, entah dari gelagatnya atau dari pemberitahuan guru konseling.
Sungguh. Biru sangat malu. Mengapa cinta itu harus di alamatkan pada orang yang salah. Mengapa ada hati iblis dalam jiwanya. Ingin rasanya ia bersujud minta maaf pada kakaknya yang berhati malaikat itu. Tapi sekarang bukan waktu yang tepat. Ada Bas. Sebuah pengakuan jujur bisa berbuntut masalah panjang jika dilakukan di depan kakak lelakinya yang tempramental dan jelas masih menaruh dendam dan amarah pada ibu kandungnya.
Jarak dan waktu pasti akan menghapus cinta yang tak seharusnya tumbuh dalam hatinya. Guru konselingnya pernah mengatakan itu. Biru yakin sekarang harus pergi untuk melupakan kang Asep, karena dia bukan jodohnya. Dia milik Lily, kakak perempuannya yang berhati malaikat. Ada hati 3 orang keponakannya yang harus dijaga pula. Mereka keluarga yang bahagia. Biru tak patut egois merubuhkan rumah bahagia mereka. Di tempat baru nanti ia akan bertemu lebih banyak orang yang mungkin saja salah satunya adalah jodohnya. Who know? Jalannya masih teramat panjang. Sebentar lagi ia akan memasuki usia dewasa muda. Dua tahun ini adalah kesempatan terakhirnya untuk belajar mandiri. Mungkin tak lama ia bergantung pada kak satya. Selepas SMU nanti, ia ingin kuliah di luar kota dan hidup mandiri dari uang warisan yang seharusnya sudah dapat dikelola penuh olehnya pada umur 18 tahun. Biru tak ingin merepotkan siapa-siapa lagi.
Sebelum naik ke atas helikopter yang membawanya pergi dari tempat Indah dimana ia telah dibesarkan, Biru pamit dengan salam dan pelukan hangat untuk Lily.
“Terima kasih telah merawat dan membimbing Biru selama ini ya, Kak. Biru minta maaf karena banyak salah dan merepotkan kak Lily.”
“Baik-baik di Jakarta, Bi. Patuh sama kak satya dan kak Ritha ya. Mereka berdua sangat sayang sama kamu. Di Jakarta kamu akan dapat Pendidikan yang lebih baik. Ingat sholat dan jangan sampai terjerumus kehidupan malam Jakarta. Semua yang diajarkan guru-guru di pesantren adalah bekal hidup, jadi harus selalu diingat dan jadi pegangan saat kamu goyah pada gemerlap duniawi.”
Biru mengangguk. Lily masih menciumi ubun-ubunnya dengan kasih. Tubuhnya terasa hangat dan menenteramkan. Siapa sih yang sanggup melukai hari manusia selembut dan setulus Lily. Biru harus memantapkan diri. Berusaha keras melupakan cinta yang salah.
Sungguh berat rasanya meninggalkan rumah dimana ia bertumbuh selama hampir 17 tahun ini. Rumah yang damai tempat Biru pulang meski ia jarang kemana-mana. Sekolah dan asramanya hanya beberapa ratus meter dari rumah itu. Saat liburan sekolah Biru lebih sering menghabiskan waktu di taman atau membantu para pekerja kebun mengurus tanaman kopi, lada dan jahe. Sesekali ia menyempatkan diri ziarah ke makam papa, mengunjungi rumah kakaknya atau berlibur ke tempat-tempat rekreasi bersama kawan-kawan. Kadang Faiz mengajaknya ikut mengunjungi berbagai tempat di luar kota bersama keluarga Satya. Ke luar negeri juga pernah. Keluarga besar Satya dan Lily pernah mengajaknya liburan ke Swiss dan umroh ke tanah suci. Namun kehidupan sehari-harinya tetap terkurung antara sekolah, asrama dan rumah kakak perempuannya itu. Rumah itu adalah dunianya dan Biru bahagia tinggal di sana. Sampai mati pun Biru mau berada di rumah itu.
Sedianya rumah itu dibangun sebagai vila tempat melepas penat. Pemandangan sekitarnya indah karena berada diantara bukit dan lembah yang tanahnya subur. Ada taman bunga, kebun tanaman industri, sumber air alami, dan beberapa pohon pinus yang menjulang tinggi. Biru pasti kangen kembali lagi ke sana. Entah kapan. Semoga luka hatinya cepat sembuh hingga ia bisa kembali ke rumah itu sebagai manusia yang berhati mulia. Tak ada lagi sisa bisikan iblis yang menggodanya berbuat hal yang memalukan atas nama cinta.
“Cepetan!” suara hardikan Bas terdengar menggelegar.
Biru melepaskan tangan kakak perempuannya yang masih menggenggamnya. Terasa sekali bila hati kecil Lily terasa berat melepaskan kepergiannya. Anak-anak Lily menyaliminya tapi memandang dengan tatapan tanya. Kang Asep tak menunjukan ekspresi apapun. Datar saja. Tidak terlihat rasa kehilangan atau senang ditinggalkan adik ipar yang diam-diam mengaguminya. Tak ada Biru sama sekali di hatinya. Statusnya sama saja dengan orang lain yang diperlalukan dengan baik dan sewajarnya. Jelas sekali Biru memang bukan siapa-siapa baginya.
Biru segera berlari ke landasan helikopter. Ia tak mau tertinggal. Ia harus pergi ke Jakarta dan membuka kisah baru di lingkungan yang tentu saja berbeda dengan tempatnya bertumbuh selama ini.
“Selalu doakan Biru jadi anak sholihah ya, Kak!” pintanya. Biru menoleh sebentar dengan tangan melambai sebagai tanda salam perpisahan.
Lily tersenyum melepas kepergiannya. Mereka keluarga yang bahagia. Sungguh tak pantas Biru merusaknya dengan hasrat dan ego pribadi.
Kang Asep lelaki baik yang tak bosan mendampingi Lily yang kerap masuk rumah sakit sebab penyakit bawaan yang dideritanya. Berumur panjang adalah anugerah. Itu pasti karena kehidupan Lily didukung oleh lingkungan yang damai dan pengertian orang-orang yang ada di sekitarnya. Biru salut pada pasangan itu. Saling mendukung, saling cinta dan saling pengertian. Ia berharap akan menemukan orang serupa Asep di luar sana. Seorang lelaki yang sederhana, pekerja keras dan sayang keluarga. Baginya lelaki istimewa harus seperti itu.
"Bibi nanti tidurnya di kamar tamu atau kamar aku, Bun?" tanya Faiza membuyarkan pikiran Biru tentang sosok Asep.
"Kalau di kamar kamu, boleh?" Ritha malah balik bertanya.
"Boleh. Tapi bibi biru harus merapikan kasur sehabis tidur."
"Menurut Bunda sementara lebih baik bibi Biru tidur di kamar tamu saja. Nanti kalau misalnya ada tamu menginap, Bibi boleh sharing tidur di kamar Faiza."
Gadis kecil itu mengangguk. Biru hanya tersenyum samar.
Perjalanannya kali ini bukan untuk liburan, namun untuk meraih pengalaman belajar lebih mandiri hidup di kota besar. Jakarta pasti memiliki kehidupan yang lebih rumit dengan karakter orang yang sangat beragam. Tidak ada peraturan ketat layaknya pesantren. Pola hidup dan kegiatan harus diatur sendiri agar tidak terjebak dalam pergaulan yang tak seharusnya.
Mama adalah salah satu pertanyaan besar yang masih berpusar di kepalanya. Kalau memang masih ada yang namanya ikatan batin, seharusnya mama bisa kembali ke rumah Menteng untuk menemui anaknya yang telah lama ditinggalkan. Tahukah mama jika Biru masih hidup? Rumah itu pernah jadi tempat tinggal mama. Logika sederhananya berkata, bila mama memang mencintai papa pasti ada terbersit keinginan untuk mengunjungi rumah yang pernah menjadi kenangan cinta mereka.
Biru masih berpikir tentang suatu hal yang nyaris tak mungkin. Meski samar, ada setitik harap yang terpendam di lubuk hatinya untuk bisa melihat orang yang telah melahirkannya. Seperti apakah wajahnya? Apakah Biru begitu mirip dengannya hingga Bas selalu emosi tiap kali memandangnya seolah dialah pelakor yang konon menyebabkan kematian ibu kandung mereka.
Seburuk apapun dia tetap ibu yang telah mempertaruhkan nyawa untuk kelahiran anak yang mungkin tak diharapkan kehadirannya oleh siapapun. Meski rasa kecewanya pada sosok ibu sudah menggunung, namun Biru juga punya secuil rindu untuknya. Rindu pada ibu yang tak pernah ada untuknya seumur hidup. Mungkin Biru sudah benar-benar dianggap mati. Mungkin ada makam tersendiri yang dikunjungi ibunya untuk mengenang bayi Biru. Apakah dia selalu mengunjungi makam anaknya itu? Oh... dunianya terasa sangat membingungkan.
Welcome to Jekardah...
______
Like, vote dan komen ya😘😍😍😍
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
Retno Dwi
good
2022-02-02
1
Dora Husien
aq suka novel kamubthor..banyak pesan2 moral didalamnya..
2022-01-11
1
Erna Wati
jadi nangis bacanya....
2022-01-11
1