"Besok Faiz coba dulu sekolah lagi ya, Sayang. Nanti Bunda tunggu di depan kelas bersama ibu-ibu teman sekelasmu yang lain. Kalau Faiz mau sekolah, nanti bunda kasih Faiz hadiah apa saja yang Faiz mau," Melihat Faiz tak bergeming, Ritha membujuk dengan hadiah lagi.
"Lego robot yang ada lampunya boleh?"
"Tentu saja boleh."
Faiz mengangguk pelan ekspresinya datar, tak menunjukan antusiasme sama sekali
Bujukannya berhasil. Bukan masalah minta lego yang berharga jutaan sekalipun. Yang penting Faiz mau masuk sekolah. Ritha dan Satya bahagia karena pagi itu Faiz mau masuk sekolah dengan ditunggu Ritha sampai kelasnya usai. Selama seminggu Ritha mengorbankan waktunya sejak pagi sampai siang untuk duduk menunggu bersama ibu-ibu siswa lain. Selama menunggu, ia mendengarkan gosip ibu-ibu sosialita itu sambil membaca dan membalas email penting melalui gawainya. Ritha hanya menjadi pendengar. Sebenarnya bosan mendengar gosip dan cerita perempuan kaya yang tak jauh dari seputar harta dan tahta yang berselimut kesan pamer.
Ritha baru tahu bahwa di kalangan ibu-ibu pendamping sekolah anak itu ternyata terbagi menjadi kelompok-kelompok. Sebagian ada yang meninggalkan sekolah sebentar untuk ke gym, salon atau aktivitas lain sambil menunggu anaknya pulang sekolah. Sebagian anak ada yang hanya ditunggui oleh pengasuhnya yang berkumpul membentuk kelompok sendiri sesama pengasuh anak. Ada juga yang hanya menunggu di kantin sekolah sambil bergosip. Bersama merekalah Ritha menunggu Faiz selama seminggu ini.
"Wah, kayaknya Faiz sudah betah dan cocok sekolah di sini ya, Bun." komentar bunda Alifa yang ditanggapi Ritha dengan senyum
"Semoga saja betah."
"Seminggu itu rekor ya, Bun?"
"Iya. Tapi tiap hari selalu ada cerita yang kurang menyenangkan. Entah komplain pada sikap gurunya, teman-temannya atau fasilitas sekolah. Mesti disogok dengan hadiah supaya mau ke sekolah keesokan harinya." Ritha tersenyum diikuti anggukan kepala ibu-ibu di sekelilingnya.
"Sabar aja, Bun. Mungkin Faiz perlu waktu buat membiasakan diri masuk sekolah."
Ritha mengangguk.
"Mau gabung arisan berlian nggak, Bun?"
"Arisan berlian?"
"Iya. Sesama wali siswa kindergarden ini kita mengadakan arisan supaya makin akrab satu sama lain."
Ritha mengangguk-angguk sambil tersenyum kecil. Sebenarnya ia tak terlalu tertarik dengan arisan. Tapi sepertinya harus dipertimbangkan juga agar ia tak dikucilkan dalam pergaulan ibu-ibu TK ini.
"Sebulan 5 juta, Bun."
Lagi-lagi Ritha tersenyum tipis.
"Dapatnya perhiasan berlian seharga 50 juta. Per batch ada 10 orang dan kebetulan kelompok kami kurang seorang lagi."
"Mau ya, Bun. Kelompok kami hanya 9 jadi dapatnya nanggung, hanya 45 juta." pinta mami Irish.
"Saya akan ijin suami saya dulu, Bu. Besok atau lusa saya beritahu kalau diperbolehkan gabung."
"Harus begitu ya, Bun?"
"Memangnya bunda Faiz uang belanjanya dijatah ya sama suami?"
Ih, suasana mulai tidak nyaman. Ritha malas menanggapi ibu-ibu yang mau tahu urusan pribadi orang. Bukan soal uang sebenarnya yang Ritha pikirkan. Ia hanya belum punya kata untuk menolak dengan sangat halus. Ia tak suka ikut-ikut arisan semacam itu. Ritha memang berpenampilan sederhana. Mungkin mereka menyangka ia hanya ibu rumah tangga yang mengandalkan pemberian suami untuk kehidupan sehari-harinya dan memaksakan diri menyekolahkan anaknya di sekolah internasional agar pergaulan sosialnya lebih tinggi.
Ritha tersenyum tipis. Biarlah mereka dengan prasangkanya masing-masing. Tak perlu memperkenalkan diri sebagai direktur sekaligus istri president director yang memiliki banyak perusahaan. Ritha hanya ingin jadi pendengar dalam kumpulan ibu-ibu sosialita yang anaknya bersekolah di sekolah internasional yang mahal itu. Padahal mereka hampir tiap waktu bercerita tentang kehidupannya sehari-hari hanya untuk menunjukan kekayaan dan jabatan suaminya yang mentereng.
Setiap hari Faiz selalu mengeluh. Ritha berusaha sabar mendengarkan keluhannya dan memberikan motivasi agar anaknya bertahan masuk sekolah. Faiz mungkin hanya belum terbiasa menghadapi orang dengan berbagai karakter. Dia harus dilatih dan diberi pengertian bahwa tidak setiap orang bersikap seperti yang kita mau. Besar di lingkungan kantor membuat semua orang yang dikenalnya selama ini memujanya dan memperlakukannya layaknya anak sultan. Berbeda dengan di sekolah dimana semua siswa dianggap setara. Tak semua siswa mau disuruh-suruh seenaknya. Dia juga harus mematuhi dan menghormati gurunya. Selain tidak suka pada sikap guru dan teman-temannya, dua hari belakangan ini Faiz juga mengeluh terganggu oleh teman-teman Amel yang pada jam istirahat sering mendatanginya untuk sekedar menyentuh atau mencubit pipinya.
“Mereka bilang gemas pengen nyubit karena muka Faiz seperti boneka, Tante” Itu alasan yang dikatakan Amel ketika Ritha menanyakan apa sebabnya teman-teman Amel menjahili Faiz.
“Kamu tolong bilang ke teman-teman kamu jangan begitu lagi ya. Kalau besok masih ada yang nyubitin Faiz, Tante akan lapor ke kepala sekolah.”
“Baik, Tante.”
Setelah menasehati dan setengah mengancam teman-teman Amel Ritha pikir masalahnya akan selesai sampai di situ. Ternyata tidak. Teman-teman Amel rupanya tak mau berhenti menggoda Faiz. Bukan mencubit, keesokan harinya teman-teman Amel iseng membawa kaca mata bulat dan memaksa Faiz memakainya agar mirip Harry Potter versi balita lalu mengambil gambar bocah itu setelah mendandaninya menjadi Harry Potter mini sambil tertawa cekikikan.
Faiz berlari sambil menangis menghampiri Ritha yang saat itu sedang asyik mendengar obrolan dengan ibu-ibu yang sama-sama menunggu puteranya di kantin sekolah.
"Kenapa nangis? Jagoan Bunda nggak boleh cengeng." Ritha merunduk agar tubuhnya dapat memeluk anak balita yang mata birunya berkaca-kaca.
"Aku dibully teman-teman kak Amel. Kita pulang aja, Bun. Aku nggak mau sekolah lagi."
"Dibully bagaimana? Di mana mereka? Biar Bunda tegur."
"Mereka bilang Faiz anak penyihir."
"Di mana mereka?"
"Di tempat bermain."
Ritha bergegas ke tempat yang ditunjukan Faiz. Dengan tergopoh-gopoh ia menggendong anak balitanya yang menyembunyikan wajahnya di dada.
Benar saja. Di dekat tempat bermain di perbatasan gedung sekolah TK dan SD ada Amel dengan serombongan anak perempuan berusia sekitar 10 - 11 tahun. Mereka semua menggunakan seragam yang sama dengan seragam yang dikenakan Amel. Kemeja putih berompi dengan dasi dan rok rimple kotak-kotak berwarna merah. Kelompok anak perempuan beranggotakan 5 anak yang berpenampilan borjuis itu sedang asyik ngobrol di kursi taman di bawah pohon cemara yang tinggi.
“Sepupu kamu kalau sudah umur 11 tahun pasti diambil penyihir untuk dimasukan sekolah sihir Horgward, Mel. Lihat! Dia mirip dengan Harry Potter.” kata salah satu teman Amel sambil memperlihatkan hasil foto bidikannya pada teman-temannya sambil terkikik.
“Iya. Ganteng dan menggemaskan.” sahut anak lain dengan lagak sok unyu.
“Ibunya bule ya?”
"Enggak. Ibunya orang lokal tapi bola matanya memang biru. Nggak tahu tuh. Aneh." jawab Amel cuek.
Mereka tak menyadari orang yang mereka bicarakan ada di belakang kursi taman yang mereka duduki. Ritha geram, namun ia mencoba bersikap bijak sebagai orang dewasa. Menghadapi anak-anak tidak boleh dengan emosi.
“Matanya biru dan bersinar tajam. Kayak ada aura-aura mistisnya.”
“Kalau sudah besar dia pasti jadi penyihir.”
“Paling tidak, cewek-cewek kayak kita bakal kena sihir karena dia ganteng banget.” Anak perempuan sok unyu yang rambutnya dicurly hanya di sisi dekat telinga ala-ala artis korea itu terlihat semringah. Sepertinya ia memang terhipnotis oleh pesona putera semata wayangnya.
Hahaha. Amel dan teman-temannya tertawa.
"Apa yang kalian lakukan pada anak Tante itu termasuk bullying. Tante akan laporkan kalian pada guru dan kepala sekolah kalian."
Kelima anak perempuan itu menoleh ke arahnya.
"Maaf, Tante! Kami tidak bermaksud seperti itu."
"Kami hanya gemas melihat anak tante yang mirip Harry Potter."
Ritha menggelengkan kepalanya. Entah apa yang harus dilakukan Ritha. Teman-teman Amel itu sebenarnya mengagumi Faiz dengan caranya yang salah. Ritha hanya bisa memperingatkan mereka saja agar tak melakukan hal serupa karena yang dilakukannya termasuk kategori perundungan terhadap anak kecil. Semua teman Amel menyadari kesalahannya dan minta maaf pada saat itu juga. Namun Faiz terlanjur marah besar. Ia tidak mau masuk sekolah lagi karena peristiwa itu. Tak ada yang mampu membujuknya. Sekalipun guru dan teman-temannya datang membujuknya ke rumah, Faiz tetap tidak mau ke sekolah lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
lady El
apakah itu yg dnmakan introvert?
2022-02-17
1