Ritha dengan ditemani Lily menjemput Faiz di asramanya. Sementara Asep menjamu Bas dengan kopi racikan terbarunya sambil mengawasi anak-anak yang bermain di sekitar rumah mereka. Ritha tak bicara Panjang lebar dengan papa dan mamanya sebagai pengelola Lembaga Pendidikan berbasis boarding school islami itu. Semuanya sudah disampaikan papa via telepon.
“Maaf ya, Kak. Menurut papa ini keputusan yang terbaik buat santri di sini dan kehidupan cucu papa sendiri. Tidak semua anak cerdas seperti Faiz. Kami khawatir kalau yang ditiru dari faiz hanya hobi game online dan kebiasaan bolos sekolahnya. Kehidupan pesantren bakal kacau.”
“Ritha paham, Pa.” Ritha menjawab dengan yakin meski ia belum tahu apa yang akan dilakukannya untuk mendidik anak remajanya yang pendiam dan sepertinya berbakat psikopat.
Papa menyerahkan berkas-berkas untuk kepindahan sekolah Faiz, berikut surat rekomendasi yang menjelaskan prestasi apa saja yang pernah diraih anak itu agar tak kesulitan diterima di sekolah barunya nanti. Semua telah dipersiapkan papa dan pihak Lembaga Pendidikan dengan baik. Ritha tahu mereka pasti akan kehilangan Faiz. Anak jago bolos itu turut berkontribusi besar dalam pencapaian akreditasi sekolah. Dia pernah menjuarai olimpiade
matematika, juara pemrograman game online tingkat sekolah menengah dan timnya pernah jadi juara umum lomba memanah tingkat provinsi Jawa Barat. Kalau saja game online tidak membuatnya kecanduan, seharusnya ia masuk karantina untuk olimpiade fisika tingkat nasional bulan lalu. Sayang sekali, anak itu menolak karantina untuk olimpiade fisika dan memilih menjadi pemain game bayaran. Sungguh miris, namun itulah kenyataan dari sebuah pilihan anak remaja tanggung yang harus dihadapi.
“Dia tetap cucu papa yang membanggakan.”
Ritha mengangguk.
“Jangan marahi dia!”
Ritha Kembali mengangguk.
“Peluk dan beri perhatian lebih. Mungkin saat ini dia sangat membutuhkan itu, Kak. Bicara pelan-pelan dengan logika, sebab anak itu memiliki bakat kecerdasan yang luar biasa.”
“Terima kasih banyak, Pa! Ritha bersyukur memiliki papa yang luar biasa. Faiz tetap bersekolah sampai saat ini tidak lain berkat bujukan papa. Ritha akan selalu ingat pesan papa. Sebagai ibu Ritha memang harus lebih
perhatian pada anak-anak. Jadwal ke kantor Ritha sekarang hanya seminggu 2 kali dengan waktu maksimal 4 jam. Sudah ada asisten yang bisa dipercaya untuk mengurus urusan pekerjaan yang selama ini Ritha tangani.”
Kini papa yang mengangguk, tersenyum bijak dan menepuk pundak putri sulungnya agar menambah keyakinan putrinya bahwa ia mampu mendidik anak dengan lebih baik. Semboyan papa yang tak pernah Ritha lupa, ibu adalah guru terbaik buat putranya.
Papa mengantarnya ke kamar Faiz, sebuah ruangan asrama yang ditempatinya sendirian tanpa teman. Sebelumnya Faiz sekamar dengan Azka -anak Lily- yang tak lain adalah sepupunya. Dua tahun terakhir ia meminta kamar sendiri dan dia menolak ikut kegiatan selain yang berhubungan dengan teknologi informasi. Ekstrakulikuler wajib seperti renang, silat, memanah dan berkuda pun akhir-akhir ini Faiz sering mangkir. Sejak awal Faiz tak suka berkebun, beternak dan memancing seperti anak-anak Lily. Sejak mereka mulai memiliki kegemaran dan minat yang berbeda, mereka jarang sekali berkomunikasi dan bermain bersama karena sibuk dengan kegiatannya masing-masing yang waktunya tidak klop. Faiz dan sepupunya hanya bergabung saat bermain sepakbola saja. Hubungan mereka menjadi semakin berjarak sebenarnya bukan hanya karena hobi yang berbeda, melainkan karena tidak berada di kelas yang sama dengan Azka, putera sulung Lily. Dengan kecerdasannya, Faiz berhasil mengikuti program akselerasi hingga dapat lompat ke kelas di atasnya. Saat ini Faiz sudah masuk kelas 10, sementara Aksa masih di bangku kelas 9 yang setara dengan kelas 3 SMP. Di lingkungan sekolahnya yang setara SMU, Faiz tak berteman akrab dengan siapapun. Cenderung pendiam dan penyendiri. Sementara teman-temannya meskipun baik dan menghormatinya, namun berani mendekat karena sungkan. Apalagi alasannya kalau bukan karena Faiz anak istimewa. Ayahnya penggagas dan donatur terbesar pesantren itu. Kakeknya pengelola lembaga pendidikan yang disegani.
Ritha mengangkat bahu dengan kecewa melihat tulisan yang tergantung di pintu kamar puteranya. “Don’t Distrub me,” begitu bunyinya.
Bapak pengasuh asrama tergopoh-gopoh menghampiri mereka.
“Maaf, pak Umar! Faiz tadi pesan tidak mau diganggu sampai jam 9. Sedang ikut turnamen game online katanya.”
Ritha melirik jam tangan Casio yang bertahtakan berlian 5 karat yang melingkar di ujung lengannya. Masih 30 menit lagi menuju jam 9.
“Saya ibunya, Pak. Boleh saya masuk sebentar? Saya janji tidak akan mengganggu turnamennya.”
Bapak pengasuh asrama mengangguk. Pak Umar menepuk-nepuk bahu pria berkopiah putih dengan janggut tipis itu sembari tersenyum bijak. Mereka sama-sama tahu bahwa yang terbaik adalah membiarkan ibunya mengetahui sendiri aktivitas anaknya. Toh hari ini sudah ada peralihan tanggung jawab karena Faiz resmi keluar dari sekolah dan pesantren itu.
Semua menunggu di luar. Hanya Ritha yang diperkenankan masuk ke kamar puteranya.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.” Faiz menjawab dengan suara lirih, nyaris tak terdengar.
Ritha berjalan mendekat. Ia duduk di atas ranjang puteranya yang masih tekun duduk di kursi belajarnya di hadapan layar besar komputernya. Di telinganya terpasang headset canggih. Entahlah. Meski terpasang headset, rupanya Faiz masih mendengar suara salamnya. Buktinya ia menjawab salam meski dengan suara yang lirih.
Suara di kamar itu riuh, persis seperti berada di medan pertempuran yang sebenarnya. Dentuman senjata, desing peluru, bangunan roboh, dan teriakan pemain sahut-sahutan memekikan telinga. Api yang tercipta dari kebakaran bangunan-bangunan maya itu pun tampak nyata. Mengagetkan. Ritha panik karena merasa api itu siap membakar layar komputer yang berada di depan puteranya. Padahal tidak. Ternyata itu hanya efek yang terlihat seperti nyata.
Ritha diam menunggu sambil memperhatikan permainan apa yang sedang digandrungi puteranya hingga menyebabkan dunianya oleng.
“Tembak.”
“Keluarin bomnya. Cepetan!”
“Jangan ngumpet lo, baby F. Cemen lo.”
“Anjing… kenapa dia muncul tiba-tiba. Awas lo, Baby F. Gue punya masih punya meteor.” Suara ancaman yang keluar dari pemain lawan yang entah siapa dan berada di mana.
Kalimat-kalimat hardikan, perintah, dan cacian saling sahut menyahut tanpa jeda. Terdengar sangat kasar. Bukan kalimat yang pantas didengarkan oleh orang normal. Emosi Ritha nyaris terbakar.
“Tembak lagi. Rampas hartanya. Bunuh! Cepat!"
"Langsung tembak baby F."
"Ayo. Lebih cepat! Tambah power kecepatannya!"
"Hati-hati. Musuh mendekat. Musuh mendekat dari kiri. Lari ....”
“Ayo baby F. You’re the winner. You’re the winner.” Ada juga suara cempreng anak perempuan yang sepertinya menjadi pendukung salah satu pihak. Ritha kira perempuan itu semacam pom pom girl di pertandingan basket yang tugasnya memberi semangat pada pemain.
"Lari! Sembunyi!"
“Nyerah lo! Nyerah lo! Darah lo dah mau abis.”
“Bentar lagi nggak usah ditembak juga lo mati keabisan darah, Njir. Hahaha”
Ya Tuhan, Baru beberapa menit saja berada di kamar putera sulungnya Ritha hampir pingsan. Kepalanya pusing mendengar dentuman-dentuman senjata dan suara desing peluru yang terdengar nyata seperti di medan pertempuran yang sebenarnya. Sungguh sangat mengerikan. Belum lagi teriakan, sumpah serapah dan kata-kata kasar yang terdengar riuh bersahut-sahutan.
Faiz tak terdengar bersuara sama sekali. Ekspresinya datar. Sepertinya dia sedang berkonsentrasi penuh memenangi pertandingan.
Ritha tak tahu apakah bila tidak ada dirinya di sini Faiz akan mengeluarkan sumpah serapah, ejekan atau kata-kata kasar yang memprovokasi lawan atau tidak. Bila iya, Ritha sangat prihatin. Butuh kerja ekstra keras untuk mencuci otak anaknya agar sadar bagaimana harus berperilaku. Pelajaran adab di pesantren yang telah bertahun-tahun dilatih terasa sia-sia. Yang jelas, sekarang Ritha tak betah berada di kamar puteranya yang kacaunya mirip dengan suasana di medan perang. Pikirannya kacau terdestruksi oleh suasana virtual yang membangkitkan emosi. Sementara yang terbayangkan dalam benaknya adalah darah, bau anyir, dan mayat-mayat yang bergelimpangan karena sabetan pedang atau terkena senjata lawan. Benar-benar mengerikan. Harusnya ada palang merah yang membantu prajurit-prajurit virtual yang sedang berperang itu. Ritha trenyuh karena terbawa suasana permainan game online yang tampak begitu nyata.
Sepuluh menit saja ia mampu bertahan menemani puteranya di dalam kamar itu. Tubuhnya terasa lemas, tak kuasa lagi mendengar teriakan-teriakan dan dentuman keras itu. Menurutnya permainan virtual itu tak beradab.
“Bunda keluar ya, Iz. Bunda tunggu di rumah bibi Lily. Bunda ke sini diantar pakde Bas. Beliau tidak bisa menunggu kita terlalu lama.”
Faiz mengangguk tanpa ekspresi. Seluruh konsentrasinya masih terfokus pada upaya keras bagaimana memenangkan pertandingan itu.
Baiklah. Ritha hanya mau tahu permainan apa yang membuat hidup anaknya jadi oleng karena kecanduan sebuah permainan yang dimainkan secara online. Ternyata itu adalah permainan perang-perangan yang sangat mengerikan. Seperti nyata dan penuh kekerasan. Seharusnya permainan semacam itu tidak dimainkan oleh remaja tanggung seusia Faiz. Sepatutnya permainan macam itu diciptakan untuk simulasi perang para prajurit militer, bukan untuk khalayak umum. Bagi Ritha permainan itu terlalu sadis. Tidak mendidik. Permainan itu telah merusak mental anaknya hingga terpaksa dikeluarkan dari sekolah oleh kakeknya sendiri. Miris.
________
Updatenya dibagi 2 pagi dan sore aja seperti menyiram bunga⚘⚘⚘🌻🌻🌻 soalnya kalau update 2 episode berbarengan reader suka lupa tidak like episode yang awal🤭 hihihi....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
Retno Dwi
mantap
2022-02-02
1
Wenny
cantiik.. jadilah ibu yg bijak 💪
2022-01-08
3
Ummi Fatihah
lanjut Thor....😘
2022-01-08
1