Suara denting sendok yang beradu dengan piring sesekali terdengar di sela saling tatap antar anggota keluarga. Sambil menikmati makan siang sesuap demi sesuap, mereka menikmati momen langka ini dengan hati yang gembira. Mereka tak banyak bicara saat bersantap karena memang Satya tak suka ada kegaduhan saat menikmati anugerah Tuhan berupa makanan yang lezat. Semua harus konsentrasi makan sampai di piring tak ada lagi sisa makanan. Pembicaraan biasanya berlangsung sebelum atau sesudah ritual makan. Itu kebiasaan keluarga Satya yang sejak awal ditanamkan secara berkesinambungan. Siapa yang sudah menyelesaikan makannya boleh memulai percakapan setelah menangkupkan sendok dan garpu di atas piring tanda makan telah usai.
“Kamu serius mau home schooling, Iz? Bibi kan ke Jakarta buat menemani kamu sekolah, kenapa kamunya malah milih home schooling?”
“Iya. Bosan tahu home schooling. Emang kak Faiz mau terkurung di rumah terus kayak burungnya pak Tri yang nggak pernah dikeluarin dari sangkarnya.” komentar Faiza dengan mulut yang masih berisi makanan.
Ritha menoleh ke arah Faiza. Anak itu langsung tertunduk malu karena menyadari kesalahannya. Dia buru-buru mengambil air bening lalu menelan semua makanannya seketika. Setelah itu ia menangkupkan sendok dan garpu di atas piring tanda makannya usai.
“Habiskan dulu makannya sampai bersih, Za. Jangan ada sisa. Kita tidak tahu makanan yang mana yang ada barokahnya buat kita.” tegur Ritha karena melihat puterinya menyudahi makan siangnya demi bisa bercakap-cakap.
Faiza kembali mengambil kembali sendok dan garpunya dengan kedua tangannya. Ia melanjutkan makan makanan yang tersisa di piring perlahan. Tinggal sedikit. Wajahnya terlihat kecewa sebab orang tuanya tak pernah memberi toleransi. Semua makanan yang telah diambil harus dihabiskan, kecuali ada yang salah dengan makanan itu. Hari ini ia tak punya alasan. Semua hidangan yang dimasak mbak Imah dan bundanya enak. Tak mungkin dibilang makanannya keasinan, pahit, apalagi mengandung racun.
Setelah menangkupkan sendok dan garpu, Faiz mengambil air bening dan makan anggur yang tersaji di atas meja. Begitupun ayahnya.
“Kita sekolah sama-sama ya, Is. Di sekolah biasa dekat-dekat sini aja biar waktunya nggak banyak habis di jalan. Kalau sekolah umum biasa kan jam belajarnya cuma sampai jam 1 siang. Nggak wajib banget ikut ekstra-kulikuler juga. Agak santai. Kamu kan bisa ngerjain proyek kamu sepulang dari sekolah.” Biru masih berusaha membujuknya.
Ritha senang. Adik iparnya itu memang bisa diandalkan. Tidak rugi membawanya serta tinggal bersamanya. Benar-benar bisa mendukung pemikirannya.
“Nggak bisa, Bi. Aku sudah kontrak dengan tim TRC akan jadi bagian tim mereka dalam kompetisi universe war legend tingkat internasional.”
Ritha terkejut. Ia memandang Faiz lalu beralih menatap suaminya dengan tatapan heran. Apa iya ada kontrak resmi pemain profesional bisa ditandatangani anak di bawah umur tanpa persetujuan orang tua atau walinya?
“Kontrak apaan, Iz?”
“Kontrak kerja jadi Pro-player, Bun.” jawab Faiz yakin dan percaya diri.
“Kontrak kerja? Emang ada Lembaga atau orang yang mempekerjakan anak di bawah umur? Bisa dipidana dengan pasal eksploitasi anak lo itu. Kamu masih 15 tahun, Iz. Belum punya KTP.” Ritha tak bisa lagi menahan diri untuk komplain.
Bagaimana mungkin anak seumur Faiz bisa dikontrak jadi pemain game professional tanpa ijin orang tua? Ini pasti tidak benar. Bisa jadi sebenarnya Faiz ditipu tapi belum menyadarinya karena anak itu belum tahu bagaimana kontrak kerja yang berkekuatan hukum harus mempekerjakan orang sesuai dengan ketentuan hukum dan perundangan tenaga kerja. Apalagi ia menyebutkan ada kata profesional di dalamnya.
Faiz berhenti mengambil anggur dan minum segelas air bening lagi. Remaja tanggung itu berdiri bersiap meninggalkan meja makan. Sama sekali tak peduli komentar ibunya.
“Faiz mau siap-siap sholat dzuhur.” alibinya. Ritha tahu ia hanya ingin menghindari percakapan itu walaupun memang kenyataannya azan dzuhur sudah berkumandang. Sengaja atau tidak, anak itu nyata-nyata telah memperhitungkan waktu agar tak ada percakapan panjang di meja makan. Sengaja menentukan waktu makan mepet dengan jadwal shalat dzuhur. Dia amat licik tapi terstruktur.
“Ayah tunggu ya. Kita berangkat sama-sama shalat jamaah di masjid.” pesan Satya diikuti anggukan ringan puteranya.
Dengan gerakan cepat Faiz kembali ke kamarnya untuk mengambil sarung, sajadah dan berwudhu sebelum pergi ke masjid kompleks bersama ayahnya. Anak itu pasti sengaja menghindar. Ritha jadi senewen dengan sikap anak sulungnya itu. Rasanya ingin menjewer kupingnya sampai dia kesakitan dan bilang minta ampun.
“Mas harus urus masalah Faiz ya. Cari tahu kontraknya, apa benar dia sudah berkontrak resmi jadi pro-player tim itu. Sudahlah sekolahnya berantakan gara-gara game online. Jangan sampai dia dibohongi orang juga. Hidupnya bakal makin kacau."
Ritha masih tersungut, sementara Satya menanggapinya dengan senyum santai. Ritha jadi semakin emosi dengan respon suaminya yang terlihat biasa saja seolah masalah itu tak akan berdampak apa pun pada masa depan anaknya.
“Jangan cemas, Bunda cantik. Anak itu harus diberi kepercayaan dan didukung.”
“Wajar aku mengkhawatirkan anakku, Mas. Di luar sana banyak kasus anak-anak yang hidupnya jadi berantakan gara-gara kecanduan game online. Walaupun kadar bahayanya masih dibawah narkoba, tapi game online itu merusak moral anak. Aku lihat sendiri bagaimana permainan itu tadi pagi di kamarnya. Sadis, mengerikan dan omongan pemainnya kasar-kasar. Aku nggak mau Faiz terpengaruh terlalu jauh. Bahaya, Mas. Bahaya.” Ritha ingin menutup wajahnya saking tak kuat membayangkan permainan perang-perangan virtual yang sadis dan mengerikan itu.
Permainan itu penuh kekerasan verbal dan visual. Sama sekali tak layak jadi permainan anak-anak seusia Faiz, apalagi dijadikan kompetisi. Sungguh. Ritha tak bisa membayangkan kalau akhirnya anaknya terbiasa dengan kata-kata kasar dan bertindak sadis. Hilang sudah adab yang selama ini ditanamkan di rumah dan pesantren. Ritha sangat khawatir kebiasaannya di dunia maya berimbas pula pada kehidupan nyata. Ia tak mau anaknya jadi preman yang pemarah dan suka berkata kasar.
Tidak. Oh… tidak. Mendengar omongan Bas saja sudah membuatnya sakit kepala. Apalagi darah dagingnya sendiri yang mengucapkan kata-kata kasar dan sumpah serapah seperti yang didengarnya saat Faiz main game perang-perangan tadi pagi. Ia harus mencegah kemungkinan terburuk sebagai dampak permainan game itu . Jangan sampai terjadi. Ritha ingin Faiz tetap menjadi anak manis yang sopan dan beradab.
“Semoga tidak terjadi hal buruk pada anak kita.” Satya masih saja tersenyum santai.
Ritha melotot kesal melihat Satya begitu santai menanggapi pendapatnya. Ini masalah berat. Masalah permainan sadis dan penuh kekerasan yang mungkin berimbas pada Kesehatan mental dan psikologis anak. Bagaimana Satya bisa mengabaikan itu. Apa dia belum tahu permainan macam apa yang dimainkan anak sulungnya.
“Sabar, Cantik. Aku berangkat ke masjid dulu ya. Kamu bantu doa buat Faiz dong. Dia masih ingat sholat jamaah lo. Artinya kamu tidak perlu secemas itu. Ingat ceramah ustadz Ahmad tempo hari, perkataan seorang ibu pada anaknya itu mudah terkabul, apalagi doa. Jadi, jangan berpikir yang buruk pada anak kita.” pesan satya santai sebelum pergi mendampingi anaknya shalat berjamaah di masjid kompleks.
Ritha mengelus dada, “Astagfirullah hal adzim. Please, jangan cemaskan anakmu, Ritha. Berpikir yang baik-baik saja. Masa depan tidak ada yang tahu, kecuali Yang Maha Kuasa. Bukankah lebih baik berdoa agar Tuhan melindungi anaknya?”
Setelah Satya berlalu, Biru menghampiri Ritha yang masih saja duduk di kursi makan. Kepalanya terasa berat. Ritha belum beranjak dari tempat duduknya. Sementara Biru telah selesai membantu mbak Imah membereskan meja makan dan mencuci piring. Anak itu lumayan cekatan dan ringan tangan.
“Jangan kecewa dulu, Kak. Kita coba ngobrol dan ngobrol lagi sama Faiz supaya tahu proyeknya itu sebenarnya seperti apa sih. Faiz itu nggak bisa dipaksa. Kita mesti ikuti dulu apa maunya. Kadang pemikirannya itu susah kita cerna karena dia itu anak pintar. Dia seorang visioner. Nanti Biru coba dekati pelan-pelan.” Biru malah menghibur Ritha dengan senyum dan keyakinannya bahwa Faiz bukan anak bermasalah.
Biru benar. Sebaiknya Ritha menenangkan diri. Hari ini rasanya kepalanya sudah mau meledak. Berat tak terkira.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
cengar cengir
semoga Satya benar.
2022-01-19
1
cengar cengir
semoga Satya benar.
2022-01-19
1
cengar cengir
semoga Satya benar.
2022-01-19
1