Malam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Sudah hampir menuju tengah malam. Suasana cafe Monix masih lumayan ramai. Mengingat hari ini adalah malam Minggu, malam panjang buat anak muda bersuka cita. Fanya pun masih stay di atas panggung. Jeda sejenak menanti request dari para pengunjung. Fanya menyadari bahwa suaranya tidak terlalu bagus dan wajahnya pas-pasan, jadi sebisa mungkin menciptakan hiburan yang membuat pengunjung nyaman dan menikmati penampilannya. Ia akan selalu mengabulkan permintaan lagu apapun asalkan dia bisa menyanyikannya alias hafal.
Waktu sudah menunjukkan pukul 1 dini hari. Fanya pamit pada Marina untuk pulang. Sebenarnya Marina berat hati untuk mengizinkan Fanya pulang, mengingat suasana cafe yang masih lumayan ramai. Namun karena sudah menjelang pagi, jadi tak ada pilihan lain selain mengiyakan permintaan Fanya untuk pulang.
“Yasudah, kamu boleh pulang. Lekas istirahat ya. Biar besok kamu tetap fit. Hari Minggu juga pasti nggak kalah ramai dari hari ini.” kata Marina.
“Siap Miss Marina. Fanya pamit yah!” seru Fanya girang karena segera pulang.
“Eits, kamu bawa motor? Apa mau bareng Aldi aja? Biar dia pulang aja deh sekalian anter kamu juga. Kalian searah kan ya?”
“Enggak usah Miss Marina. Aku mau pesan ojol aja deh. Kalo malam Minggu nggak susah order ojol. Lagian nggak enak sama pacarnya Aldi.” jawab Fanya sambal menahan tawa.
“Pacarnya Aldi? Bonita?”
“Nah iya. Miss Marina tau itu. Nanti kalo ada perang dunia lagi, Fanya deh yang kena getahnya. Ogah deh…” seru Fanya yang membuat Marina tertawa.
Marina melambaikan salam perpisahan pada karyawannya. Fanya yang menurutnya sudah seperti adiknya itu, dirasa sangat mengerti apa keinginannya. Mudah diarahkan dan tidak banyak menuntut. Bahkan Marina sering memberinya hadiah. Bukan semata sebagai apresiasi pekerjaan, melainkan sebagai tanda sayang selayaknya keluarga. Fanya tak tau itu. Marina tak pernah menunjukkan secara terang-terangan kekagumannya pada Fanya.
Fanya sudah berada di depan cafe. Kemudian tangannya sibuk mengutak-atik aplikasi order ojol di ponselnya. Beberapa kali pemesanannya gagal dan gagal lagi. Wajahnya mulai menunjukkan gusar dan cemas. Beberapa kali ia menguap tanda mengantuk. Lima belas menit pun berlalu dengan sia-sia. Tak ada ojol yang menerima orderan Fanya. Ingin rasanya Fanya menangis kesal, tapi ditahannya dalam-dalam.
“Ayo aku antar pulang!” tawar seorang pria yang suaranya sangat familiar di telinga Fanya
“Hah?” Fanya heran tanpa menolak atau mengiyakan tawaran itu.
“Naiklah!” ajak pria itu tegas.
Ya, pria itu adalah Sakti. Pria tampan yang notabene sering menampakkan dirinya di depan Fanya untuk kesekian kali. Entah disengaja atau tidak, bagi Fanya itu adlah tanda tanya besar yang sulit ditemukan jawabnya. Tapi tidak bagi Sakti. Pertemuannya dengan Fanya adalah anugrah terindah yang pernah ia rasakan.
“Ayo!” ajaknya lagi sambal menyodorkan jaket kulit pada Fanya.
“Ah iya!” Fanya menerima jaket itu dan memakainya.
“Ayo!” Keduanya sudah siap di atas motor, Sakti menarik tangan Fanya agar memeluknya.
“Pegangan yang kuat ya Sayang.” ucap Sakti seraya menautkan jari tangan Fanya untuk mengunci tubuhnya.
Sakti tersenyum bangga saat Fanya sudah sempurna memeluknya. Sesekali tangan kirinya ikut bergabung menggenggam lembut tangan Fanya yang kedinginan. Sementara tangan lainnya fokus mengemudi. Udara malam menjelang pagi itu, lumayan dingin untuk dilalui dengan berkendara motor.
“Udaranya sangat dingin. Tolong peluk lebih erat lagi.” Fanya menurut saja, meski pikirannya sebenarnya menolak.
“Kenapa nggak ngebut? Kan lagi sepi.” Fanya protes.
“Ah tidak perlu. Biar malam ini semakin panjang. Akan lebih banyak waktu yang bisa kita lalui bersama. Momen kebersamaan ini sangat disayangkan jika dilalui dalam waktu sekejap. Aku ingin lebih lama menghabiskan waktuku bersamamu.”
Fanya mendadak canggung. Tapi untunglah Sakti tidak menatapnya karena harus mengemudi. Coba saja kalo Sakti melihatnya, pasti Fanya akan bertambah malu.
“Sudah sampai. Padahal masih ingin berlama-lama denganmu.” Sakti berkata jujur.
“Makasih banyak atas tumpanganmu. Seharusnya bukan kamu yang mengantarku. Tapi…”
“Maksudmu kamu mau dianter sama abang ojek? Lebih nyaman meluk abang ojek daripada pacar sendiri? Kamu nggak lupa kan, sejak kemaren kan kamu sudah official jadi pacarku?”
Jeder. Fanya kaget mendengar petanyaan yang mengandung penegasan dari Sakti. Entahlah, Fanya bingung mau bersikap seperti apa.
“Jadi yang kemaren itu bukan sekedar candaan ya? Itu serius ya?”
“Fanya Asmara, aku tegaskan sekali lagi. Mulai sekarang kita sudah jadi sepasang kekasih ya. Aku nggak mau ada penolakan.”
“Kok gitu? Aku bahkan belum menaruh perasaan apa-apa denganmu. Iya, kamu ganteng dan sesuai tipe aku. Tapi…” Fanya bingung sendiri menjawabnya.
“Kan mengakui kalo aku ganteng dan sesuai tipe kamu. Berarti yaudah ya, fiks kita bisa berbagi suka dan duka bersama.”
“Kan aku belum jawab iya. Kok jadi maksa sih. Ih kesel.” protes Fanya.
Fanya dan Sakti berdebat kecil mengenai hubungan mereka. Tak disangka mereka ditegor oleh bapak-bapak yang sedang roda keliling.
“Neng Fanya ya? Malem-malem begini masih di luar aja ya? Buruan masuk Neng! Dan ini Abang kalo mau niat anterin Neng Fanya, yasudah pulang aja. Kan udah sampe lokasi yah. Apa belum dikasih tips sama Neng Fanya?” sindir halus salah satu diantara bapak-bapak itu.
“Ah maaf Pak. Sebentar lagi saya pamit kok. Saya hanya mau menyampaikan sesuatu yang penting dulu sama pacar saya ini.” ucap Sakti sopan.
“Yasudah, jangan lama-lama ya. Nggak enak dilihat orang-orang.”
“Baik Pak. Terima kasih nasehatnya.”
“Kan, akhirnya ditegor juga sama pak RT. Kamu sih. Yaudah, aku mau masuk. Kamu pulang gih! Besok bukannya kamu mau ke luar kota ya?”
“Kok kamu tau?”
“Tau dari pengagum rahasiamu.”
“Siapa?”
“Miss Marina.”
“Oh Marina. Dia teman SMA aku dulu. Kamu gapapa kalo dia jadi pengagum rahasiaku? Kamu nggak cemburu?”
“Ya enggaklah! Cemburu dari segi apa? Aku kan nggak ada perasaan apa-apa sama kamu.”
“Yakin?”
“Ya… kin.” jawab Fanya tidak dengan penuh keyakinan.
***
Fanya merapikan kamar kostannya. Seharusnya masih banyak waktu untuk rebahan sebelum nanti sore ia tampil lagi di cafe Monix. Tapi rasa kantuknya hilang begitu saja setelah mendapat berondong pesan dan miscall dari mantan pacarnya yang minta balikan.
Beberapa bulan yang lalu, Fanya memang menjalin hubungan dengan seorang pria. Kira-kira selama satu tahun lebih mereka berpacaran. Seringnya menjalani LDR, membuat hubungan pacaran itu retak dan memilih berpisah. Terlebih lagi, ada indikasi perjodohan dari orang tua mantannya Fanya. Dengan berat hati, Fanya memilih untuk mengakhiri hubungan percintaan mereka. Sebelum Fanya menaruh rasa cintanya semakin besar.
Kini, Fanya sudah sepenuhnya melupakan mantannya itu. Tidak ada rasa yang tertinggal di hatinya untuk mantannya itu. Semua akses sudah ia blokir untuk mantannya. Hanya saja, mantannya sering menggunakan nomor lain untuk menghubunginya. Hal ini membuat Fanya jengah dan kesal.
“Padahal sudah berkali-kali aku menghindari pria ini. Masih saja seperti ini. Aku juga sudah membatasi akses untuknya, tapi tetap saja! Tapi aku sudah tak ingin lagi berurusan dengannya. Bagaimana ini ya? Apa yang harus aku lakukan? Apakah ada cara terbaik untuk menyingkirkannya? Yah, tentu bukan maksudku melenyapkannya dari muka bumi ini.” Fanya berpikir keras.
“Ah…” Fanya menemukan ide brilian.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments