Angin sore tergerak sopan. Sayup lembut menyibak dedaunan yang gugur di tanah. Cuaca yang cerah tanpa adanya sang hujan, melengkapi suasana itu. Muda dan mudi bersantai di bangku-bangku yang tersusun di sepanjang pinggir jalan setapak.
Fanya memilih duduk di sebuah bangku yang didekatnya ditumbuhi bunga melati. Setelah memikirkan cara terbaik untuk menghindari mantan pacarnya, Fanya memutuskan untuk menemui seseorang yang lebih dulu mendeklarasikan dirinya sebagai pacar.
Fanya berharap ia tak akan lagi berurusan dengan seseorang yang telah lama ingin dihindari. Mantan pacar. Sederhana menyebut sebagai mantan pacar. Tapi sepertinya untuk menghindarinya tidak sesederhana itu. Butuh segala cara dan upaya untuk menghadapi sekaligus melenyapkan.
Menghadapi kenyataan bahwa sudah tak ada lagi rasa. Sudah tak ada apapun perasaan yang tersisa untuk dimiliki. Melenyapkan segala lara yang pernah singgah, meski sudah tak lagi terasa. Membatasi segala bentuk kontak komunikasi ataupun kontak fisik.
"Sudah lama menunggu?" tanya seseorang yang membuyarkan lamunan Fanya.
"Ah iya. Baru setengah jam aku menunggumu. Duduklah Mas."
'Dia bahkan menyebutku 'Mas'? Ada apa ini? Ini sebagai rasa penghormatan terhadapku karena dianggap sebagai kakak laki-laki? Atau aebagai perghargaan terhadapku karena dianggap sebagai kekasih hati?' batin Sakti penuh pertanyaan.
Sakti pun duduk di seberang Fanya. Menatap lurus gadis di depannya yang terlihat canggung dan bingung.
"Ada apa Sayang?" tanya Sakti penuh selidik.
"Ah tidak. Hanya saja, aku setuju untuk menjadi pacar official-mu! Itupun jika tawaranmu masih berlaku." jawab Fanya mantap.
Sakti tertawa gemas dengan deklarasi persetujuan cinta dari Fanya. Fanya pun menatapnya kesal, sehingga Sakti menghentikan tawanya.
"Maaf. Tapi yang tadi itu lucu. Aku kan nggak butuh penolakan darimu. Sudah pasti dari semenjak aku tawarkan hubungan kita sebagai kekasih alias pacar, ya saat itulah kau sudah resmi jadi pacar official-ku. Apa ada perjanjian cinta lagi setelah ini? Ayolah, hidup ini sudah sulit. Jangan dipersulit lagi. Permudahlah dengan kebahagiaan!" Fanya menggeleng pelan.
"Tidak ada perjanjian cinta, Mas. Aku hanya butuh menfaat atas hubungan kita ini. Sejujurnya..."
"Iya? Katakan saja!"
Fanya meremas roknya. Susah sekali untuk memulai pembicaraan mengenai mantan pacarnya.
"Mas punya mantan pacar bukan?" dan langsung diangguki Sakti.
"So what?" tanya Sakti.
"Nah itu maksudku. Aku juga punya mantan pacar. Jadi..." Sakti menatap Fanya penuh keseriusan.
"Jadi maksudku, tolong bantu aku untuk menghadapi mantan pacarku yang senantiasa menggangguku!" jelas Fanya dengan keras.Seketika beberapa pasang mata tertuju pada dua orang ini.
"Oke. Aku akan mengatasi semua permasalahan di hidupmu. Masalah apapun yang mengganggumu akan aku coba selesaikan. Lalu, apa yang sudah dia perbuat? Perlukah hukum bertindak juga?"
"Tidak separah itu. Hanya saja aku ingin membentengi diriku saja. Dengan aku berpacaran dati orang lain, kemungkinan besar dia akan menjauhiku. Mengingat dia juga sudah punya tunangan. Yah meski tunangan yang dijodohkan orang tuanya."
"Fanya, tak apa jika kamu belum bisa sepenuhnya menganggapku sebagai pacarmu. Tapi berusahalah menjadi orang terdekatku. Tempat ternyaman untuk aku peluk. Bunga yang cantik untuk aku lihat. Itu saja sebisamu." Fanya mengangguk.
"Baiklah, ayo aku antar pulang. Aku harus bergegas ke luar kota sehabis isya nanti." ajak Sakti yang sudah berdiri.
"Bukannya kemaren sudah ya? Nanti malam lagi?" tanya Fanya.
"Iya. Karena biaya pesta pernikahan mahal, jadi harus banyak menabung mulai dari sekarang. Selagi masih bisa, ya harus kerja keras dong. Mau dikasih makan apa nanti calonku?" jawab Sakti.
"Loh, kalo Mas sudah ada calon, kenapa harus repot-repot menjadikanku pacar? Kan nggak adil buat calonnya. Batalin aja deh kesepakatan kita tadi. Aku bukan perusak hubungan orang lain." Fanya kesal. Kembali duduk di bangkunya.
Sakti tersenyum melihat Fanya yang sudah cemberut. Kemudian memeluk gadis itu dengan lembut.
"Eh, kenapa memeluk orang sembarangan? Pergi sana!" Fanya mencoba menjauhkan dirinya dari Sakti. Tapi nyatanya gagal. Tenaganya kalah jauh.
"Sesuatu yang belum pasti, aku anggap sebagai calon. Termasuk istri. Karena aku belum memilikinya, otomatis aku menyebutnya sebagai calon. Dan, karena kamu sekarang sudah menjadi pacarku, bukankah kamu bisa dinamakan sebagai calonku? Calon istriku..."
DEG. Bahkan hati Fanya yang terdalampun berlonjak kegirangan atas ucapan Sakti.
"Kalian?" Fanya segera melepaskan dirinya dari pelukan Sakti yang menghangatkannya.
"Miss Marina sedang jalan-jalan juga?" tanya Fanya salah tingkah tapi masih berlaku sopan.
"Oh jadi kalian sedang jalan-jalan? Aku nggak habis fikir yah, kamu minta izin menyanyi hanya untuk berpacaran seperti ini? Itupun harus merebut pacar kesayanganku?"
"Bukan begitu Miss..."
"Sudahlah Fanya. Aku sudah tau semua akal busukmu. Tega sekali merebut orang yang aku cintai. Tega sekali!" Fanya menggeleng ketakutan.
"Aku bukan pacar siapa-siapa sebelum aku berpacaran dengan Fanya. Jadi Fanya bukan seorang perebut pacar orang lain seperti yang kamu ucapkan!" tegas Sakti.
"Sakti, apa sih kurangnya aku? Bertahun-tahun aku mencoba mendekatimu. Tapi sayangnya kamu nggak menatapku. Kamu hanya melihatku sebagai teman SMA saja. Padahal aku berharap hubungan kita tidak sebatas itu. Aku ingin..." belum selesai Marina menjelaskan.
"Miss Marina maafkan aku." kata Fanya merasa tak enak hati.
"Bukan salahmu, Fanya! Marina, sudahlah! Aku nggak bisa menatapmu melebihi tatapan teman. Apalagi menjadikanmu pacar. Itu mustahil! Jadi jangan berharap lebih. Dan Fanya, dia adalah wanita yang pertama kali bisa menggetarkan hatiku. Yang sudah-sudah, masa laluku, mantan-mantanku yang kamu juga tau, mereka semua hanya hiasan. Hiasan yang tak mungkin ku jadikan perhiasan!" tandas Sakti.
***
Sakti sudah sampai di rumahnya. Setelah mengantarkan Fanya pulang ke kostannya, ia pun segera pulang.
"Sayang, boleh Mama masuk?"
"Masuk aja Ma!" Pintu pun terbuka dan masuklah sang Mama dengan senyuman manisnya.
"Kamu sudah pulang Sayang?" kata Mama sembari menaruh cemilan di meja kecil dekat kamar tidur Sakti.
"Iya Ma. Kan anak Mama sudah ada di kamar. Ya berarti sudah pulang dong."
"Bisa banget yah kamu. Tadi Om Bima kasih kabar ke Mama, kalo besok putrinya yang kuliah di luar negeri, pulang ke Indonesia. Itu artinya, kalian akan bertemu kembali setelah sekian lama."
"Maksud Mama, Rasti? Dia hanya bagian dari masa lalu, Ma. Aku sudah tak berselera untuk kembali menjalin hubungan cinta dengannya. Rasanya enggan untuk menemuinya. Mama tau kan, dia tipikal gadis agresif pada lawan jenis. Mama juga tau kan, Sakti paling benci dengan gadis agresif? Kecuali agresifnya hanya untuk Sakti. It's OK!"
"Baiklah kalo gitu. Mama sih nggak maksa kamu kok. Oh iya, pokoknya kamu kalo sudah nemu calon istri yang tepat, jangan lupa kenalin ke Mama ya."
"Siap Mama. Tunggu tanggal mainnya ya Ma. Nggak akan lama lagi. Sakti sedang berjuang nih!"
"Anak Mama ternyata sudah dewasa. Pasti Papa akan sangat bangga padamu, Nak. Sayangnya Papa sudah tiada. Pasti Papa bahagia melihatmu sudah sedewasa ini." Sakti memeluk Mama kesayangannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments