Keesokan harinya, Fanya bangun pagi seperti biasanya dan langsung mandi. Sehabis menjalankan kewajiban ibadah, ia bergegas turun menyusuri anak tangga. Menyapa ART di dapur yang sibuk menyiapkan bahan-bahan untuk dimasak.
"Eh, Non Fanya sudah bangun." sapa Bik Ami, ART.
"Iya Bik. Boleh Fanya bantuin bibi?" tanya Fanya.
"Eh tapi kan Non masih belum pulih. Non istirahat aja. Bibi nggak enak nanti sama Den Sakti dan Ibuk. Non liatin bibi masak aja udah."
"Ah, aku bosen kalo disuruh diem terus. Ini Bibi mau masak apa ya?"
"Tumis ayam kecap, sayur sop, sambel tomat, sama goreng tempe." jawab Bik Ami.
"Oh itu. Fanya bisa masak kalo itu. Yaudah Fanya coba praktekkin keahlian masak Fanya di sini ya Bik. Nanti kalo kurang asin atau gimana, Bibi benerin rasanya yah." ujar Fanya sembari tangannya membentuk huruf 'O'.
"Kalo Non maunya begitu sih, Bibi nurut aja."
Fanya mulai memainkan peralatan masaknya. Bibi dibuat takjub dengan keahlian masak Fanya. Terlihat bahwa Fanya memang sering berperang dengan peralatan masak itu.
"Wow, sudah hampir matang. Coba Bibi cicipin rasa kuah sopnya. Tampilannya sih enak." kemudian Bik Ami menyeruput kuah yang sebelumnya ia tiup terlebih dahulu.
"Ini enak Non. Asli. Lebih enak dari masakan Bibi. Nggak cuma tampilannya yang cantik menggoda. Bahkan rasanya sungguh luar biasa. Udah nih, Bibi nggak bisa berkata-kata lagi. Non Fanya paket komplit. Cantik iya, pinter masak juga iya. Tinggal pinter di ranjang aja yang nanti dibuktikan pas nikah. Den Sakti pasti bahagia ini." seru Bik Ami cekikikan.
"Apa sih Bibi. Yuk ah kita siapin di meja makan."
Fanya dan Bik Ami menata masakan tersebut di atas meja makan. Fanya tersenyum bahagia mendapati masakannya telah siap dihidangkan.
"Fanya udah bangun?" tanya Mama Sakti tiba-tiba, berjalan mendekati meja makan.
"Iya Tante." jawab Fanya.
"Dari atas tadi Tante nyium bau masakan Bik Ami enak banget. Jadi laper kan. Ini masakannya juga tampak cantik. Ayo duduk Fanya, kita sarapan. Bik Ami juga boleh duduk makan bareng."
"Nggak usah Buk. Saya mau beberes dulu di dapur." tolak halus Bik Ami.
"Tante, Fanya panggil Sakti dulu ya." diangguki Mama Sakti.
Fanya segera ke lantai dua. Dirinya sudah tak melihat Sakti di sofa yang sebelumnya ditiduri oleh Sakti. Fanya langsung berpikir Sakti pindah ke kamarnya lagi.
"Mas, ayo kita..." kata Fanya yang belum sempat diselesaikan.
Fanya terperanggah melihat Sakti yang belum memakai bajunya. Sakti hanya memakai handuk yang melilit di pinggangnya. Dadanya yang dibiarkan telanjang membuat Fanya berkali-kali meneguk salivanya sendiri.
"Kenapa? Suka ya?" goda Sakti sembari mengerlingkan matanya.
"Ah nggak, aku hanya baru liat aja. Uhm, ayo sarapan bareng. Udah ditungguin sama Tante. Kalo gitu aku duluan ya." tapi tangan Fanya dicekal Sakti.
"Sini dulu!" Sakti memeluk Fanya dari belakang.
"Lepasin. Nanti aku teriak."
"Jangan. Sebentar saja." Sakti mengeratkan pelukannya.
Fanya meremang dengan perlakuan Sakti. Di satu sisi ia gugup berdekatan dengan lawan jenis yang membuat jantungnya berpacu lebih cepat. Tapi di sisi lain, ia juga menyukai pelukan itu. Wangi sabun dan sampo Sakti seakan sesuai dengan isi hatinya, berbunga-bunga.
"Ayo kita turun. Tante sudah menunggu kita di meja makan." kata Fanya pelan.
Sakti melonggarkan pelukannya. Memutar tubuh Fanya hingga berhadapan dengannya. Mereka saling berpandangan, mengikis jarak satu sama lain. Sakti memberanikan diri mengecup kening Fanya.
"Sudah. Ayo kita turun!" ajak Sakti bersemangat, sedangkan Fanya masih diam di tempat.
"Eh ayo! Tadi minta buru-buru." ujar Sakti yang kemudian menarik pergelangan tangan Fanya.
Fanya mengekor di belakang Sakti. Menuruni anak tangga dengan hati-hati. Mama Sakti masih setia menunggu mereka dengan sabar.
"Akhirnya kalian turun juga. Mari kita sarapan sama-sama. Tadi kata Bik Ami, kamu yang masak ya?"
"Iya Tante. Fanya kangen masak. Kalo di kostan kan jarang masak menu lengkap begini. Semoga nggak ngecewain Tante dan Mas Sakti untuk rasanya." Sakti dan Mamanya saling berpandangan.
"Mari kita coba..." seru Sakti.
Ketiganya sibuk menghidangkan makanan di piring masing-masing. Sakti tampak antusias melahap masakan yang konon katanya dimasak sendiri oleh Fanya, pujaan hatinya.
"Luar biasa. Ini enak sekali. Nggak salah sih kalo aku suka kamu. Paket komplit." gumam Sakti yang terdengar jelas oleh Fanya dan Mamanya Sakti.
"Halah. Dasar bucin. Fanya, kamu hati-hati ya. Abis ini pasti kamu disuruh masak terus sama Sakti. Iya, Tante rasa ini emang enak banget kok. Tante juga seneng kalo sering dimasakin enak begini." goda Mama Sakti.
"Baik Tante. Selama Fanya tinggal di sini, Fanya akan memasak."
"Eh nggak gitu. Kan ada Bik Ami. Jangan keseringan juga. Masak kan juga capek."
"Tapi nanti kalo nikah sama aku, dimasakin trus yah?" rengek Sakti.
"Apa sih nih bocah bucin! Kayaknya kalo Fanya jadi istrimu, kemungkinan besar malah nggak sempet masak. Mama nih udah pengalaman, jadi udah hafal."
"Kok gitu Ma?" tanya Sakti kepo, sedangkan Fanya hanya penasaran tanpa bertanya.
"Papamu dulu juga gitu pas awal-awal nyicipin masakan Mama. Persis kayak kamu gitu. Nanti kalo udah nikah, masakin trus yah. Tiap hari titik. Eh tapi pas udah nikah, boro-boro tiap hari. Seminggu sekali aja udah paling banter itu. Tau nggak kenapa?"
"Nggak tau Ma. Kan Mama yang ngalamin, masa Sakti yang kudu cerita. Mana paham aku tuh!"
"Jadi gini, kalo nikah sama orang yang kita sayang, kita akan melakukan apapun yang disukai pasangan kita. Betul apa betul?" diangguki Fanya dan Sakti. "Karena Papamu lebih dominan ajakin aktivitas +21, jadi ya urusan masak-memasak dinomorduakan. Ah nanti kalian paham sendiri lah."
"Iya juga ya Ma. Akh, jadi ngebayangin nih!" ujar Sakti menerawang gambaran dirinya dan Fanya jika sudah menikah nanti.
"Nggak usah dibayangin juga Mas." bisik Fanya.
Karena kondisi kaki Fanya sudah pulih seperti sedia kala, Fanya diajak jalan-jalan sore sama Sakti. Sebelumnya Sakti pergi ke kantor dahulu untuk menyelesaikan pekerjaan yang tertunda. Selebihnya ia limpahkan kepada Satya, sang asisten. Sakti mengajak Fanya pergi sebuah taman yang berlokasi tak jauh dari gesung musium. Mereka berjalan-jalan menikmati suasana sore. Ramainya lalu lalang pasangan yang kencan dan estetika bangunan musium yang meninggalkan sejarah tahun silam.
"Mas, kapan aku boleh pulang ke kostan? Aku kangen kostan kecilku. Meski fasilitas di rumahmu jauh lebih manusiawi, tapi tetap saja kostanku adalah tempat terbaik. Aku juga sudah pulih. Bisa jingkrak-jingkrak lagi. Jadi sudah tak ada masalah lagi." ujar Fanya.
"Iya. Nanti ya. Sabar dulu beberapa hari di rumahku. Nanti juga aku pulangin."
"Oh iya. Aku jadi kepikiran sesuatu deh. Beberapa hari ini aku tuh mikir kalo aku tuh sengaja ditabrak sama seseorang. Iya bukan dia pelakunya. Tapi bisa jadi dia adalah dalangnya. Bisa aja kan?" Sakti hanya menyimak meaki sudah tau siapa dalangnya.
"Yah aku bukannya mau nuduh sih. Tapi coba liat ini!" Fanya menunjukkan tangkapan layar pesan Marina di grub yang sempat dihapus tapi berhasil di-screenshoot oleh Fanya.
"Memang dia dalangnya. Aku juga sudah punya bukti beberapa foto dan rekaman CCTV kesepakan Marina dan pelaku penabrak kamu itu. Aku nggak mau cerita, karena takut kamu kepikiran aja. Eh kamu tau duluan ternyata. Gadisku hebat juga dalam mencari bukti yang akurat. Ehm, kamu bisa banget loh memperkarakan Marina ke ranah hukum. Tindakan kriminal yang direncanakan sebelumnya, hukumannya lumayan juga loh. Mau coba perkarakan dia? Gimana?"
"Nggak usah deh Mas. Kayaknya nggak bakal jera juga. Ini tuh di grub masih victim playing gitu loh. Nggak ada penyesalan sama sekali. Jadi yaudah, fiks hati ini manusia emang sudah mati. Nggak guna diperkarakan ke ranah hukum. Ngabisin waktu dan duit aku aja buat bikin BAP. Ogah deh!"
"Jadi dimaafkan?"
"Bukan gitu juga Mas. Untuk saat ini, aku pasti masih sakit hati lah. Orang yang aku hormati dan ku jadikan panutan, ternyata setega ini melukaiku. Yah meski aku masih sangat beruntung karena hanya terkilir. Coba kalo nyawaku sampai melayang, sudah pasti kamu sekarang sedang bersama dengan hantu Mas."
"Eh, hantu? Jangan gitu Fanya. Amit-amit. Aku masih pingin hidup seribu tahun lagi bersamamu kalo boleh." kata Sakti memelas.
"Iya deh iya. Mas, aku haus. Beliin aku minum. Aku mau itu tuh. Kayaknya seger deh!" seru Fanya sambil menunjuk ke salah satu outlet yang menjual minuman kekinian.
"Ayo!" ajak Sakti.
Sakti menggandeng tangan Fanya. Fanya pun tak menolaknya. Meski bagi Fanya bukan berarti itu cinta, tapi tidak dengan Sakti. Bagaimanapun rasa yang dimiliki Fanya terhadapnya, ia tetap akan mencintai Fanya. Karena cinta itu memilih siapa yang layak untuk diperjuangkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments