Sakti terus menggandeng tangan Fanya hingga mereka akan masuk ke mobil.
"Lepas Mas!" pinta Fanya karena Sakti terlalu erat mencengkeram tangannya.
"Ku bilang lepas!" teriak Fanya kesal.
Sakti langsung melepaskan tangan Fanya. Ia baru sadar jika genggaman tangannya terlalu erat mencengkeram Fanya, hingga terlihat guratan merah di tangan Fanya.
"Maafkan aku Sayang."
"Sudahlah Mas. Aku tak mau berdebat, Mas sudah tau kan jika si Nino nggak ada hubungan apapun denganku. Tapi kenapa Mas senaif ini?"
"Bukan begitu. Aku hanya takut kehilanganmu."
"Cukup Mas. Lebih baik Mas pulang tenangin diri. Boleh kembali menemuiku jika hati Mas sudah terbuka dan bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Lebih baik kita tak perlu berjumpa dulu. Aku ingin menenangkan hatiku ini. Pulanglah Mas!" perintah Fanya.
"Tapi, aku ingin bertemu denganmu. Kenapa aku harus pulang? Kita bahkan belum menghabiskan waktu kita dengan berkencan?"
"Mas bilang kencan? Jika Mas tau ini adalah waktu kencan kita, kenapa harus memperkeruh suasana dengan sikap Mas yang kekanakan? Sudah ditegaskan pula oleh Nino bagaimana aku dan dia tadi bertemu. Tapi apa, Mas masih aja bersikeras mempertahankan ego Mas yang tak beralasan. Aku benci suasana ini. Jadi, Mas lebih baik pergi sekarang. Aku harus pulang untuk menenangkan hatiku juga. Permisi!" tandas Fanya segera berlalu dari hadapan Sakti.
Fanya semakin menjauh dari pandangan Sakti. Tapi Sakti tak membiarkan hal itu terjadi begitu saja. Ia akhirnya mengejar Fanya. Memeluknya dari belakang.
"Maafkan aku. Tapi aku tak bisa pergi dengan perasaan kacau begini. Lebih baik kau pukul aku daripada harus menyuruhku pergi meski hanya sesaat. Aku tak bisa jauh darimu. Maafkan aku Sayangku...." kata Sakti memelas.
"Baiklah, aku memaafkanmu. Tqpi aku sudah tak ada selera lagi untuk menghabiskan waktuku dengan kencan. Hatiku sakit, kesal, dan lelah."
"Lalu, bagaimana kalo kita pergi ke atas jembatan layang. Melihat betapa indahnya kota ini. Sekalian kita menenangkan diri masing-masing. Tanpa harus berpisah. Bagaimana? Aku mengaku salah."
"Baik Mas. Ayo!"
Mereka akhirnya masuk ke mobil Sakti. Sakti melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Selama perjalanan kurang lebih setengah jam, mereka hanya diam. Tak ada lagi percakapan apapun. Termasuk tak ada suara lagu yang biasa menemani perjalanan mereka.
"Nah, sudah sampai." kata Sakti pelan setelah parkir di bahu jalan.
Fanya segera turun dari mobil. Bersiap melawan angin yang bergerak kencang.
"Pasti dingin. Pakailah biar tubuhmu hangat." Sakti memakaian jaketnya untuk Fanya.
"Kamu saja yang pakai Mas. Kamu pasti juga kedinginan." tolak Fanya meski tubuhnya sudah menggigil.
"Tidak. Tubuhku lebih tebal darimu."
"Baiklah jika Mas terus memaksa." kata Fanya mengalah.
Mereka duduk diatas kap mobil. Sesekali Fanya menggosokkan kedua tangannya. Sakti melirik sekilas, ingin rasanya merengkuh Fanya dalam pelukannya. Tapi melihat Fanya yang masih marah dengannya, diurungkan niat itu.
Desiran angin malam yang semakin menusuk kulit keduanya. Serta jalanan yang mulai sepi dari pandangan mata. Tak terasa sudah satu jam lebih mereka menghabiskan sisa waktu malam mereka.
"Ayo kita masuk ke mobil. Sepertinya malam semakin dingin. Ayo!" pinta Sakti dan diiyakan oleh anggukan Fanya.
Mereka kembali masuk ke mobil. Masih dalam keheningan. Sakti mulai bingung dengan suasana ini.
"Aku sudah tak kuasa lagi menahannya. Kemarilah, aku ingin memelukmu!" seru Sakti penuh emosi tapi bukan marah.
Fanya sempat bingung, tapi menurut saja. Ia lebih mendekatkan tubuhnya ke arah Sakti yang sudah bersiap memeluknya.
"Aku tak ingin didiamkan. Lebih baik kau cerewet mengomeliku terus-terusan. Tapi aku tau, kamu adalah gadis yang penuh pengertian. Itulah sebabnya, meski kau marah tapi tetap saja peduli denganku. Terima kasih Sayang. Maaf karena aku tak mampu mengendalikan sikapku. Padahal sudah tentu tak ada sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Hatimu selalu untukku, begitu sebaliknya. Jangan kesal lagi yah." Fanya hanya mengangguk pelan.
"Fanya Sayang, sepertinya kita harus segera pulang. Aku akan mengantarkanmu. Untuk pertemuan selanjutnya, aku harap adalah kencan terindah kita selanjutnya. Mengerti?"
"Iya Mas...."
"Gadis pintar!" seru Sakti.
"Tapi Mas..."
"Apa?" tanya Sakti penasaran.
Fanya mengangkat kepalanya. Mensejajarkan kepalanya dengan Sakti. Lalu siapa sangka, ia memberanikan diri mengecup bibir Sakti. Jangan harap Sakti langsung diam, menerimanya begitu saja. Sakti langsung membalas dengan ciuman yang bertubi-tubi. Ciuman semakin panas, mengingat udara malam yang dingin seakan semakin membakar gelora jiwa.
Sesaat Fanya melepas jaket Sakti. Membuangnya ke sembarang arah. Tapi Fanya masih merasakan panas yang luar biasa walau AC mobil sebenarnya sudah dinyalakan.
"Panas?" tanya Sakti.
"Iya." jawab Fanya pelan, lalu membuka kancing kemejanya bagian atas.
Sebenarnya hanya dua kancing kemeja yang dibuka, tapi Sakti mampu melihat gundukan mulus dengan samar-samar. Mengingat lampu mobil sengaja dimatikan dan hanya bayangan cahaya dari luar.
Berkali-kali Sakti mengatur nafasnya yang memburu. Sungguh, ia terpacu untuk segera melahap gundukan mulus di depannya.
"Inikah ujian kehidupan yang sebenarnya?" tanya Sakti pelan.
"Maksudnya?" Fanya balik tanya, tak mengerti arah pembicaraan Sakti.
"Tidak. Aku hanya bicara sendiri. Sebaiknya aku segera mengantarmu pulang."
"Iya Mas."
"Tapi rapikan dulu kemejamu. Aku nggak bisa fokus melihat isi yang menyembul itu. Aku nggak bisa..."
"Nggak bisa apa?"
"Sudahlah. Ayo segera kancingkan kemejamu itu. Nggak baik aku berlama-lama melihatnya."
"Iya Mas. Ini aku kancingkan lagi. Tadi kan panas." ucap Fanya sambil mengancingkan kemejanya.
'Aku takut khilaf jika berlama-lama lagi bersamanya. Dia mungkin tak sengaja menggodaku. Tapi gimana dong, juniorku yang di bawah sana sangat tergoda dengannya. Aku takut khilaf jika ini terus berlanjut. Sabarlah Sakti, kamu belum boleh menyentuhnya. Nanti kamu akan mendapatkan bagianmu setelah halal.' batin Sakti.
"Nunggu apa lagi Mas? Kok liatin aku mulu? Aku cantik ya?"
"Eh maaf. Iya kaku cantik. Makanya aku suka banget liatin kamu. Sampe lupa diri. Seat belt udah dipasang kan?"
"Udah kok."
"Baiklah. Kita pulang. Bismillah..." seru Sakti.
Mobil dilajukan dengan kecepatan sedang. Sesekali Sakti melirik ke arah Fanya yang sibuk memilih lagu untuk diputar.
"Mas, aku kok kepingin nyanyi lagi ya? Kangen gitu manggung di cafe milik Miss Marina. Kira-kira masih boleh nggak Mas?".
"Kok nanya aku? Kalo Marina ngijinin, ya kamu tinggal nyanyi aja."
"Tapi kan tetep aja ijin Mas dulu. Tadi aja nggak sengaja ketemu temen lama, Masnya cemburu buta. Gimana pas aku nyanyi di sana. Pasti banyak cowok-cowok yang ngedeketin aku. Ada yang nyawerlah, request lagulah, minta fotolah, atau ngajakin duet nyanyi. Serius boleh?".
Sakti mulai berpikir.
"Sebenarnya iya pasti aku bakalan cemburu lagi. Mana mau ada pria lain deketin wanitaku. Aku mana rela?".
" Ya kan? Belum kejadian aja udah cemburu gimana pas kejadian. Serba salah sih emang kalo punya pacar posesif kayak Mas."
"Mau gimana lagi. Kalo udah sayang, aku ya gitu." kata Sakti fokus menyetir.
"Memangnya sebelum sama aku, pernah seposesif ini juga?" tanya Fanya.
Sakti langsung mengerem mobilnya. Terganggu oleh pertanyaan yahg diajukan Fanya. Sakti menatap wajah Fanya lekat-lekat.
"Sebelumnya, aku tak pernah begini. Aku tak pernah menjalin hubungan seperti sekarang ini. Hanya kenal selayaknya teman biasa tanpa ikatan apa-apa. Aku merasa belum saatnya melabuhkan hati. Kalo untuk sekarang, yakinlah jika aku sudah serius terhadapmu. Tinggal menunggu janji suci yang akan ku ikrarkan nanti." penjelasan Sakti.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments