Sesuai arahan Sakti, akhirnya Fanya pergi menemui Mamanya Sakti di sebuah butik mewah.
"Apakah di sini tempatnya? Tapi benar sih ini butik Syakira. Sama kok. Yah, ini pasti benar!" gumam Fanya.
"Maaf Mba, ada yang bisa saya bantu?" tanya petugas keamanan tiba-tiba.
"Eh pak satpam, maaf nih. Saya mau bertemu pemilik butik ini. Apakah beliau sedang ada di tempat?"
"Oh, ibu Syakira? Ada. Mari silakan masuk. Nanti silakan bertanya lebih lanjut pada resepsionis di dalam ya."
"Ah baik. Terimakasih."
Fanya memasuki butik itu dengan perasaan kagum. Bukan hanya suasananya yang begitu damai dan tenang, melainkan tatanan dekorasi minimalis yang mewah lebih terasa.
Fanya disambut ramah oleh oleh resepsionis. Setelah menyampaikan maksud kedatangannya, Fanya dipersilakan menunggu di sofa yang memang disediakan untuk tamu.
"Hai Fanya. Ayo ikut Tante ke ruangan Tante!" seru Mama Sakti yang hanya diangguki Fanya.
Sepanjang jalan menuju ruangannya, Fanya dibuat takjub dengan berbagai jenis gaun ataupun setelan yang tersusun rapi di etalase.
"Tante, bagus banget gaun-gaunnya. Ini semua rancangan Tante yah?" tanya Fanya.
"Nggak semuanya sih. Ada beberapa gaun rancangan karyawan Tante. Nanti Fanya kalo mau, juga bisa menyumbang idenya untuk koleksi gaun-gaun di sini."
Akhirnya mereka sampailah pada sebuah ruangan yang letaknya di lantai 2.
"Ayo silakan duduk!"
"Terima kasih Tante."
"Nah, Tante langsung aja ya. Kamu udah dikasih tau Sakti kan harus bagaimana di sini?"
"Mas Sakti hanya bilang kalo Tante lagi butuh karyawan."
"Oh anak itu. Sebenarnya Tante butuh asisten designer. Lebih tepatnya asisten Tante. Kebetulan asisten Tante yang lama sudah resign. Yah, bantuin atur jadwal Tante, termasuk mendampingi Tante saat bertemu klien. Jadi apakah kamu bersedia?"
"Baik Tante, saya bersedia. Tapi mohon bimbingannya." kata Fanya antusias.
"Oke. Sekarang ayo ke bagian HRD. Kamu harus teken kontrak. Setelah itu, ikut Tante bertemu klien. Karena ada kalanya, klien meminta kita menemui mereka di tempat yang mereka inginkan. Ayo, waktu kita terbatas!"
***
Menjelang malam, Fanya belum juga pulang. Padahal butik sudah sepi. Fanya masih asyik menyusun jadwal bossnya, alias Mamanya Sakti. Sebenarnya ia tak harus lembur, tapi karena keinginan sendiri untuk menguasai pekerjaannya, ia tak ingin buru-buru pulang.
"Masih lama?"
"Iya masih. Aku perlu mempelajari ini semua. Tapi, eh..." Fanya baru menyadari jika ada Sakti di depannya.
"Loh Mas Sakti? Kok ada di sini? Bukannya pulang aja. Kan capek abis luar kota."
"Iya aku capek banget. Makanya aku ke sini buat ngilangin capek. Ketemu sama ayang." goda Sakti.
"Duh Mas, jangan ngegombal deh. Ini tuh aku lagi di tempat kerja. Nggak enak tau."
"Ehm Mama nyuruh kamu lembur?"
"Nggak sih Mas. Cuma aku yang pingin aja masih di sini. Aku harus belajar banyak nih. Nggak mau nantinya ngecewain Mamamu."
"Yasudah, aku temenin kamu yah! Aku juga nggak ada kegiatan." kata Sakti yang langsung mengambil bangku, menaruhnya di dekat Fanya dan duduk berdekatan dengan Fanya.
"Eh." Fanya terperanjat karena jarak Sakti dan dirinya terlalu dekat.
"Kenapa?" tanya Sakti.
"Kenapa katamu Mas? Bukankah ini terlalu dekat? Aku jadi tak bisa bernafas dengan leluasa dan pastinya jantungku berdebar lebih cepat dari biasanya." jawab Fanya malu tapi ia tak sadar dengan segala kejujurannya.
Alhasil Sakti mengulum senyum. Bahagia rasanya mendengar jawaban jujur yang tak disadari oleh Fanya.
"Loh, maksudku nggak gitu. Mas agak jauhan deh duduknya. Aku nggak nyaman nih."
"Coba sini aku liat."
Sontak Sakti menempelkan tangannya di kening Fanya. Mencoba mengecek seberapa panas suhu badan Fanya. Niatnya memang hanya mengecek, tapi selama proses berjalannya waktu, mata mereka saling bertemu dan saling tatap. Saat itulah, Fanya merasakan ada yang berdesir dari dalam tubuhnya. Ia merasakan getaran aneh yang mengusik pikirannya.
"Mas..." panggil Fanya lirih.
"Iya Sayang."
"Apakah ada sesuatu yang Mas rasakan setelah kita berpandangan seperti ini?" tanya Fanya dengan sedikit ragu untuk mengungkapkannya.
"Aku merasakan sesuatu yang tak biasa. Seakan ada sengatan-sengatan listrik yang menjalar di tubuhku. Detak jantungku berpacu lebih cepat dari biasanya. Meski begitu aku jadi sedikit gugup. Bukan karena takut, tapi..." Sakti tak meneruskan perkataannya.
"Tapi apa Mas?" tanya Fanya berharap penuh.
Cup. Sakti memberanikan dirinya mencium Fanya dengan cepat. Fanya gelagapan menerima ciuman sekilas dari Sakti. Fanya mengedipkan matanya berkali-kali. Memahami apa yang barusan terjadi. Tapi belum sampai kesadarannya penuh, ia kembali diserang ciuman dari Sakti.
Sepersekian detik Fanya hanya menerima ciuman itu dengan kaku. Detik selanjutnya ia berusaha membalasnya perlahan. Mengecup lembut bibir Sakti yang menurutnya manis. Ada sensasi tersendiri yang ia rasakan. Atau karena sudah lama menjomblo membuatnya berpikir seperti itu.
Merasa ciumannya berbalas, Sakti semakin memperdalam ciumannya. Ia mulai menjelajahi rongga mulut Fanya. Mencecapi setiap inci yang ada disana. Ia benar-benar meluapkan segala kerinduan yang selama ini terpendam. Rindu yang tak kunjung luntur meski setiap detik bertemu.
Lama mereka saling melepaskan hasrat rindu yang terpendam. Hingga akhirnya Sakti menyudahi aksinya. Itupun karena melihat Fanya sudah seperti kehabisan pasokan energi untuk bernafas.
"Rasanya manis. Aku menyukainya." ungkap Sakti menggoda Fanya dengan kerlingan mata menggoda.
"Apa sih Mas. Aku jadi malu. Aku ingin kabur rasanya."
Sakti pun memeluk pinggang ramping Fanya dari samping. Membuat kepala Fanya bersandar pada bahunya. Kemudian ia beralih mendekap Fanya dalam pelukannya.
"Tak perlu malu lagi denganku. Nanti kamu juga akan terbiasa denganku. Terlebih jika kita sudah resmi menjadi sepasang suami istri, pastinya ciuman dan kamu tau sendirilah, akan jadi kebiasaan rutin kita. Jadi..."
"Apa sih Mas. Kok ambigu sekali sih. Aku jadi berpikir aneh-aneh deh. Udah ikh, lepasin aku. Aku udah engap ngumpet di pelukanmu nih." rengek Fanya.
Setengah jam kemudian, mereka sudah berjalan ke luar butik dan pulang. Fanya diantar Sakti dengan mobilnya. Untung saja tak ada yang melihat kemesraan mereka. Karena tentu saja situasi butik sudah sepi. Hanya ada dua orang penjaga keamanan yang sedang berjaga di lobby butik.
"Apa kita harus pulang sekarang?" tanya Sakti begitu selesai memakai seat belt.
"Loh emang mau kemana lagi Mas? Ini udah jam 8 lewat. Atau kalo Mas ada urusan penting, aku bisa kok pulang sendiri. Jam segini bis kota masih beroperasi. Trus ojek online juga masih banyak. Aku turun deh ya?"
"Aish, bukan gitu Sayang. Justru karena aku lagi nggak ada kerjaan, jadi nggak tau lagi mau ngapain. Nggak mau cepet-cepet pulang juga. Masih mau berlama-lama sama kamu. Aku haris gimana dong?"
"Yaudah nikah aja yuk!" ucap Fanya cepat.
"Benaran mau nikah sama aku?" tanya Sakti lagi, ia perlu memastikan jawaban Fanya.
Fanya kembali berpikir.
"Mau nggak ya? Akh, nggak tau deh. Aku tadi cuma asal ngajak aja kok. Jangan dianggap serius."
"Yah, kena prank lagi. Padahal tadi udah seneng diajak nikah. Taunya hanya zonk. Argghh, aku sungguh kecewa, patah hati, dan terluka parah!" keluh Sakti kecewa.
"Masa mau nyerah gitu aja Mas?"
"Nyerah? Aku? Nggak bakal!" ucap Sakti tegas, membuat Fanya bergidik.
"Liat aja, aku akan buktikan padamu bahwa aku sungguh-sungguh ingin menikahimu. Membawamu untuk jatuh sedalam-dalamnya di pelukanku. Ingat itu!"
Fanya membuang nafas kasar.
"Iya deh iya. Semangat ya Mas..." kata Fanya lagi.
Apakah Fanya sedih? Tidak! Ia berlonjak girang dalam hatinya, tapi masih gengsi untuk mengakuinya. Dasar wanita!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments