Waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam. Tapi Fanya belum juga diizinkan untuk menyumbang suara emasnya di cafe Monix. Tentu saja atas instruksi larangan dari sang pemilik, Marina. Fanya agak bingung dengan sikap bossnya itu. Namun, ia juga mencoba memahami betapa marahnya ia jika berada di posisi yang sama dengan bossnya itu.
"Miss, si Fanya nggak diizinin nyanyi?" tanya Aldi saat menyusun makanan di nampan.
"Nggak. Urusin tuh kerjaan kamu sendiri. Nggak perlu ngurusin orang lain!" jutek Marina sembari melempar serbet ke arah Aldi.
Aldi hanya tertegun heran. Tak biasanya bossnya bersikap kasar seperti itu. Biasanya Marina memang selalu ramah dan murah senyum. Kali ini jangankan senyum, raut garang pun tak luput dari wajahnya.
"Kenapa ya tuh orang?" selidik Murni sesaat setelah Marina berlalu.
"Lagi mens kali ya? Ah nggak tau ah!" jawab Aldi bodo amat.
"Uhm, drama hidup telah terjadi." kata Murni pelan.
Fanya akhirnya berinisiatif menemui Marina di ruangannya. Setelah pintu diketuk dan ada perintah masuk, ia membuka pintu itu. Memasuki ruangan minimalis itu dengan penuh kehati-hatian. Marina melirik sekilas siapa yang datang. Seakan jengah melihat Fanya yang membuatnya kesal.
"Mau apa lagi?" tanya Marina, masih fokus menatap layar monitor di depannya.
"Miss, aku bisa jelasin..."
"Nggak perlu. Semuanya sudah jelas bagiku. Ternyata kamu nggak lebih baik dari seorang ****** liar!"
'Hah? ****** liar? Dia pikir aku PSK? Seenak jidatnya aja kalo ngomong! Eh, tapi aku nggak boleh emosi dulu. Emosi jangan dilawan dengan emosi. Sabar Fanya, sabar....! Stok sabar kamu masih banyak!' batin Fanya menguatkan diri.
"Maaf Miss. Tapi bukan maksudku seperti itu. Aku nggak ngerebut Mas Sakti dari Miss. Hanya..."
"Apa maksudmu? ****** tetaplah ******! Jangan mengalihkan pandangan orang terhadapmu! Aku muak denganmu! Mulai hari ini, jangan datang lagi ke sini! Aku nggak sudi mempekerjakan orang sepertimu!" teriak Marina.
Ingin sekali Fanya mengutarakan isi hatinya. Membela dirinya yang seakan dipojokkan olah Marina. Tapi dirinya enggan untuk kembali melontarkan kata.
"Baiklah. Aku akan keluar dari sini. Selamat malam!" ucap Fanya sambil berlalu.
***
Babak baru telah dimulai. Kini, Fanya harus ikhlas menyandang status baru. Status yang tidak banyak kegiatan dan tentunya sangat dihindari oleh generasi muda. Pengangguran.
"Eh Fan, gue nginep di sini yah? Tante sama sepupu gue pada dateng nih. Rumah rame banget. Sampe nggak ada celah buat gue ngupil!" kata Clara.
"Ish jorok amat kau! Ada syarat loh kalo nginep di sini."
"Apaan bestie?" tanya Clara kepo.
"Nyiapin makan pagi, siang, dan malam!" jawab Fanya tenang, masih fokus mengetikkan sesuatu di ponselnya.
"Aish, bangkrut deh gue! Tapi yaudahlah, anggep aja sewa ye kan? Eh bener ya, lo sekarang jadi pengacara? Pengangguran banyak acara?" tanya Clara polos.
"Andai pengangguran adalah status jabatan terhormat. Tapi begitulah adanya. Siap-siap aja yah kamu jadi tulang punggung aku saat tak ada lagi aliran cuan." jawab Fanya dramatis.
"Waduh ini anak siapa sih? Bisa-bisanya gue dijadikan tulang punggung. Reputasi gue sebagai tulang rusuk nggak diakui lagi ya? Parah sekali!"
Fanya tersenyum melihat sahabatnya. Ada hiburan tersendiri saat bersama sahabatnya. Galau dan gundah sedikit mereda.
"Si mas pacar nggak ngajakin kencan?"
"Ih tau-tauan kamu!"
"Ya taulah. Informan gue tuh banyak yah. Lo jalan belok dikit aja, banyak yang kasih laporan ke gue. CCTV ada di mana-mana tau!"
"Iya aku udah punya pacar sekarang. Belum sepenuhnya cinta yah. Cuma tameng aja dari mantan."
"Jangan bilang mantan sialan itu masih ngejar-ngejar lo? Lo nggak terintimidasi kan? Awas aja kalo sampe ngeganggu lo lagi, gue yang akan hadapin itu manusia. Eh bukan, boleh nggak sih kalo gue nyebut dia setan?"
"Hahahaaa terserah kamu ajalah, Ra. Eh tadi kamu kayak bawa koper. Kamu taruh di mana?"
"Eh iya. Masih gue ambrakin noh di depan pintu lo. Bentar yah, gue masukin dulu. Kan tadi ceritanya izin dulu mau nginep. Kalo oke, baru deh barang gue masukin ke sini." ucap Clara.
Clara merapikan barang bawaannya. Sebuah koper besarnya berisi pakaian dan peralatan make up. Satu lagi, ia juga membawa tentengan paperbag besar, berisi camilan.
"Ini serius kamu mau numpang tidur aja? Kok rasanya kayak mau numpang hidup ya?" tanya Fanya seraya mengamati secara detail apa yang Clara bawa.
"Iya sih. Mau numpang hidup juga di sini. Tapi tenang aja, jatah bulanan dari doi masih ngalir kok. Ini malah dikasih ATM dia." Clara menunjukkan kartu ATM di tangannya.
"Iya deh percaya. Royal banget pacarmu itu."
"Iya. Sebagai simpanan ya tentu saja dapet uang simpanan juga kan? Itu wajar sekali!" celetuk Clara tanpa dosa.
"Simpanan?"
"Hiks, iya. Gue ternyata adalah simpanan Mas Robi...." Clara memelas. "Selama masih ada aliran dana dari dia, nggak bakal gue putusin itu orang"
"Takutnya ada pertumpahan darah aja nanti. Kamu nggak tau kan gimana garangnya pacar asli Mas Robi itu?"
"Bodo amat deh Fan. Gue mau main cantik aja. Dikasih duit diterima. Nggak dikasih, ya minta! Kalo dituntut, ya minta maaf aja! Clear masalah!" tandas Clara mantap dengan jawabannya.
Akhirnya Clara sudah terlelap dalam mimpi indah. Fanya harus rela membagi ranjangnya berdua dengan Clara. Dirinya berupaya untuk memejamkan matanya juga. Namun gagal dan gagal lagi saat ada notifikasi pesan masuk di ponselnya.
Temui aku di depan kostan!
"Sakti???" pekik Fanya yang hampir membangunkan Clara.
Ia pun bergegas ke luar. Mencari keberadaan Sakti yang katanya sudah ada di depan kostan. Tak ada tanda-tanda keberadaan Sakti. Terlebih malam tanpa bulan, dan lampu yang sedikit temaram, membuat Fanya bergidik merinding. Ia memutuskan kembali masuk ke dalam.
"Jangan masuk! Ayo ke sana!" Sakti yang tiba-tiba muncul mengajak Fanya untuk duduk di bangku dekat taman bunga.
"Ada apa malam-malam ke sini?" tanya Fanya tanpa basa-basi.
"Kangen." jawab Sakti singkat.
"Sepertinya hubunganmu dengan Miss Marina belum ada ujungnya. Dia sangat marah dengan hubungan kita. Bahkan dengan santainya menyebutku ****** liar. Aku bukan tak bisa mengelak sebutan itu. Entah rasanya aku lebih jahat daripada ******. Aku sudah tau dia menaruh perasaannya padamu, tapi aku menyanggupimu untuk menjadi pacarmu. Ah, yang benar saja! Menurutmu gimana?"
Sakti tak lantas menjawab pertanyaan itu. Ia menatap dalam manik mata Fanya. Mencoba merasakan apa yang Fanya tengah rasakan. Tangannya terulur mengenggam lembut pundak Fanya.
BUGHH!!! Sakti terjungkal ke belakang. Ia terkena bogem mentah oleh seseorang yang tak dikenalnya. Ia tak bisa melawan sebab fokusnya hanya tertuju pada Fanya. Ia meringis memegangi rahangnya yang nyeri.
"Kenapa? Apa yang sudah kau lakukan??" teriak Fanya pada orang yang menonjok Sakti.
Sakti mencoba bangkit. Rasa nyeri masih dirasakannya. Bahkan rasanya lebih sakit saat melihat Fanya menangis di depannya. Fanya terlihat sedang berdebat dengan pria yang tak dikenali oleh Sakti.
"Kau tak apa?" tanya Fanya sesaat setelah pria asing itu pergi.
"Aku gapapa. Siapa dia? Mantan yang pernah kau ceritakan padaku?" diangguki oleh Fanya.
"Apakah sakit?" tanya Fanya lagi.
"Sejujurnya iya. Tapi aku tak punya pilihan lagi. Aku bersyukur saat dia yang menonjokku tanpa ampun tadi. Bukankah itu menunjukkan dengan jelas jika dia sudah termakan oleh cemburu?" Fanya langsung mencubit pinggang Sakti.
"Sakit kan?"
"Sakit sekali. Tapi setelahnya tidak!"
"Mas Sakti pulang gih! Aku mau tidur. Tadi tuh sebenarnya aku sudah hampir tidur tau!"
"Iya Sayang. Nanti kalo kamu ada waktu lagi, kita kencan yah! Kita kan belum kencan secara resmi."
"Selalu ada waktu. Karena sekarang aku adalah seorang pengangguran. Uhm, kalo ada lowongan pekerjaan di tempatmu, boleh deh!"
"Sebenarnya ada satu lowongan yang ku rasa pas untukmu." Fanya langsung berbinar mendengarnya. "Lowongan untuk jadi istriku...".
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments