curhatan Atlas

Ahmed menyunggingkan senyum kemenangan ke arah Wira, membuat laki laki itu hampir tergelak melihat tingkah Ahmed.

"Aduh Iqis... Iqis kepala kakak juga pusing, mag kakak kambuh lagi pasti gara gara ga makan tadi siang," ujar Wira mendudukkan dirinya di samping Bilqis, kemudian merebahkan kepalanya di bahu Bilqis.

Ahmed tak mau kalah, segera memeluk pinggang Bilqis dan menenggelamkan kepalanya di perut Bilqis. Bilqis fikir Ahmed semakin pusing, ia panik melihat Ahmed. Bilqis segera menggosok gosokkan tangannya di pipi Ahmed. "Kak... Iqis panggilan dokter lagi ya," Bilqis terlihat panik membuat Ahmed di balik sana tersenyum.

"Engga Qis, biar gini aja dulu," Ahmed menggelengkan kepalanya membuat Bilqis sedikit bingung.

"Iqis... kepala kakak juga pusing, kakak belum makan, suapin," kini giliran Wira yang merengek manja kepada gadis itu.

"Ya ampun kak... kakak kenapa ga makan?" Bilqis melihat cemas ke arah Wira, membuat Wira diam diam mencolek kepala Ahmed.

"Kakak kangen sama kamu, masa kakak datang kamu malah keluyuran," Wira menundukkan kepalanya mencibir Ahmed yang memandangnya dengan kesal.

"Kak Iqis keluar karena ada urusan, kalau gini kan kakak jadi kasihan, mag kakak kambuh kan," Bilqis tampak sangat perhatian kepada Wira membuat Ahmed sangat kesal.

"Aduh Iqis kepala kakak," Ahmed mengeluh, membawa tangan Bilqis yang menyentuh dahi Wira ke arah wajahnya. "Tolong pijitin kayak tadi Qis."

"Iqis tapi kakak juga sakit," Wira kini semakin membuat Bilqis bingung.

Atlas yang melihat perhatian Bilqis di perebutkan hanya menggeleng kecil, Atlas diam diam tersenyum. Tiba tiba entah kenapa ia merasakan syukur memiliki keluarga yang begitu harmonis, meski terkadang sedikit menyebalkan.

Atlas menghela nafas kala mengingat bagaimana kehidupan sekertaris nya. Sungguh dirinya merasa bahwa ia lebih beruntung dibandingkan dengan sekertaris nya itu. Harta yang melimpah, keluarga yang harmonis, keluarga yang sehat baik jasmani maupun rohani nya. Atlas bahkan menghela nafasnya berkali kali.

Juwita baru saja keluar dari kamarnya setelah bayi besarnya tertidur pulas. Ya mereka baru saja melakukan olahraga sore hari, dengan penuh de*da*han. Juwita tanpa sengaja melihat anak sulungnya hendak menaiki tangga, namun entah kenapa Juwita berfikir ada yang salah pada anak sulungnya. Juwita dapat melihat dengan jelas bagaiman kegundahan anak sulungnya itu dari cara nya menghela nafas.

Juwita melihat arah jalan Atlas ke kamarnya Juwita segera menghampiri Atlas. "Ata, nak sayang," ujar Juwita lembut membuat Atlas berbalik memandang Juwita dengan lembut.

"Iya mi," Atala tersenyum manis ke arah Juwita.

"Habis mandi ada yang mau mami bicarakan di taman belakang," ujar Juwita kemudian berjalan menuju ruang keluarga asal mula keributan.

Juwita dapat melihat Wira tengah merebahkan kepalanya di pundak Bilqis dengan mengatakan perutnya sakit dan kepalanya berkubang kunang, Juwita menggeleng.

"Iqis gimana ini? Mahg kakak kambuh, tadi kakak ga makan gara gara nungguin kamu," ujar Wira semakin membuat Juwita yang berdiri di belakang mereka menggeleng. Jelas tadi Wira telah menambah hingga tiga kali, ia mengatakan bahwa ia sangat lelah dan harus mengisi tenaga.

"Iqis kepala kakak juga pusing Qis, kamu lihat kan tadi kepala kakak berdenyut," ujar Ahmed, membuat Juwita terkekeh. Rupanya keponakannya itu hendak memanas manasi Ahmed.

Juwita segera berjalan ke arah mereka sembari bersuara. "Udah Wira jangan godain Ahmed terus lah," ujar Juwita membuat Ahmed segera menegakkan kepalanya. Ahmed ikut bangun, dan memandang Juwita dengan penuh tanda tanya.

"Mami ngapain sih dia ke sini? Ga ada kerjaan?" Ahmed menunjuk ke arah Wira, seolah seperti anak kecil yang cemburu akan kehadiran saingannya.

"Lah Wira kan anak mami juga," ujar Juwita tersenyum ke arah Ahmed.

"Mana ada mami, dia bukan anak mami," Ahmed bersikukuh dengan hal tersebut.

"Ahmed, kamu ingat om Gilang?" Juwita mulai mengingatkan kembali kepada Ahmed tentang siapa yang tengah ia cemburui.

"Ingat kah mami," ujar Ahmed mantap.

"Dia anak kecil yang dulu sering kamu ajak main bola, kalian main berlima sama Rakara anak Tante Angel," jelas Juwita membuat Ahmed memandang lekat wajah Wira.

Wira tersenyum sembari menggerakkan alisnya, menggoda Ahmed. "Ira..." Ahmed seketika berdiri dan berlari mengejar Wira yang telah berlari ke arah belakang terlebih dahulu.

"Cih pura pura sakit rupanya," kesal Bilqis membuat Juwita terkekeh.

Juwita memandang ke arah dua anak manusia yang tengah bermain kejar kejaran layaknya anak kecil. Juwita kembali teringat bahwa mereka dulu juga sering memperebutkan mainan, atau memperebutkan posisi Ken hanya karena Bilqis yang menjadi Barbie nya.

"Mereka tidak berubah Qis, mungkin kamu sudah lupa sayang. Tapi mereka memang begitu sejak kecil." Juwita mengalihkan pandangannya ke arah Bilqis. "Iqis kamu tahu tidak kenapa Ahmed tadi begitu, berpura pura sakit ketika kamu berada di dekat Wira?"

"Entah mi memang kenapa kira kira?" Bilqis malah membalik pertanyaan tersebut.

"Itu artinya Ahmed cemburu sayang, berarti dia memang memiliki rasa kepada kamu," ujar Juwita terkekeh melihat wajah bingung anaknya.

"Engga mungkin mi, orang dia bilang baru mau belajar mencintai Iqis, mana bisa secepat kilat mi," jelas Bilqis yang tak percaya dengan hal tersebut.

"Sayang kamu percaya cinta pandangan pertama?" Juwita tersenyum melihat ketidak percayaan anaknya.

"Iya mi, tapi kami kan kenalan sejak kecil, makanya ga mungkin secepat itu," jelas Bilqis, memandang ke arah Ahmed yang berkeringat. Ahmed yang baru pulih dari pusingnya kini kembali merasakan udara di sekitar kembali dingin, tampaknya ia kelelahan.

"Non ini jusnya, sekalian saya pamit pulang nyonya, non," ujar maid tersebut pamit undur diri.

"Iya bik, ambil lauk di belakang bik, kan sudah ada yang matang kan? Ambil aja sebagian, itu kebanyakan soalnya tadi saya masak," ujar Juwita membuat maid tersebutlah tersenyum.

"Qis, ini beneran Qis, kepala kakak pusing," Ahmed segera membaringkan kepalanya di paha Bilqis. Kening Ahmed mengkerut, matanya terpejam erat menahan rasa sakit di kepalanya. Nafasnya sedikit sesak, tangannya kembali berkeringat dingin.

"Alah tipu tipu daya kakak ini," ujar Bilqis hendak menyingkirkan kepala Ahmed dari pahanya, namun saat menyentuh kening Ahmed Bilqis dapat merasakan kembali dinginnya kepala Ahmed, dan terdapat keringat jagung di sana. "Kak are you okay?" Bilqis menepuk nepuk pipi Ahmed. "Mi, ini seriusan mi," ujar Bilqis memandang wajah Juwita dengan seksama. Bilqis yang panik tanpa sengaja menumpahkan minyak kayu putih ke lantai, sehingga minyak yang memang sedikit kini habis.

"Apa?" Juwita segera berdiri, menuju laci tempat penyimpanan obat p3k.

"Eh Med kamu beneran?" Wira terlihat khawatir juga.

"Ini," Juwita menjulurkan sebuah minyak kayu putih kepada Bilqis, Bilqis segera membubuhkannya si telapak tangan dan mulai mengusapnya di kening Ahmed. "Med jaga kesehatan kamu, sebentar lagi kamu nikah loh."

"Iya Med haha kesehatan kamu, sebelum aku yang menggantikan posisi kamu di atas pelaminan," ujar Wira justru menggoda Ahmed meski secara tidak langsung menyemangati Ahmed.

"Wira..." terdengar Ahmed menggeram kesal, tangan Bilqis ia genggam demi menyalurkan rasa hangat di tangannya.

Wira justru semakin terkekeh mendengar Ahmed yang menyebut namanya dengan suara lemas. "Iya mas, adek di sini," ujar Wira melembutkan suaranya, sebisa mungkin ia meniru suara seorang perempuan.

"Kak Wira... Iqis jijik dengarnya," Bilqis memandang jijik ke arah Wira yang semakin terkekeh. "Kak ini minum jus dulu."

Ahmed hanya membuka bibirnya pelan, agar jus tersebut masuk ke dalam mulutnya. Bilqis memang tergolong perhatian, Ahmed merasa senang. Entah berkah atau musibah hari ini yang menimpanya, yang jelas berkat hal tersebut Bilqis menjadi lebih perhatian terhadapnya.

"Udah ah, Wira ke kamar dulu istirahat ya bay," Wira segera berlari ke lantai dua. Wira jadi muak sendiri melihat tingkah dua sejoli tersebut. Kini Wira sedikit kurang yakin bila Ahmed merasakan pening di kepalanya. Mungkin awalanya memang iya, namun selebihnya modus, pikir Wira.

"Mi..." Atlas yang tidak tahu apa apa baru saja turun dari lantai dua, hendak memenuhi keinginan sang mami untuk berbicara empat mata dengannya.

"Kalian mami tinggal dulu ya, kamu bisa ngatasinnya kan Iqis?" Juwita meninggalakan Bilqis bersama dengan Ahmed.

"Qis bisa peluk kakak kayak tadi? Kakak lemas banget," ujar Ahmed mengambil kesempatan dalam kesulitannya sendiri.

"Eh iya kak," ujar Bilqis merebahkan tubuhnya di samping Ahmed. Ahmed kemudian memeluk erat tubuh Bilqis.

......................

Sementara di taman belakang Atlas tengah duduk di samping maminya, setelah dirinya mengambil air putih dan buah buahan untuk mereka berdua. Atlas tidak ingin maminya terlalu banyak mengkonsumsi gula dan makan tidak sehat lainnya.

Juwita segera mencomot satu buah apel, dan mengupas buah tersebut dengan pisau buah. "Ada apa sebenarnya?" Juwita memandang wajah Atlas sekilas kemudian fokus dengan mengupas buah apel tersebut.

"Lah kan mami yang ngajak ke sini," ujar Atlas bingung sendiri. Bukan kah seharusnya dirinya yang bertanya demikian?

"Wajah kamu tadi ada apa? Ada masalah?" Juwita segera membenarkan omongannya tadi yang memang terdengar rancu.

"Oh... itu, gimana ngomongnya ya?" Atlas mengusap tengkuknya. "Ehm, mami kan dulu dokter jiwa ya?" Atlas mulai mencoba menceritakan masalah yang ia temui tadi. Menurutnya sangat pas jika bercerita kepada maminya, bukan kah dulu ibunya merupakan dokter jiwa? Ini akan sangat tepat jika bertanya tentang temuannya tadi saat berkunjung di rumah sekertaris nya.

"Iya lalu?" Juwita mengerutkan keningnya, wajahnya yang sedikit lebih tua, namun tak mengurangi kadar kecantikannya tentu saja di mata Brayen. Kini tengah memandang anaknya dengan lekat.

"Tadi Ata berkunjung ke rumah sekertaris baru Ata. Terus ternyata tadi Atlas melihat kakak sekertaris Ata mengamuk kepada pak RT mereka," ujar Atlas menarik nafasnya dalam dalam.

"Kenapa?" Juwita penasaran menghentikan sesi pemotongan apel yang telah gundul tersebut.

"Kakaknya terkana skizofrenia akibat dari perselingkuhan mantan istrinya dan kehilangan anak," ujar Atlas menghela nafas dalam dalam.

"Apa ada keturunannya yang begitu?" Juwita semakin memandang lekat anaknya, penasaran dengan temuan anaknya.

"Engga tahu mi, soalnya dia anak angkat dari kedua orang tua sekertaris Ata mi. Itu pengobatannya gimana ni?" Atlas memandang lekat ke arah wajah Juwita.

"Ya pengobatan rutin, bagaimana dengan sikap keluarganya?" Juwita menyuapi dirinya sendiri dengan potongan apel besar.

"Mereka tinggal berdua, eh bertiga mi dengan sahabat sekertaris Ata. Nah masalahnya menurut pandangan sekertaris Ata, kakaknya itu suka dengan sahabat sekertaris Ata. Nah kalau dia lihat ada yang dekati cewek itu atau ada yang sekedar ngajak ngobrol dia bisa marah besar, dan mengamuk gitu mi," ujar Atlas.

"Sudah berapa lama kenanya?" Juwita mangut mangut mengerti dengan keadaan tersebut.

"Sudah empat tahun gitu mi, pengobatan berjalan baru dua tahun mi," ujar Atlas menjelaskan. "Tapi kan mi, dia gila tapi kok bisa jatuh cinta ya?"

"Ata, itu bukan gila sayang, jiwanya hanya sakit. Bisa di sebabkan berbagai hal, jadi jangan sebut mereka gila," jelas Juwita tak ingin anaknya salah paham. "Pengobatannya pun sudah berjalan cukup lama, ya dua tahun begitu. Itu cukup untuk mengobati sedikit jiwanya, menyadarkan nya, dan mengalihkan kepada dunia nyata, asalkan rajin minum obat."

"Jadi dia suka dengan tu cewek wajar juga mi?" Atlas bertanya dengan penasaran.

"Iya wajar lah, orang namanya laki laki suka sama perempuan, terlebih dia itu yang selalu menemani dan selalu ada di saat terpuruk begitu, wajar rasa sukanya bertumbuh," jelas Juwita. "Lagian mereka itu tidak gila, catat tidak gila, hanya jiwanya yang perlu di sembuhkan. Wanita itu berlahan membuatnya sembuh, dan membuatnya kembali memiliki rasa cinta, itu kemajuan yang bagus. Nah kalau dia suka sama cowok itu yang harus di kembali di obati, pasalnya itu ga normal. Cowok kok sama Cowok. Mana ada yang cocok USB di colok di USB, flashdisk di colok ke flashdisk, yang ada rusak."

"Bener juga mi ya, tapi Atlas jadi merasa bersalah, dari kemarin kemarin Atlas kerjai mi, gara gara salah paham," ujar Atlas mendesah hatinya kembali diliput dengan rasa bersalah.

"Minta maaf, dan coba memberinya bantuan sebisa kamu," ujar Juwita bijak. "Tak ada manusia yang tidak berbuat salah kepada manusia lain, ingat kamu itu bukan malaikat ataupun manusia tersuci di dunia ini, kamu itu hanya manusia biasa Ata."

"Iya mi makasih ya," Atlas tersenyum senang mendengar nasihat dari maminya. Atlas sangat bersyukur memiliki mami yang selalu mengerti akan dirinya, maminya selalu mampu membaca keadaan anak anaknya, dengan demikian atlas selalu memiliki tempat untuk bercerita. "Mi beruntung banget ya ternyata jadi Ata, punya keluarga yang masih lengkap, dan mampu menjadi penghibur kala Ata kecapean karena kerja selama seharian penuh."

"Itu lah, banyak yang ingin memiliki keluarga seperti kita, namun tak mampu karena mereka memiliki problem tersendiri di dalam kehidupannya," ujar Juwita tersenyum ke arah Ata.

"Sayang, kalian lagi ngomongin apa?" Brayen datang dari arah pintu mendekat ke arah anak dan istrinya.

"Jangan bilang papi cemburu dengan Ata," ejek Atlas.

"Cih engga lah ya," sanggah Brayen membuat Juwita menggeleng tak percaya.

.

.

.

Hai sebentar lagi I'm not crazy (please love me) muncul, novel nya seru pakai bungits, di penuhi drama drama. Dan mungkin akan keluar dari genre komedi. Kyuk pantengin bulan dua, sudah mulai keluar loh.

Terpopuler

Comments

wen cavan

wen cavan

waah bacaan baru lagi nih,semangat Otor🥰

2022-01-24

0

It's me

It's me

Next kak semangat salam hangat dari Saathiya ❤️

2022-01-23

0

lina

lina

next anna

2022-01-23

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!