Ahmed dan Bilqis baru saja pulang dari pemotretan yang melelahkan, namun menyenangkan bagi Ahmed. Mereka akan mampir untuk sekedar makan, waktu photo prawedding memang sangat lama, mereka bahkan harus berganti pakaian dan dandanan beberapa kali, Ahmed menepikan mobil mereka di semua rumah restoran yang lumayan terkenal.
Ahmed menggandeng tangan Bilqis untuk masuk ke dalam restoran tersebut. Mereka telah duduk di meja kosong, seorang pelayan datang menghampiri mereka. Mereka memesan makanan yang mereka inginkan. Ahmed mengeluarkan ponselnya dan melihat beberapa hasil jepretan mereka.
"Iqis menurut kamu bagusan yang mana?" Ahmed memperlihatkan foto mereka.
"Ini nih kak, Iqis suka yang ini," Bilqis menunjuk foto dimana dirinya tengah menarik dasi Ahmed, sementara Ahmed memeluk pinggang Bilqis, mereka memang sangat tampak serasi, dan sangat cantik di dalam foto tersebut. Ahmed terkekeh melihatnya. Ahmed bahkan mengakuinya bahwa ia sangat suka posisi foto itu. Mereka sangat dekat, dan bahkan Ahmed dapat merasakan harumnya leher Bilqis. Melihat dengan jelas betapa indah dan kokohnya leher Bilqis.
Ahmed bahkan sampai harus menggigit bibirnya, demi menahan gejolak di dalam dirinya. Ahmed tertangkap kamera tengah melirik leher Bilqis dengan menggigit bibirnya. Namun justru itu terlihat sangat bagus. Bilqis bahkan sangat menyukainya.
"Iqis kakak bisa baring ga di situ?" Ahmed menunjuk paha Bilqis, laki laki itu sedikit mengusap tengkuknya dan sekali kali memijat pangkal hidungnya.
"Hah? Kakak sakit? Ya udah kita pulang sekarang, biar Iqis yang bawa mobilnya," Bilqis menampakkan wajah khawatirnya.
"Hm... ga usah Qis, kita di sini aja, kakak cuman butuh istirahat atau baring sebentar," ujar Ahmed menggelengkan kepalanya.
"Ya udah kita ke ruang VIP aja kak," Bilqis segera memberi usul. "Atau ke mobil, istirahatnya."
"VIP aja Qis," ujar Ahmed merebahkan kepalanya di pundak Bilqis.
"Kak nanti makanan meja di sini di pindahkan ke ruang VIP ya," Bilqis berujar kepada seorang pelayan. "Kak bisa berdiri?"
Ahmed hanya mengangguk menyenderkan kepalanya di bahu Bilqis, berjalan sedikit sempoyongan, mencoba menegakkan tubuhnya. Pandangannya buram, tubuhnya terasa lemas. Darah Hb Ahmed memang rendah, terlebih akhir akhir ini aktifitasnya sangat banyak dan menguras tenaga. Siang dirinya ada kegiatan dengan Bilqis, sedangkan malam terkadang masih harus bergadang mengerjakan tugas kantor yang ia pimpin. Pasalnya sangat ayah sudah tak lagi menjalankan perannya sejak satu tahun lalu, jadi tugas Ahmed semakin berat.
Ahmed memang memiliki asisten dan sekertaris, namun Ahmed juga tak ingin lepas tangan, menyerahkan semua kepada mereka berdua. Ahmed tetap harus ikut andil sesibuk apapun dirinya, meski hanya melihat dan membaca setiap laporan yang ada. Terlebih terkadang keharusan melakukan meeting online maupun offline dengan beberapa klien, dan staf kantor nya, dan kantor cabang.
Sesampainya mereka di ruang VIP Ahmed segera berbaring, dengan kepala yang menengadah ke atas, pandangannya masih sangat buram, keringat dingin nya telah bercucuran. Bilqis yang khawatir segera duduk dan membawa kepala Ahmed ke pangkuannya. Ahmed tak menolak, ia merasa nyaman. Terlebih saat ini Bilqis memijat pelan kepala Ahmed, meremas pelan rambut Ahmed. Hingga Ahmed merasa sedikit lebih baik.
"Kakak, kakak dengar Iqis kan?" Bilqis mencoba menyadarkan Ahmed, mencoba menguji kesabaran laki laki tersebut.
"Emh..." hanya itu yang keluar dari bibir Ahmed, jujur ia kini tak sanggup lagi bersuara, ia ingin tidur, rasanya sangat nyaman, terlebih merasakan pijatan hangat dari Bilqis. Pendengarannya mulai kabur terlebih disekitar memang sepi.
"Kak, jangan tidur. Minum dulu kak," ujar Bilqis masih mencoba menyadarkan Ahmed. Bilqis sangat khawatir terlebih merasakan tangan Ahmed mulai dingin, Bilqis melihat seorang pelayan membawakan makanan mereka. "Kak bisa tolong belikan saya minyak kayu putih, atau minyak angin?"
Pelayan tersebut mengangguk, dan segera keluar dari ruangan tersebut. "Kak sadar kak. Kakak masih bisa dengar suara Iqis kan?" Bilqis terus mencoba mencari kesadaran Ahmed. Terlebih laki laki itu tampak memejamkan matanya, dengan tangan yang terkulai lemas. "Kak..."
Seorang pelayan masuk dengan membawa pesanan Bilqis, Bilqis menyambutnya dan meneteskannya di tangan, Bilqis menggosokkan di pelipis, telapak tangan, dan tengkuk Ahmed.
Ahmed dapat merasakan hangatnya telapak tangan Bilqis yang tercampur dengan minyak kayu putih. Namun penciuman Ahmed rasanya kebas, nafasnya masih sedikit sesak, angin di sekitarnya masih terasa dingin, padahal Bilqis telah mematikan pendingin suhu ruangan tersebut.
"Qis, kakak tidur ya," Ahmed mengeluarkan suaranya dengan sangat pelan, rasanya mengeluarkan suara saja sangat menguras tenaganya, ia tak bertenaga. Ahmed merasa hampa, sekitarnya hampa, hanya Bilqis yang ia rasakan di sekitarnya.
"Jangan kak, makan dulu baru kakak tidur," ujar Bilqis terus menggosok tangan Ahmed.
Ahmed mencoba membuka matanya, meski rasanya membuka matanya sangat berat, ia benar benar butuh tenaga besar untuk hanya sekedar membuka matanya.
"Kakak duduk kepalanya nyender biar Iqis yang suapin," ujar Bilqis mencoba memberi pengertian kepada Ahmed.
Ahmed mengangguk pelan Bilqis mencoba menahan kepala Ahmed, dan membatu Ahmed untuk bangun dari tidurnya. Ahmed tersenyum kala mendapat perhatian sedemikan rupa dari Bilqis. Sakitnya kali ini membawa berkah, membuat laki laki itu melihat betapa tulusnya dan perhatiannya calon istrinya kepadanya.
"Aaa... kak, buka mulutnya," Bilqis mencoba memasukkan makanan ke dalam mulut Ahmed. Ahmed hanya membuka mulutnya sedikit. "Mau minum ga kak?" Ahmed hanya menggeleng, mengunyah makanan tersebut dengan pelan.
Pandangan Ahmed kembali kabur, Ahmed tak merasakan pening, namun lemas luar biasa. Ahmed kembali merasa tak mampu menopang berat tubuhnya. Ahmed kembali membaringkan tubuhnya di atas sofa.
"Kak jangan baring lagi kak," Bilqis mencoba membangunkan Ahmed.
"Kakak ga kuat Qis," ujar Ahmed pelan membuat Bilqis memandang wajah calon suaminya dengan iba. "Ya udah kakak baring di paha Iqis, biar Iqis suapin," ujar Bilqis membenarkan letak kepala Ahmed, agar berbaring tepat di atas pahanya, dengan kepala yang menghadap ke atas. "Aaa, kak pelan pelan ngunyahnya."
Bilqis mengusap lembut kepala Ahmed, sembari dirinya ikut makan, Tangan Bilqis sesekali kembali menggenggam tangan Ahmed. "Kakak sering gini?"
Ahmed menggeleng. "Jarang kalau kakak kecapean banget baru gini," ujar Ahmed pelan, mencoba memandang ke arah Bilqis.
"Kayaknya kakak kekurangan darah Hb deh, mending nanti kita ke dokter habis ini, kakak cek keadaan kakak, nanti kalau kita duduk di pelaminan masa kakak tiba tiba harus gini. Kan ga lucu kalau pengantin cowoknya di ganti yang lain," ujar Bilqis mengusap lembut kepala Ahmed. "Ayo makan lagi, sedikit lagi habis ini."
"Hm..." Ahmed kembali membuka mulutnya dengan pelan, Bilqis tersenyum melihatnya. Wanita itu terus menyuapi calon suaminya hingga makanan tandas tersisa hanya sedikit.
"Minum kak," ujar Bilqis menyodorkan pipet di mulut Ahmed. Ahmed menerimanya, dan mulai menyesap minuman tersebut.
"Hm... kakak ga mau lagi Qis, kakak mau tidur," ujar Ahmed membuat Bilqis segera merebahkan badannya, sementara Ahmed yang merasakan pergerakan Bilqis membuka matanya dengan pelan, kemudian memeluk tubuh Bilqis dengan erat.
Bilqis rupanya ikut berbaring di ruangan tersebut, sejujurnya dirinya juga lelah.
......................
Atlas tengah duduk di mejanya, ia tersenyum kala melihat tugas dadakan yang telah ia berikan kepada sekertaris barunya. Ia sungguh bahagia menyiksa gadis tersebut.
Saat Anisa tengah mengerjakan seluruh berkasnya, tiba tiba Tate datang dan tersenyum ke arahnya. "Belum makan siang kan?" Tate meletakkan sebungkus makanan untuk Anisa.
Anisa kaget dia menjadi bingung sendiri, kenapa Tate melakukan hal ini kepadanya? Padahal hingga tadi siang Tate tak tampak di kantor. "Maaf, pak sebelumnya, dalam rangka apa ya?"
"Oh... Ini dalam rangka kasihan dengan kamu, soalnya kamu harus kerja rodi dengan kakak," ujar Tate tersenyum ke arah Anisa. "Entah kan jadi kakak ipar."
Anisa memicingkan mata merasa bingung dengan apa yang di dengarnya. "Terimakasih loh pak, kemarin adik bapak, nona Iqis, eh sekarang bapak," Anisa mencoba mengalihkan perhatian dari ucapan Tate.
^^^Wah baik semua rupanya kecuali dia, ish... kok bisa? Jangan jangan dia cuman anak angkat, jadi pancingan doang. Anisa.^^^
"Oalah kami Menag baik baik orang nya," ujar Tate sombong.
"Iya tapi si iblis muka datar kulkas dua pintu paling antik sendiri," gumam Anisa membuat Tate tertawa mendengar penuturan Anisa.
"Iblis muka datar kulkas dua pintu? Ya ampun... kamu kok lucu benget sih?" Tate tertawa merasa lucu dengan panggilan untuk kakaknya. "Awas loh entar aku aduin," ujar Tate terkekeh .
"Eh jangan pak, nanti saya sudah cari kerjanya. Gajinya besar lagi," ujar Anisa membuat Tate merasa ada sesuatu yang Anisa perjuangkan.
"Kamu memang butuh duit?" Tate mulai duduk di hadapan Anisa.
"Eh... di bilang butuh ya pasti lah pak, kan semua orang" ujar Anisa mengalihkan perhatian.
"Iya tapi banyak yang ga tahan mereka," ujar Tate merasa penasaran. Jiwa keponya meronta ronta. Tate tersenyum, bukan dirinya jika tidak sanggup membuat Anisa bercerita tentang kisah hidupnya.
Benar saja setelah berbagai bujukan setengah jam kemudian Anisa mulai menceritakan tentang kisah hidupnya. Tate mengangguk mengerti, entah mengapa ia merasa antara kasihan dan ngeri. Jika saja itu dirinya, bisa di pastikan ia tak akan sanggup.
"Hebat kamu sanggup menghadapi kakak mu, dan sahabat mu itu juga keren. Bagaimana? Sekarang dia bersedia melanjutkan kuliahnya?" Tate bertanya dengan sangat penasaran.
"Dia bilang lebih baik dia membangun usaha kecil kecilan saja, soalnya dia bilang pasti aku akan sibuk, sementara tak ada yang menjaga kakak," ujar Anisa menghela nafas panjang, mengingat bagaimana berartinya sahabat baiknya. Entah apa yang akan ia lakukan jika sahabatnya itu tak ada. Tak terasa sudut air matanya mengalir air mata, sehingga Tate memberikan tisu kepada Anisa. "Dia wanita yang kuat dan tangguh."
"Hm... setidaknya kau sekarang memiliki gaji yang cukup besar untuk keperluan berobat kakak mu, dan teman mu bisa membangun usaha sembari menjaga kakak mu. Jika butuh bantuan katakan saja, jangan sungkan," ujar Tate menghibur Anisa.
^^^Wah berat ni, kasihan juga kalau kakak ngasih dia kerjaan cukup banyak. Tapi setidaknya ada temannya, jadi penasaran dengan temannya. Tate.^^^
"Te tidak ada pekerjaan?" Atlas tiba tiba muncul dari balik pintu.
"Eh kak, iya ini jadi lupa. Tadi Tate mau ngantar laporan, eh keterusan bicara," ujar Tate segera meletakkan sebuah map hijau di atas meja Anisa. "Ayo kak, sekalian mau ngomong sama kakak," ujar Tate menarik tangan Atlas.
Sesampainya mereka di ruangan Tate segera duduk di hadapan kursi kebesaran Atlas. "Kamu kenapa Tate?" Atlas menatap bingung ke arah Tate.
"Kakak sebaiknya jangan suka ngerjai sekertaris kakak deh," ujar Tate mulai merasa bersalah. Setidaknya ia ikut andil dalam penyiksaan sekertaris baru Atlas.
"Kenapa? Kamu suka dia?" Atlas memandang curiga ke arah Tate.
"Eh tidak itu kak," ujar Tate segera membantah. "Tapi kalau Tate cerita kakak jangan marah ya."
"Apa Tate?" Atlas penasaran di buat Tate.
"Sebenarnya ini berkaitan dengan kejadian di minimarket, yang menyebabkan Anisa di pecat," ujar Tate berhati hati.
"Maksud kamu apa?" Atlas jelas ingat betul kejadian tersebut, dirinya merasa sungguh sangat di permalukan.
"Sebenarnya itu Tate mau ngerjain kakak, Tate kira Anisa bakal senang kakak colek, rupanya dia kesal," ujar Tate mengusap tengkuknya.
"Tate..." Atlas menggeram kesal terhadap Tate. Ternyata dirinya juga salah faham terhadap sekertaris nya. Sehingga tega menyiksa sekertaris nya. sendiri.
"Ya ampun kak," Tate segera berlari menjauhi meja Atlas.
"Sini kamu Tate," Atlas semakin kesal saja di buatnya.
"Kak jangan kak, kan sudah janji. Lagian ada lagi yang penting yang harus kakak ketahui," ujar Tate berteriak dari jauh, ia tak ingin mendekat dengan kakaknya yang pastinya akan memukul pantatnya.
^^^Jangan dekat dekat nanti pantat ku tepos seketika. Tate.^^^
"Apa lagi Tate?" Atlas menghentikan langkahnya hendak mengejar Tate.
"Sebenarnya Anisa kuat kerja sama kakak, karena dia nyari duit untuk pengobatan kakaknya yang sakit jiwa," ujar Tate cepat, semakin membuat Atlas terkejut.
"Sini cerita," ujar Atlas akhirnya.
"Janji jangan di pukul ya," Tate masih tak percaya kepada Atlas.
"Iya kakak janji, cepat sini cerita," ujar Atlas menghela nafasnya.
"Duduk dulu di kursi kakak," pinta Tate, mau tak mau Atlas harus menuruti keinginan Tate.
"Sudah," ujar Atlas setelah dirinya mendudukkan dirinya di kursi kebesarannya.
"Jadi gini," Tate berjalan pelan ke arah meja Atlas. "Anisa itu kakaknya mengidap penyakit skizofrenia, akibat dari depresi. Nah sampai saat ini, proses penyembuhannya sudah berjalan dua tahun. Dia butuh uang banyak, dan pengobatannya harus rutin. Jadi temannya memutuskan untuk berhenti kuliah dan membantu pengobatan kakaknya," jelas Tate secara cepat.
"Sahabatnya cowok?" Atlas penasaran sendiri.
"Bukan dia cewek, tapi tinggal dengan mereka. Sudah lamaaaa banget, terus terjadi hal seperti ini, temanya akhirnya memutuskan berhenti kuliah, dan membantu pengobatan kakaknya, kebetulan temannya itu jurusan psikologi," jelas Tate. "Nah sekarang temannya bangun usaha gitu di rumah, sekalian bantu perekonomian mereka, dan jagain kakaknya."
Atlas mengangguk mengerti, diam diam ia salut akan perjuangan Anisa yang mengorbankan segalanya untuk kakaknya, Atlas menjadi penasaran dengan kehidupan sehari hari dari Anisa, sang sekertaris yang dulu sempat ia musuhi karena salah paham.
"Ah... Kakak jadi merasa bersalah. Ini juga karena kamu Tate," Atlas kembali bangkit membuat Tate berlari segera keluar dari ruangan Atlas.
"Bay kak...."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
💞 NYAK ZEE 💞
😂😂😂 gara2 di kerjain malah untung banyak kan si Ahmed....
2022-01-22
0
Ika Sartika
next
2022-01-20
0
💞 NYAK ZEE 💞
Ahmed saya kira modus tak taunya beneran lemes ....
atlas baik2in Anisa deh.... untuk minta maaf .....
2022-01-20
1