Kamar Fadli dan istrinya .....
“Kenapa kamu gak bilang kalau kamu lagi halangan? Ini kan udah kayak bulan madu kita, Ntan, kamu ngecewain aku banget sih,” gerutu Fadli pada Intan, istrinya.
“Maaf, Mas, mana aku tahu kalau hari ini jadwal halanganku, aku kan punya siklus menstruasi yang gak teratur. Kukira datangnya bakal minggu depan, tahunya malah sekarang, kan. Maaf ya ngecewain kamu,” Intan menunduk, ia merasa bersalah.
Fadli amat kecewa dengan kenyataan bahwa sang istri mengalami haid hari ini. Tentu saja hari ini ia tak bisa melakukan malam panjang dengan sang istri. Padahal, sudah dicita-citakan oleh Fadli, jika ia akan menghabiskan malam panas bersama Intan. Nyatanya, Fadli harus menelan kekecewaan ketika mendapati sang istri tengah haid.
Padahal, Fadli sudah mengimpikan malam panjang mereka di Bali. Kandas dan dadas sudah, harapan Fadli untuk meniduri sang istri. Akhirnya, karena kesal, Fadli memakai switternya dan memutuskan untuk pergi keluar menenangkan dirinya. Fadli malas jika ia berada di kamar dengan istrinya, akan sangat tak nyaman sekali baginya, karena ia tak bisa menuntaskan hasrat yang telah ia tahan sejak tadi.
“Mas Fadli mau ke mana?” tanya Intan sedih.
“Aku mau minta tukeran kamar sama Nicko,” Fadli melengos keluar, saking ia kesalnya.
“Mas, maafin aku,” Intan menunduk lesu.
“Sudah, tak apa. Aku hanya ingin mencari angin segar saja,” Fadli pun meninggakan Intan sendirian.
Fadli mendengus kesal dalam hatinya. Ia tak sangka, jika Intan akan datang bulan di saat yang tidak tepat seperti ini. Ingin rasanya Fadli berteriak di tepi pantai, dan mengeluarkan semua kekesalan dalam hatinya. Fadli pun berniat untuk ke kamar Nicko, dan mengajak Nicko mengitari pesisir pantai.
Menurut Fadli, ini saat yang tepat, karena Nicko dan Giara memang tak ingin satu kamar bersama. Kenapa tak biarkan Intan dan Giara satu kamar saja? Biar Nicko dan Fadli yang tidur bersama. Toh, Fadli tak bisa melakukan malam panjangnya dengan Intan.
DI sisi lain, Nicko dan Giara tengah terlibat perbincangan yang sedikit aneh. Kali ini, mereka tengah bingung membahas akan tidur di mana. Memesan kamar lain, sudah tak bisa. Tidur di sofa, siapa siapa yang mau tidur di sofa? Nicko? Ia yang membayar kamar hotel ini, tak mungkin Nicko mau tidur di sofa.
Giara? Dia seorang wanita, tegakah seorang laki-laki membiarkan wanita tidur di sofa? Walau sejatinya, yang membayar semuanya adalah Nicko. Giara terdiam, karena ia bingung harus tidur di mana. Haruskah Giara benar-benar tidur di sofa?
Waktu semakin malam, namun mereka masih belum juga terlelap. Bagaimana mau terlelap? Jika mereka saja bingung akan tidur di mana. Nicko menatap Giara, merasa ada hal yang belum bisa mereka selesaikan. Yaitu tidur di mana?
"Aku tidur di mana, Pak?" tanya Giara spontan.
“Maunya, tidur di mana?” Nicko bertanya balik.
“DI kamar sendiri.”
“It’s impossible,” jawab Nicko.
“I don’t know, Pak, aku tak tahu.”
Nicko terdiam, ia sedikit berdehem, "Kamu mau tidur satu ranjang denganku?"
"Ha? A-apa?" Giara kaget bukan main.
“Aku tak mungkin tidur di sofa, aku juga tak mungkin membiarkanmu tidur di sofa. Jalan keluarnya, hanyalah kita tidur satu ranjang. Benar begitu bukan?” jawab Nicko enteng.
“Bilang saja Pak Nicko ingin tidur denganku!” Giara mendelikkan matanya.
“Kau tidur di sofa saja Giara, aku akan tidur di ranjangku!” tegas Nicko, lalu ia beranjak menuju ranjangnya, dan membiarkan Giara seorang diri.
“Astaga, ya Tuhan, b-bukan begitu maksudku, Pak. Aduh, beneran ini aku tidur di sofa?” Giara menggigit bibirnya, merasa keberatan.
“Aku tak mau tidur satu ranjang denganmu, puas!”
Deg. Ucapan Nicko benar-benar terdengar puas pada Giara. Ini juga salah Giara sendiri, kenapa harus memancing Nicko yang sedang tenang. Jika dipancing seperti itu, tentu saja Nicko kesal dan akan bersifat masa bodoh pada Giara. Tiba-Tiba, pintu kamar hotel Nicko ada yang mengetuk.
Nicko tersadar, karena dia belum sepenuhnya tidur. Akhirnya Nicko bangun, dan melihat jam. Hampir pukul satu, dan ada yang mengetuk pintunya. Siapa? Nicko tak tahu. Nicko menatap Giara, seakan mengisyaratkan, siapa yang malam-malam begini mengetuk pintu.
“Buka pintunya, sana!” Nicko menyuruh Giara.
“Kok aku sih, Pak? Ini kan kamar Pak Nicko, Bapak aja yang buka pintu. Malu aku,” Giara beralasan.
“Dasar malas!” mau tak mau, Nicko bangun dan membuka pintu.
Nicko menggerutu, sambil berjalan menuju pintu kamar hotelnya, “Siapa sih, malam-malam begini mengetuk pintu? Apa tak ada kerjaan mengganggu orang yang akan tidur?”
Saat Nicko membuka pintu kamarnya, betapa kagetnya ia ketika melihat Fadli yang berada di depan kamarnya. Fadli? Bukankah Fadli tak akan bisa diganggu? Kenapa pula sekarang ia malah mengetuk pintu kamar Nicko?
“Fadli? Ada apa? Kenapa kamu mengetuk pintu malam-malam begini? Ritual malammu telah selesai? Cepat sekali,” sindir Nicko.
“Berisik kamu, Nick. Apa Giara sudah tidur?” Fadli malah menanyakan Giara.
Nicko mengernyitkan dahinya, “Kenapa kamu mencarinya? Dia belum tidur,”
“Baiklah, kita bertukar kamar saja. Biarkan Giara tidur di kamarku bersama Intan. Dan aku, aku akan tidur di kamarmu, tentunya bersamamu.” Jawab Fadli seakan tak semangat.
“Lah, ada angin apa nih? Kenapa tiba-tiba jadi berubah seperti ini? Bukannya tadi kamu menolak habis-habisan, Fad?”
“Udah deh, jangan banyak bicara. Asal temani aku saja ke pesisir pantai sekarang. Ayolah, biarkan si gula itu segera ke kamar istriku.” Pinta Fadli.
“Rupanya masalah berat ya, Fad? Baiklah, baiklah, aku akan segera memberi tahu Giara. Kamu tunggu dulu, aku pun akan bersiap memakai jaket.”
Fadli hanya mengangguk. Nicko pun masuk lagi kedalam kamarnya. Nicko lalu menghampiri Giara, dan segera mengatakan pada Giara, jika ia bisa tidur bertukar kamar dengan Fadli. Jika seperti itu, Giara tak perlu lagi pusing akan tidur di mana.
“Kamu tidur bersama istri Fadli, biarkan Fadli yang akan tidur di sini.” Ucap Nicko pada Giara.
“Wah? Asyik, baiklah, Pak ... aku akan membawa beberapa perlengkapanku dulu,” Giara begitu antusias.
Setelah selesai, mereka pun pergi ke kamar Fadli, dan memberi tahu Intan, jika malam ini Giara yang akan tidur bersamanya. Intan pasrah, ia menerima permintaan itu. Giara heran, kenapa dengan mudahnya mereka bertukar kamar? Apa Nicko menyogok Fadli? Ah, tapi Giara tak peduli. Ia lebih baik bersiap untuk terlelap, dan tak memikirkan apa yang tak semestinya ia pikirkan.
Sesuai janji, Nicko menemani Fadli pergi ke pinggiran pantai. Suasana pantai masih tetap ramai, walau kini telah dini hari. Mungkin karena ini hari weekend, banyak orang-orang ataupun wisatawan yang tengah bergadang untuk menghabiskan masa liburannya. Fadli mengajak Nicko untuk duduk di pinggir pantai, sembari menghirup udara malam di pantai Bali tersebut.
“Kamu kenapa sih Fad? Marahan sama istri kamu?” tanya Nicko.
“Aku kesal padanya, sangat kesal, Nick.” Ucap Fadli.
“Kenapa harus kesal? Apa yang istrimu lakukan?” Nicko penasaran.
“Jika kamu dengar alasannya, kamu pasti akan puas menertawakanku.” Ucap Fadli.
“Seyakin itukah kau Fad? Apa memang aku akan tertawa setelah mendengar penjelasanmu?” tanya Nicko.
“Ya, sudah kuduga, kau pasti akan menertawakanku terbahak-bahak.”
“Aku ingin tahu, apa yang terjadi padamu?” tanya Nicko.
“Dia halangan, saat aku akan melakukan malam panjang kita. Sangat tiba-tiba dan mendadak. Sangat menjengkelkan, bukan? Kau pasti akan puas menertawaiku,” ujar Fadli menebak.
Nicko menatap Fadli begitu tajam, rupanya Nicko tak berminat untuk menertawakan Fadli.
“Kenapa kau tak menertawaiku? Karena sudah kuberi peringatan ya?” Fadli menebak lagi.
“Tidak, tidak seperti itu. Untuk apa aku tertawa? Aku malah kasihan pada istrimu! Tega sekali kamu, Fad.” Imbuh Nicko.
“Apa? Tega? Tega bagaimana? Jelas-Jelas dia yang membuatku kesal. Kalau tahu dia akan halangan seperti itu, lebih baik aku tak membawanya.” Tambah Fadli.
“Kamu egois sekali, Fad. Kenapa harus marah karena istrimu halangan? Kamu juga pasti bersifat berbeda padanya, iya? Padahal, siklus menstruasi seorang wanita itu hanya berkisar satu minggu saja biasanya. Kamu sungguh tak bisa menahannya selama satu minggu? Baru hal seperti ini saja, malah marah. Bagaimana denganku, Fad? Yang tak pernah lagi merasakan hal seperti itu hampir enam tahun lamanya?” ucapan Nicko membuat Fadli kaget.
Astaga, Nicko ... apa aku kini melukai hatimu? Ucapanmu benar, Nick. Aku sungguh tertampar dengan apa yang kau ucapkan barusan. Ucap Fadli dalam hati.
*Bersambung*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
susi 2020
😍😍🥰🥰
2023-05-08
0
susi 2020
😎😎🙄😲
2023-05-08
0
Yesi Triyanto
lelaki egois klu istri lho gak blh halangan kawin ama banci noh
2022-02-21
0