12

Seharusnya aku sadar akan darah penjajah yang melekat pada diriku

-Henrick

Sudah satu pekan keadaan rumah terlihat hampa tanpa kehadiran Sita, rasa kecewa pada ungkapan yang dilontarkan Sita terus saja terngiang dipikirannya. Henrick mencoba untuk menahan rasa sedihnya namun usahanya sia-sia. Ia beranjak dari kasurnya untuk segera melakukan rutinitasnya dengan pergi ke barak, setelah ia selesai mengikat tali bootnya kemudian ia berangkat.

\*\*\*\*

"Ada apa ? Kenapa wajahmu murung seperti itu? " tanya Williem.

Henrick hanya tersenyum sembari menggelengkan kepalanya.

"Banyak yang harus dikerjakan hari ini" ujar Willem.

"Hey kawan, kau sepertinya sedang tidak bergairah” Willem menepuk pundah Henrick.

"Jangan khawatir akan aku lakukan" balas henrick dengan wajah yang datar.

“Perlu kau ingat jika memiliki masalah, kau bisa ceritakan kepadaku” Ujar Willem.

Henrick meninggalkan kawannya yang nampak kebingungan akan tingkahnya ,kemudian Henrick menuju ke lapangan untuk melatih para prajurit di barak. Pagi itu Batavia terlihat ramai seperti biasanya bahkan tidak ada bedanya dengan saat menjadi jakarta. Kegiatan transaksi terjadi di sekitar pertokoan, dari pedagang Tionghoa ataupun timur tengah memenuhi pertokoan. Jika tidak karena jamu untuk mbok karti, dirinya akan malas untuk berjalan di tempat ramai seperti ini, Sita berjalan melewati pembeli yang berdesak-desakan, tampak diseberang toko pakaian dirinya melihat orang yang dikenalnya yaitu gadis menyebalkan Emma. Pedagang jamu tersebut bahkan berada di samping toko tempat dirinya melihat Emma, kini ia terpaksa harus bertemu wanita menyebalkan itu.

"Ayo cepat Sita" ujar Dewi.

Syukurlah sita pergi bersama Dewi, anak dari mbok karti sehingga dirinya tidak perlu khawatir akan tersesat.

"Saya ambil jamunya satu" ujar Sita.

Bapak itu memberikan jamu dalam wadah botolan kaca.

"Tolong bantu aku membawanya" ujar Sita pada Dewi.

“Baiklah, berikan kepadaku”

Emma yang saat itu selesai berbelanja lantas tanpa sengaja melihat sita yang kemudian gadis londo tersebut datang menghampirinya sambil mengolok - olok Sita dan Dewi.

"Orang miskin tentu saja hanya bisa membeli minuman aneh" sindiran emma itu membuat sita tersulut emosi.

"Hey tolong jaga ucapanmu! Siapa yang kau sebut miskin? Tolong bercermin sebelum berbicara" ujar Sita.

“Ada apa? Kau tidak bisa menerimanya?” Emma menatapnya sinis.

“Dasar wanita bodoh!” Emosi Sita yang meninggi lantas menjambak rambut Emma.

Dewi mencoba melerainya namun percuma saja, Sita terlihat emosi terlebih lagi Emma sempat menghinanya saat dirinya hendak menuju rumah mbok ayu sehingga orang sekitar harus ikut membantunya dan menyebabkan keramaian disana. Kaum Belanda yang tengah berada disana lantas melihat Sita dengan pandangan yang buruk.

"Maafkan teman saya nona, sepertinya ia kelelahan” Dewi yang merasa sungkan pada Emma dikarenakan ia hanya sebatas pribumi.

"Kau tidak pantas meminta maaf padanya" tegas Sita pada Dewi.

"Aku tidak tahu kenapa

Henrick bisa berteman dengan pribumi sepertimu" ujar Emma.

Sita hanya diam dan mencoba menahan emosinya sekuat mungkin saat emma menyebut nama Henrick, Sita adalah gadis dengan emosi yang cepat terpancing sehingga ia tidak segan untuk melawan ketika seseorang mengusiknya.

"Dewi, ayo kita pergi" Sita menarik tangan Dewi lalu meninggalkan emma yang terlihat puas mengolok-olok Sita.

******

"Mbok , ayu di minum" Sita membawakan jamu yang ia beli pada mbok Karti.

"Terima kasih non"

Mbok Karti meneguk jamunya hingga habis, Sita hanya melihat mbok Marti menghabiskan jamunya yang terlihat pahit bahkan membayangkan saja Sita sudah merasakannya.

“Apakah kau ingin minum juga?” Mbok Karti menawarkan Sita.

“Aku tidak terlalu suka mbok” jawabnya

"Mbok hari ini sudah izin untuk tidak bekerja pada tuan muda" ujar mbok.

Sita tidak bergeming dan hanya menatap mbok karti. Sita berusaha untuk tidak memikirkan Henrick karena itu akan membuat dirinya semakin kesal dengan Henrick.

"Sudah satu pekan kamu disini, apa sebaiknya non kembali ke rumah tuan muda ?" tanya mbok Karti

"Aku tidak tahu mbok" jawab Sita dengan datar .

"Mbok Ayu sudah mengikhlaskan Gendis" ujar mbok karti .

"Apa itu benar ?" tanya Sita

"Tentu saja non, Tuhan sangat menyayangi Gendis dan tidak ingin membuatnya menderita" kalimat itu sudah sering ia dengar saat sita kehilangan adik perempuannya yang meninggal akibat kecelakaan.

"Sekarang giliran kamu yang harus mengikhlaskan Gendis dan memaafkan tuan muda" mbok Karti mencoba meyakinkan Sita.

"Aku membutuhkan waktu" jawab Sita.

"Tidak mengapa, non sita sudah ingin berusaha" ujar mbok karti.

Kemudian mbok Karti beranjak dari kursi kayunya untuk melanjutkan pekerjaan rumah. Kini dipikiran sita hanya terbayang Henrick dan ucapan miliknya yang membuat henrick terlihat kecewa pada Sita, hari itu dirinya melakukan kesalahannya lagi untuk kedua kalinya.

\*\*\*\*\*\*\*

Sesekali Henrick menyeruput tehnya untuk menikmati senja di teras depan, dirinya terbayang saat sita duduk di dekat taman bunga miliknya. Terbayang wajah Sita yang manis dan rambut hitamnya yang terurai membuat siapa saja terpesona melihatnya tanpa terkecuali Henrick.

"Sita ?" ia pikir dirinya melihat Sita namun itu hanyalah halusinasinya saja.

Hari semakin petang, Henrick memikirkan apa yang sedang sita lakukan hari ini, bahwa ia sangat merindukan Sita.

Begitu juga dengan Sita, hari ini entah mengapa dirinya selalu terbayang sosok Henrick, terlebih lagi setelah emma mengucapkan kalimat yang baginya menusuk. Dirinya memandangi kegelapan malam dengan cahaya sinar rembulan yang tampak terang benderang seolah menjadi saksi bisu atas kerinduan dua manusia. Mbok Karti yang melihat Sita, dirinya tahu bahwa gadis itu tampak terlihat memikirkan Henrick.

"Non Sita tidak tidur ?" tanya mbok Karti sembari menggantung lampu petromak pada dinding.

"Belum ngantuk mbok" jawab Sita.

Kini mbok Karti berjalan mendekati Sita lalu mengusap rambutnya.

"Kalau kamu ingin berkeluh kesah pada mbok, cerita saja" ujar mbok Karti.

"Tentu saja mbok, terima kasih atas perhatiannya" senyum tipis muncul dari bibir Sita.

"Kamu tahu tidak? Kalau mbok sudah anggap kamu anak sendiri" ujar mbok Karti.

Hati Sita merasa tersentuh mendengar ucapan mbok karti, wajar saja begitu karena Sita hanya tinggal di Jakarta seorang diri sedangkan ibu dan ayahnya bekerja di Jogyakarta sebagai manager perusahaan properti, harta yang melimpah tentu saja ia dapatkan namun tidak dengan kasih sayang. Akhirnya Sita memutuskan untuk melanjutkan kuliahnya di ibukota walaupun terbilang nekat, ia ingin hidup mandiri, hal ini Sita lakukan untuk mendapatkan pengalaman baru terlebih lagi dirinya tidak begitu merasa kesepian karena memiliki sahabat Via, walaupun terkadang Sita tetap saja merindukan kasih sayang sesosok orang tuanya.

"Sekarang waktunya non Sita tidur" ujar mbok Karti.

"Iya mbok" Sita merebahkan badannya di atas anyaman tikar serta menarik selimut kain guna menghangatkan dari rasa dinginnya udara.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!