“Saya terima nikah dan kawinnya Gendis Anindya binti Arif Anindya dengan seperangkat alat sholat dibayar tunai.” Kaivan mengucapkan kalimat ijab kabul dalam pernikahannya dalam sekali tarikan nafas. Yang kemudian disambut dengan kata “sah” dari para saksi dan tamu yang hadir.
Semua orang kemudian nampak khusyu berdoa, begitupun Gendis. Semua rasa bercampur dalam dirinya, ia kini resmi menjadi Istri “kontrak” untuk Kaivan.
...***...
“Sudah doong… Eyang Putri dan Eyang Kakung jangan sedih terusss.. nanti main-main ke Jakarta ya ketemu Shila.” Ucap Shila sok dewasa saat menjawab panggilan telepon dari Kakek dan Neneknya.
Usai pesta pernikahan, Kaivan memang langsung memboyong Shila dan Gendis untuk tinggal bersamanya di Jakarta. Tidak ada alasan lagi sekarang untuk menitipkan Shila kepada Kakek dan Neneknya di Semarang lagi.
Sementara Shila tengah asyik menelepon, tampak Gendis dan Kaivan tengah berbicara serius di kamar. “Kamu kok nggak cerita sih Mas punya pembantu dirumah? Kenal baik sama Bu Anggi.. eh Ibu lagi” protes Gendis ketika baru sampai dirumah Kaivan. Rencananya untuk menggunakan kamar terpisah dengan Kaivan terancam gagal, bisa-bisa ia bisa langsung ketahuan oleh keluarganya karena laporan pembantunya.
“Atau aku pecat saja Ibu Tiwi nya? Kita ganti sama pembantu lain yang Ibu nggak kenal?” usul Kaivan, ia hampir melupakan keberadaan pembantu Rumah Tangganya dirumahnya.
Gendis menggeleng pelan, ia merasa kasihan jika harus memecat Ibu Tiwi yang sudah bekerja hampir 5 tahun bersama Kaivan. “Jangan Mas.. kasihan Bu Tiwi..”
“Terus bagaimana?” tanya Kaivan lagi. Mengingat salah satu isi “kontrak” keduanya adalah melarang kontak fisik selayaknya suami istri, yang artinya penggunaan kamar yang sama juga akan ‘terlarang’ untuk keduanya.
“Ya.. mau nggak mau.. kita pakai kamar yang sama..” ucap Gendis pasrah. Kaivan nampak terkejut mendengarnya.
“Ya maksud Aku.. biar saja pakaian dan barang-barang Aku ada dikamar ini Mas.. nanti setiap malam Aku bakal tidur di Kamar Shila, nanti Aku akan selalu mengusahakan bangun lebih pagi dibanding Bu Tiwi, biar nggak nimbulin kecurigaan.” Jelas Gendis cepat, ia menyadari espresi wajah terkejut Kaivan.
...***...
“Halooo Kakak Ipar? Bagaimana kabarnya?” Seru Kaila seraya memeluk Gendis. Sore ini Ia menyempatkan mampir kerumah Kaivan usai jam perkuliahannya selesai.
“Bagaimana rasanya jadi Istri sekarang?” tanya Kaila lagi seraya menyerahkan tentengannya, sekotak donat coklat kesukaan Shila, keponakannya.
Gendis hanya tersenyum tipis menanggapinya seraya mempersilahkan Kaila duduk.
“Berasa nggak punya suami ya? Mas Kaivan pasti sibuk sendiri?” tebak Kaila saat melihat ekspresi Gendis.
“Mas Kaivan memang lagi banyak kerjaannya jadi belakangan ini memang banyak lemburnya.” Jawab Gendis cepat membela Kaivan.
“Ish..memang ya mas Kaivan itu keterlaluan.. biar nanti Gue yang marahin! Udahnya kalian nggak pergi honeymoon eh lembur terus pula! Masa punya istri secakep ini dicuekin sih! Bisa-bisa Shila lama nanti punya Adiknya!” seru Kaila tetap tidak mau mengerti.
“Adik?” Shila yang baru saja selesai mandi nampak berlari menghampiri keduanya, dan langsung ikut bergabung dalam obrolan keduanya. Kedua mata bulatnya nampak menatap Kaila dengan fokus, ekspresi khasnya saat penasaran tentang sesuatu.
Kaila tampak tersenyum jahil saat menatap Shila. “Iya.. adik bayi! Shila mau punya adik nggak?”
Gendis nampak mencubit Kaila, memberinya kode untuk tidak memberi ide yang aneh-aneh terhadap Shila itu.
...***...
“Loh.. Mas Kaivan sudah pulang?” ucap Gendis kaget saat melihat Kaivan tengah bertelanjang dada, bersiap berpakaian seusai mandi, membuat Gendis refleks membalikan badannnya menghindari ‘pemandangan’ dihadapannya.
Berbanding terbalik dengan Gendis, Kaivan justru tampak santai dan melanjutkan kegiatannya berganti pakaian. Ia memang sengaja menggoda Gendis, yang baginya terlihat seperti anak kecil yang malu-malu setiap kali melihatnya tidak berpakaian ‘lengkap’.
“Kok Kamu kaget begitu ngelihat Aku di Rumah? Aku Nggak boleh pulang?” tanya Kaivan meledek.
“Eumm.. bukan begitu.. Aku pikir Mas Kaivan nggak pulang lagi malam ini…” sahut Gendis cepat. Memang sudah beberapa hari ini Kaivan tidak pulang karena harus lembur urusan kantornya. Kaivan justru pulang disaat Gendis mengharapkannya tidak pulang.
“Iya.. kerjaan Aku cepat selesainya hari ini.” Sahut Kaivan lagi. “Kamu mau sampai kapan ngomong sama Aku sambil balik badan begitu? Aku sudah selesai kok pakai bajunya.”
Gendis nampak membalikan badannya dan menatap Kaivan dengan ragu-ragu.
“Kamu kenapa kayak orang kebingungan begitu?” tanya Kaivan menyadari ekspresi wajah Gendis. “Shila nggak nyariin kamu jam segini? Kalian belum tidur?” ujar Kaivan seraya melihat jam dinding kamarnya yang menunjukkan pukul sepuluh malam.
“Eumm.. Shila ngelarang Aku masuk kamarnya malam ini.” jawab Gendis ragu-ragu.
“Hah? Kok bisa? Bukannya dia paling seneng tidur bareng sama Kamu?” Tanya Kaivan bingung.
“Shila nurutin ucapan Kaila. Tadi sore Kaila main kesini dan ngajarin Shila untuk berani tidur sendiri dan ngelarang tidur bareng Aku kalau mau cepat punya Adik bayi.” Jelas Gendis canggung.
“Benar-benar ya si Kaila ini ajarannya aneh-aneh aja ke Shila.” Ucap Kaivan kesal seraya meraih ponselnya dan bergegas menelepon adiknya itu. “Dasar! Telepon aku di reject lagi sama Kaila! Adik macem apa itu!”
Gendis tampak menyeringai kecil, menahan tawanya. Pertengkaran Kaivan dan Kaila memang selalu lucu.
“Terus jadinya bagaimana? Kamu mau tidur dimana?” tanya Kaivan bingung. “Aku tidur di kamar tamu aja deh atau ruang tengah.”
Gendis dengan cepat menggamit lengan Kaivan, menahannya keluar kamar. “Jangan Mas.. nanti ketahuan Bu Tiwi malah ribet nanti.”
“Iya juga sih.” Sahut Kaivan pasrah. Tahu gini mending aku lembur lagi deh.. tidur di Kantor. Gerutu kaivan bingung dalam hati.
“Eumm.. mau nggak mau… Aku malam ini tidur di kamar ini dulu Mas.. besok baru aku bujukin Shila lagi.” Ucap Gendis mencoba memberi solusi.
Kedua mata Kaivan nampak membulat besar, mendengar ucapan Gendis.
“Maksud Aku.. Mas Kaivan bisa tidur dikasur.. Aku di bawah.. “ ucap Gendis cepat, menyadari perubahan ekspresi wajah Kaivan. Dengan canggung, Gendis meraih bantal dan selimut dari ranjang Kaivan.
“Jangan.. masa Kamu yang tidur dibawah.. biar Aku saja.. Kamu di kasur!” cegah Kaivan cepat seraya berusaha merebut bantal dari Gendis.
“Jangan Mas.. kamu kan sudah beberapa hari ini lembur tidur di Kantor, sekarang biar tidur enak dulu di Kasur.. mana besok Kamu kan kerja lagi.” Sahut Gendis seraya menahan bantal dalam genggamannya.
“Kamu kan juga sudah capek seharian mengasuh Shila dan bantu Bu Tiwi ngurusin kerjaan Rumah, biar Kamu saja yang tidur di Kasur.” Sahut Kaivan tidak mau mengalah.
Alhasil keduanya saling merebut bantal, sampai akhirnya Gendis terpeleset terjatuh ke kasur karena tidak dapat menahan kekuatan tarikan bantal dari Kaivan, sementara Kaivan juga ikut terjatuh karena kehilangan keseimbangan akibat Gendis yang tertolak kebelakang.
Posisi keduanya saat ini adalah Gendis yang terjatuh, sementara diatas tubuhnya ada Kaivan yang menindihnya. Jarak kedua wajahnya kurang dari sejengkal. Membuat keduanya bersemu merah karena malu.
Gendis dengan cepat menahan tangannya kearah dada Kaivan. “Mas.. geser dulu Mas.” Ucap Gendis pelan dengan kikuk.
Kaivan tampak masih termangu memandangi wajah Gendis, yang sebelumnya tidak pernah ia lihat dalam jarak sedekat ini, dan entah kenapa sekarang dimatanya Gendis jadi terlihat luar biasa cantik, entah mata, hidung dan bibirnya terlihat begitu menarik. Sejak kapan anak ini tumbuh besar menjadi gadis cantik seperti ini. Diam-diam Kaivan memuji Gendis dalam hatinya.
“Mas Kaivan.. geser dulu.. berat mas!” seru Gendis dengan nada suara yang sedikit meningkat tinggi karena merasa tidak mendapat respon dari Kaivan.
Kaivan yang tersadar segera bangkit dengan canggung. “Ma.. Maaf.. Gendis Kamu nggak apa-apa kan?”
Gendis dengan cepat terbangun dan duduk ditepi ranjang, ia merapikan rambutnya yang entah sudah tidak karuan bentuknya. “Kalo begini caranya, karena nggak ada yang mau ngalah.. kita sama-sama tidur di kasur saja” ucap Gendis pelan.
“Hah?” tanya Kaivan terkejut.
...***...
Kaivan nampak mengerjapkan matanya yang sebenarnya masih terasa berat, namun karena ia merasa silau dengan cahaya matahari pagi yang masuk dari celah tirai kamarnya ditambah lengan tangan kanannya terasa kesemutan dan bahkan hampir terasa seperti mati rasa membuatnya terbangun.
Perlahan Kaivan mendapati sesosok perempuan dengan rambut panjang terurai tengah terlelap tidur beralaskan tangan kanannya yang dijadikan bantal.
Gendis! Mata Kaivan yang masih setengah mengantuk tiba-tiba menjadi segar saat menyadari sosok disampingnya ini adalah Gendis. Ia berusaha mengingat kejadian lengkap semalam. Karena keduanya tidak mau saling mengalah tidur di lantai, Gendis mengusulkan keduanya tidur di kasur dengan pembatas setumpuk guling dan bantal.
Namun entah mengapa pagi ini keduanya tidur dalam posisi seperti orang berpelukan seperti ini, semua guling dan bantal pembatas sudah berserakan jatuh kebawah kasur. Terutama mengingat rasa sakit kesemutan yang Kaivan rasakan, menandakan keduanya sudah cukup lama tertidur dengan posisi seperti ini.
Kaivan yang awalnya hendak menarik tangan yang dijadikan bantalan tidur oleh Gendis, tiba-tiba mengurungkan niatnya saat menatap wajah Gendis yang tengah terlelap. Ekspresi wajahnya begitu polos, sama persis ketika masih kecil, hanya saja garis wajah Gendis sekarang lebih tegas, ada gurat wajah wanita dewasa disana.
Menatap wajah Gendis yang terlelap membuat Kaivan dapat menatapnya lebih lama, ia baru menyadari jika tulang hidung Gendis cukup tinggi dan mancung, bulu matanya juga lentik, bentuk bibirnya yang tipis dan berwarna kemerahan alami. Diam-diam Kaivan bingung dalam hatinya, kenapa Ia baru menyadarinya sekarang.
Perlahan kedua kelopak mata Gendis nampak bergerak, tanda ia akan segera terbangun. Sadar akan Gendis yang akan terbangun, dengan cepat Kaivan kembali memejamkan matanya, pura-pura kembali tertidur.
Gendis yang perlahan bangun nampak mengerakan kepalanya dan membuka matanya perlahan. Sosok pertama yang ia lihat saat matanya terbuka adalah Kaivan yang tengah terpejam. Dengan cepat Gendis nampak mundur dan kemudian bangun terduduk.
Gendis nampak mengucek kedua matanya memastikan pandangan kedua matanya, dan memang benar itu adalah Kaivan. Saat Gendis menatap Guling dan Bantal yang tampak berserakan dibawah kasur, ia tampak menghela nafas panjang bingung seraya mengacak rambutnya sendiri. Itu artinya ia semalaman tidur bersama Kaivan dengan posisi saling memeluk seperti itu. Merasa harus segera menyegarkan pikirannya dengan mandi, Gendis nampak bergegas bangun dan berlari kearah kamar mandi.
Kaivan yang meskipun masih terpejam, ia dapat membayangkan wajah terkejut Gendis saat menatap dirinya saat terbangun tadi, perlahan terurai senyum diwajah Kaivan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments