“Mmmph!” Gendis nampak memukul pelan dada Kaivan.
Kaivan yang tersadar akan pukulan dari Gendis, perlahan membuka matanya dan menyudahi ciumannya. Ada rasa sedikit tidak rela melepaskan bibir manis milik Gendis disana. Kaivan merasa pipinya terasa menghangat, dengan kikuk ditatapnya juga wajah Gendis yang ternyata sama merahnya dengan dirinya. Dan tanpa mengucapkan sepatah katapun Gendis nampak berjalan mendekati mobil mereka dan Kaivan tampak mengikuti dari belakangnya.
...***...
Kaivan dan Gendis masih belum mengeluarkan sepatah katapun pasca kejadian ‘ciuman’ mereka di area parkir tadi. Bahkan selesai berganti pakaian Gendis dengan cepat melangkah ke kama Shila, malam ini ia memutuskan untuk tidur di sana, meskipun hari ini bukan gilirannya tdiur bersama Shila
Kaivan yang melihat Gendis pergi ke kamar Shila juga tidak mengucapkan apapun, biasanya Ia akan protes jika Gendis tidur tidak sesuai urutannya. Biasanya dimalam hari seperti ini, keduanya akan mengobrol seru tentang berbagai hal sampai tertidur, namun rasanya lidah Kaivan mendadak kelu, jangankan untuk mengobrol untuk sekedar mengeluarkan suara saja rasanya berat.
Kaivan kembali mengingat ciumannya bersama Gendis tadi, dan mendadak wajahnya kembali menghangat dan bibirnya mengukur senyum lebar disana. Padahal bukan pertama kalinya aku berciuman dengan wanita… tapi kenapa rasanya mencium Gendis rasanya begitu berbeda. Ah.. Rasanya Kaivan akan tertidur sambil tersenyum malam ini, meskipun tidak sekamar dengan Gendis.
Sementara Gendis masuk ke kamar Shila dengan wajah hampir tanpa ekspresi, terlalu banyak hal yang ia pikirkan dalam otaknya. Gendis tampak melihat Shila yang tengah tertidur dengan selimut yang sudah turun hampir diseparuh badannya. Dengan perlahan dan lembut, Gendis membenarkan letak selimut yang tengah Shila kenakan. Sekilas Gendis nampak flashback ke ingatan masa lalunya.
...***...
Hampir sebelas tahun yang lalu…
Gendis kecil yang masih berusia sepuluh tahun tampak menatap asing seorang pria yang tengah tertidur di kursi rotan panjang di beranda rumahnya, pria itu tengah mengenakan selimut pink yang ia kenali sebagai miliknya.
Gendis menatap baik-baik wajah pria dihadapannya ini yang ia kenali sebagai Kaivan, kakak kandung Kaila, putra pertama dari majikan orang tuangnya, Bu Anggi dan Pak Indra. Terakhir ia bertemu dengannya di Tahun lalu, karena Kaivan tengah berkuliah kedokteran di Singapura.
“Ssst! Jangan gangguin Mas Kaivan ya Gendis.. kasian Dia kecapekan karena baru datang jauh-jauh naik pesawat.” Tiba-tiba Ibu Gendis nampak datang dari dalam rumah, mengingatkan Gendis dengan suara berbisik.
“Kok Mas Kaivan, boboknya disini? Bukan dirumahnya saja Bu?” tanya Gendis dengan suara setengah berbisik juga mengikuti Ibunya.
Ibu Gendis nampak tersenyum kecil, “Mas Kaivan pasti habis dimarahi orangtuanya lagi, sudah pokoknya pesan Ibu jangan digangguin tidurnya. Ibu ke Rumah Bu Anggi dulu.” Pesan Ibu Gendis seraya melangkah pergi.
Gendis nampak mengangguk paham, dengan melangkah pelan-pelan Gendis nampak duduk disamping Kaivan, ia meletakan tas sekolahnya dengan perlahan, ia hendak melepaskan sepatu dan kaos kakinya sebelum masuk kedalam rumahnya.
Gendis baru saja menyentuh sepatunya, ia melihat selimut pinknya jatuh melorot ke lantai, akibat gerakan Kaivan saat tidur. Gendis mengentikan kegiatannya melepas sepatu, dan mengambil selimutnya di lantai dan berusaha mengenakanya kembali kepada Kaivan. Namun karena gerakan tangan kecil Gendis saat membenarkan letak selimutnya, Kaivan perlahan terbangun.
“Hai anak cantik!” sapa Kaivan dengan suara beratnya karena baru bangun tidur.
Gendis sedikit kaget medengarnya. “Maaf Mas.. Gendis nggak maksud bangunin Mas Kaivan. Gendis Cuma benerin selimutnya saja.” Gendis menjawab dengan cepat, ia mengingat betul perkataan Kaila yang selalu mengatakan Kakaknya ini memiliki sifat galak setengah mati.
“Cih.. jangan takut begitu dong sama Aku. Pasti ajaran Kaila ini ya? Dia pasti selalu bilang Kakaknya ini orang yang galak ya?” ucap Kaivan yang seolah tahu dengan pikiran Gendis.
Gendis tanpa sadar mengangguk, menyetujui ucapan Kaivan, namun sadar Kaila bisa dimarahi karenanya ia dengan cepat menggelengkan kepalanya. “Nggak Mas.. Kaila nggak ngomong apa-apa ke Gendis kok!”
Kaivan nampak tertawa gemas melihat gadis kecil dihadapannya ini. “Gendis.. gendis.. kamu itu ya sudah cantik baik hati lagi! Nanti kalau sudah besar bakal jadi istri idaman banyak cowok-cowok nih?!” ucap Kaivan seraya mengacak rambut Gendis dengan gemas.
“Kata Bapak.. Gendis nggak boleh nikah cepat-cepat. Gendis harus selesai dulu sekolahnya.” Sahut Gendis polos yang kembali disambut dengan tawa dari Kaivan.
“Oh ya.. hampir lupa!” ucap Kaivan seraya mengambil sebuah kotak dari dalam tas ranselnya, ternyata beberapa buah kotak cokelat yang kemudian ia sodorkan kepada Gendis.
Gendis nampak tersenyum senang menerimanya. “Banyak banget Cokelatnya Mas.. Ini buat Gendis semua? Apa ini buat dibagi berdua sama Kaila?”
Kaivan menggelengkan kepalanya. “Nggak buat Kamu semua, eumm.. Kaila sudah ada.” Kaivan sebenarnya berbohong, bahkan ia tidak membelikan sekotak cokelat pun untuk Kaila, karena memang ia merasa adiknya tidak menginginkannya seperti Gendis, karena Kaila bisa saja membelinya langsung saat ia ikut berlibur dengan orangtuanya saat pergi berlibur Ke Singapura.
Kaila yang sudah sering pergi berlibur ke luar negeri memang tidak terlalu menyukai dan menghargai hadiah-hadiah semacam ini, berbeda dengan Gendis yang selalu senang dengan hadiah cokelat yang Kaivan bawakan dari Singapura. Gendis selalu bersemangat setiap mendengar cerita-cerita dari Kaivan saat tengah menempuh kuliah di Kota Singa itu.
Agak lucu memang pria 22 tahun banyak bercerita dengan anak gadis yang berusia masih 10 tahun. Tapi Gendis memang berbeda, bahkan sangat berbeda dengan adiknya Kaila meskipun usia mereka sebaya. Gendis terlihat lebih dewasa dari gadis seusianya, tutur kata dan sikapnya sangat sopan. Ia juga dikenal pintar disekolahnya. Makanya tak heran, Kaila selalu dibuat sebal setengah mati karena terus dibanding-bandingkan dengan Gendis oleh keluarganya, Kaivan salah satunya.
Melihat Gendis yang tumbuh semakin baik disetiap harinya, membuat Kaivan memprediksi kelak Gendis akan tumbuh sebagai ‘gadis idaman’ banyak pria.
“Makannya pelan-pelan loh ya! Jangan langsung dihabisin semua, nanti kalo kamu sakit gigi, Mas bisa dimarahin sama Ibu dan Bapak mu lagi!” Ingat Kaivan yang langsung dijawab dengan anggukan kepala oleh Gendis.
“Kok Mas Kaivan belinya banyak banget sih? Ini nggak kebanyakan buat Gendis?” Gendis kembali bertanya heran, seraya menghitung jumlah cokelat dihadapannya yang bahkan hampir berjumlah lima belas kotak.
“Iya anggep saja itu oleh-oleh cokelat Singapore terakhir dari Mas ya.” Ucap Kaivan menjelaskan.
“Terakhir? Maksudnya?” tanya Gendis bingung, karena seingatnya masa kuliah Kaivan masih lama, menurut yang ia baca sekolah kedokteran itu bisa memakan waktu 5-6 tahun.
“Mas mau pindah kuliah ke Amerika.” Sahut Kaivan pelan, ada nanda ragu dalam suaranya.
Gendis nampak mengerutkan dahinya. “Maksudnya? Gendis nggak ngerti Mas.”
Kaivan tertawa kecil melihat Gendis, karena ternyata sepintar dan sedewasa apapun Gendis tetaplah anak berusia 10 tahun. “Mas Kaivan mau pindah tempat kuliah, Mas keluar dari kuliah di Singapore dan pindah ke tempat kuliah di Amerika.”
“Tapi tetap sama-sama kedokteran?” tanya Gendis lagi.
Kaivan menggeleng pelan. “Nggak.. Mas mau pindah jurusan, dari kedokteran jadi bisnis.”
Gendis nampak mengangguk-anggukan kepalanya berusah mengerti ucapan Kaivan. “Jadi Mas Kaivan ganti cinta-cita dari dokter jadi pebisnis.”
“Apa menurut kamu, Mas bakal sukses dari dokter jadi pebisnis?” konyol rasanya, Kaivan menayakan hal ini kepada Anak berusia 10 tahun.
Gendis nampak menganggukan kepalanya dengan cepat. “Tentu dong! Mas Kaivan bisa sukses! Mas Kaivan kan pintar dan banyak temannya. Semangat Mas Kaivan!” seru Gendis memberi semangat.
Kaivan nampak tertawa kecil, padahal keputusannya pindah kuliah saja belum ia utarakan dengan benar kepada kedua orangtuanya, karena sejak kemarin ia masih saja dimarahi karena terus menerus bolos dari perkuliahan kedokterannya. Makanya begitu sampai di Semarang, Kaivan memilih tidur di rumah Bu Tutik, orangtua Gendis yang kadang ia rasa jauh lebih pengertian dibanding Orangtuanya sendiri.
Ditambah mendengar ucapan dari Gendis, menambah keyakinan akan jalan yang akan dipilihnya. Rasanya ia lebih siap mengahadapi bantahan dan omelan orangtuanya atas keputusannya ini. Disisi lain ia juga lebih yakin akan memperjuangkan cita-cita barunya ini sebagai seorang pengusaha, sama seperti Ayahnya.
“Makasih ya Gendis Cantik! Mas yakin kamu besar akan jadi wanita yang baik dan hebat! Beruntungnya yang jadi suami kamu nanti!” Puji Kaivan seraya mengacak pelan kepala Gendis lagi.
Diam-diam Gendis merasa malu dan deg-degan setiap Kaivan melakukan itu. Karena akhir-akhir ini ia banyak membaca komik remaja milik Kaila, dimana ada adegan ketika seorang tokoh utama pria yang menyukai seorang gadis ia akan mengacak-acak rambut gadisnya seperti ini. Dan entah sejak kapan, Kaivan terlihat selalu tampan dimata Gendis.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments