Mendadak Mama

Mendadak Mama

Awal mula kerumitan

“Aku Pulanggg!” Seru Gendis dengan nada ceria, ia sudah membayangkan ekpresi wajah kaget bercampur senang dari wajah kedua orang tuanya saat melihatnya. Kedatangannya kali ini memang ia rahasiakan, ia berencana menjadikannya sebuah kejutan untuk keluarganya.

Gendis selama ini tengah berkuliah di Singapore, sementara Ayah dan Ibunya tinggal di Semarang. Awal bulan ini, Gendis telah menyelesaikan tugas akhir dari kuliahnya secara teknis ia bisa di katakan telah lulus, tinggal menunggu waktu wisudanya. Jadi jarena itulah, ia memutuskan pulang, menghabiskan waktunya bersama keluarganya sambil membuat rencana yang akan ia ambil setelah lulus kuliah.

Gendis tengah dibimbangkan dengan keinginannya melanjutkan lagi kuliahnya ke S2 atau mencoba masuk ke dunia kerja. Ia akan mendiskusikan hal ini dengan keluarganya juga.

“Gendis pulang!!” Seru Gendis lagi karena belum mendapat jawaban dari dalam rumahnya.

Hening. Seruan Gendis tidak ada yang menyahuti.

Gendis mencoba melongok jendela rumahnya dan berusaha memutar kenop pintu rumahnya. Terkunci.

“Apa Bapak sama Ibu belum pulang ya?!” Gumam Gendis seraya melihat jam di layar depan handphonenya, yang menunjukan hampir pukul 6 sore.

“Apa masih dirumah bu Anggi ya?” Gumam Gendis lagi seraya mulai melangkahkan kakinya ke arah rumah besar nan mewah yang terletak persis disamping rumahnya.

...***...

Rumah besar dan megah yang didominasi warna putih dan emas ini masih tampak sama seperti yang ada diingatan Gendis. Meskipun ia hampir 4-5 tahun tidak berkunjung kesini karena kuliahnya di luar negeri, Gendis sekali melirik saja sudah dapat menilai jika rumah ini dirawat dengan sangat baik. Tentu saja sangat baik, karena ia sangat tahu, didalamnya terdapat berpuluh orang yang bekerja disana, terdiri ART, sopir dan satpam yang ikut membantu merawatnya.

Gendis nampak tersenyum cerah saat melihat sosok bayangan lelaki bertubuh agak gempal yang tengah agak kesulitan membawa tangga lipat.

“Pak Isman!” sapa Gendis ramah seraya melambaikan tangan. Pak Isman yang kemudian menoleh ke arah Gendis, nampak terkejut dan refleks menjatuhkan tangga yang tengah dibawa, untung Gendis cukup cepat berlari kearahnya membantu Pak Isman yang tampak terhuyung-huyung dan ikut terjatuh juga.

“Bapak nggak apa-apa? ada yang sakit nggak pak?” tanya Gendis khawatir seraya menilik kaki dan tangan pak Isman, khawatir ada luka-luka disana.

“Gendisss? ini beneran Gendis toh?” tanya Pak Isman dengan logat jawanya yang khas, wajahnya tampak kaget sambil terus menilisik menatap Gendis.

“Beneran loh Pak! Ini Gendis!” Sahut Gendis sambil sedikit tertawa. Kemudian Pak Isman spontan menjabat tangan Gendis erat-erat “Oalah.. nduk... selamat datang!”

Gendis tersenyum senang meilhatnya. Ia baru benar-benar terasa di Semarang, melihat Pak Isman yang sudah ia kenal sejak kecil benar-benar membawanya ke suasana pulang ke rumah.

“Pak Isman bawa-bawa tangga buat apa? udah alih profesi jadi tukang bangunan bukan sopir lagi?” tanya Gendis seraya membantu mengambil tangga yang tampak jatuh disampingnya.

“Oalah! Iya bener! Aku kan lagi disuruh bu Anggi ambil tangga! Waduh! Nanti keburu Non Shila makin ngamuk terus jatuh nanti!” Pak Isman tiba-tiba panik ketika diingatkan masalah tangga yang tengah ia bawa.

“Gendis bantuin pak Isman gotongan tangga yuk! oh ya.. Bapak sama Ibu mu juga ada di dalem! Ibu Anggi juga! Ayo.. ayoo sekalian ketemu semua!” Seru Pak Isman mengajaknya.

Gendis dan Pak Isman menyusuri jalan seraya membawa tangga, yang ia hafal betul itu sebagai jalan menuju kebun belakang halaman rumah mewah ini.

Disana terdapat banyak pepohonan, ada rambutan, jambu dan mangga dimana di masa kecilnya Gendis sibuk memanjati pohon-pohon itu yang membuatnya diteriaki khawatir oleh Ayah dan Ibunya.

Seperti flash back, kini Gendis melihat Ayah dan Ibunya tengah meneriaki membujuki seseorang untuk turun dari pohon mangga. Tidak.. tidak hanya ada Orang tua Gendis, bahkan ada Bu Iyem, Bu Tari, Pak Joko, Pak Tris dan bahkan ada Ibu Anggi.

Benar Kata Pak Isman, semua orang memang tengah berkumpul di Kebun Belakang.

Pak Isman dengan cepat menyandarkan tangga yang sudah susah payah ia bawa bersama Gendis. Ia dengan sigap menaikinya seraya membujuk “Non Shila cantik.. ayu.. ayoo turun sama Pak Isman! Jangan lama-lama diatas… khawatir nanti Jatuh! Sakit loh Non!”

“Iya… ayoo turun Non Shila sayang.. nanti Ibu buatin kue putu lagi yuk!” kali ini suara Ibu Gendis yang tengah membujuki.

“Atau mau keliling ke alun-alun lagi sama bapak yuk?” Kali ini Ayah Gendis yang bersuara.

“ENGGAK MAU!!!” Suara nyaring Shila kembali terdengar.

Semua orang tengah sibuk memandang ke atas pohon, sampai rasanya tidak ada yang sadar akan kehadiran Gendis disana.

Gendis ikut memicingkan mata, menatap keatas pohon mencari sosok yang saat ini tengah menjadi pusat perhatian semua orang. Tampak sesosok gadis kecil mungil berusia sekitar 6-7 tahun, berkulit putih dengan rambut panjang sebahu berwarna kecokelatan gelap. Anak yang cantik dan menggemaskan sebenarnya.

Tapi melihat ekspresinya sekarang terlihat sedikit menakutkan. Wajahnya tampak kesal mengeras dan matanya melotot bulat. “Pokoknya Shila nggak mau turun kalo belum ada Papa! Biar aja Shila jatuh!” teriak anak itu seraya menangis kencang.

“Jangan bilang begitu dong Shila sayang.. Eyang Uti jadi sedih loh! Papa mu kan masih kerja di luar kota sayang” Ucap Bu Anggi seraya terisak.

Gendis dapat mengambil kesimpulan kalau anak ini pasti keluarga Bu Anggi. Pantas saja keras kepala, tipikal anak dari keluarga kaya raya yang terlalu dimanjakan.

“POKOKNYA SHILA ENGGAK MAU!!!” Sahut anak itu lebih kencang lagi.

Semua orang tampak semakin gaduh dan cemas mengahadapinya. Masing-masing mencoba membujuki dengan macam-macam cara.

“Ya sudah Shila nggak usah turun!” Tiba-tiba Gendis berteriak tidak kalah keras menyahuti Shila.

Semua orang tampak kaget, mereka baru menyadari kehadiran Gendis disitu. Dengan cepat, Gendis memberi isyarat agar yang lainnya tetap tenang untuk tidak menyambut kehadirannya dulu.

“Terus saja disitu sampai malam! Mau tidur ditemani kelelawar dan ular ya?” sahut Gendis mencoba menakuti Shila.

“…” Shila tampak terdiam mendengar ucapan Gendis.

“Oke ya.. Shila kalo nggak mau turun ya terus aja diam-diam disitu ya.. nanti diambilin bantal juga deh buat bobok di pohonnya ya!” Seru Gendis lagi, seraya memberi isyarat menyuruh semuanya untuk pergi kedalam rumah.

Bu Anggi nampak berat meninggalkan Shila. Gendis tersenyum tenang seraya berbisik “Percaya sama rencana Gendis bu.. Shila pasti mau turun kok!”

“Semua orang mau kemana?” tanya Shila dengan suara sedikit panik saat melihat orang-orang mulai berjalan meninggalkannya.

“Ya mau masuk kerumah lah… ini kan udah sore menjelang maghrib! Jam nya kelelawar dan ular naik ke pohon! Hiiy.. Kami sih takut.. kayaknya cuma Shila deh yang berani.” Seru Gendis seraya membuat ekspresi ketakutan.

Dan dalam hitungan detik tangisan Shila tampak pecah “Huaaaa… Shila mau turun.. Shila nggak mau ketemu kelelawar dan Ularrr!!!”

...***...

“Ya ampun.. Tiga Jam? Tiga Jam anak itu diatas pohon? dan semua udah bujukin tapi nggak ada yang mempan juga?” Gendis tampak berdecak heran mendengar cerita kelakuan Shila hari ini.

“Hampir tiap hari anak itu pasti bikin ulah ya bu?” tanya Gendis kesal. Ia membayangkan Ibu dan Ayahnya dibuat repot oleh kelakuan bocah tengil itu.

“Nggak juga kok.. Shila itu begitu kalo perasaannya lagi nggak bagus aja. Kalo lagi ga ada apa-apa ya selayaknya anak-anak biasa yang manis dan baik.” sahut ibu dari arah dapur.

"Anak itu nggak ada pengasuh khususnya gitu Bu? Baby Sitternya?" tanya Gendis lagi.

"Belum ada yang bener-bener cocok.. udah berapa kali gonta-ganti."

“Bener-bener deh anak itu bikin repot semua orang aja!” gerutu Gendis lagi. Anak itu juga merusak moment kejutan Gendis untuk kedua Orangtuanya. Bahkan kepulangannya setelah hampir 4 tahun tidak bertemu jadi disambut biasa saja, karena energi orangtuanya sudah habis terpakai dalam menghadapi bocah nakal itu.

“Anak itu.. anak itu.. jangan kamu panggil gitu ah… panggil Shila gitu. Nama lengkapnya Ashila Zahran Wasesa. Dia itu Cucunya bu Anggi loh.” Jelas Ibu seraya menyodorkan segelas teh manis kepada Gendis.

“Bu Anggi udah punya cucu? cucu kandung?” tanya Gendis bingung. Wah banyak hal yang terjadi dan tidak ia ketahui setelah bertahun-tahun kemarin tidak pulang.

“Hus! Iyalah.. Cucu kandung.. menurut kamu!” kali ini Ayah yang menyahuti ucapan Gendis.

Sebentar.. Bu Anggi kan cuma punya 2 anak… yang paling kecil sebaya dengannya, Namanya Kaila, tengah kuliah di Jakarta. Sementara yang paling besar.. Mas Kaivan… iya sih beberapa tahun lalu ia mendengar berita pernikahannya yang dilangsungkan di luar negeri

“Huaaaa!!!!” tiba-tiba sebuah tangisan keras kembali terdengar di rumah ini. Membuyarkan pikiran Gendis yang tengah menebak siapa orang tua dari Shila.

Ibu dan Ayah segera bergegas menuju sumber suara tangisan itu, yang tidak lain adalah suara Shila.

Gendis kembali menatap jam di layar handphonenya yang menunjukan pukul 7 malam. “Ya ampun… baru juga setengah jam anak itu selesai dari drama turun pohon, sekarang udah nangis lagi!” gerutu Gendis tidak habis pikir.

Nampaknya kedua orangtua Gendis pulang terlambat malam ini. Padahal biasanya mereka sudah boleh pulang sejak pukul 5 sore.

Orang tua Gendis memang bekerja di rumah Ibu Anggi, istri dari keluarga konglomerat Indra Wasesa, yang dikenal memiliki banyak macam badan usaha, seperti penjualan furniture kayu yang berkualitas tinggi sampai properti. Ibu Gendis bekerja sebagai juru masak dan Ayahnya sebagai Sopir pribadi. Mereka sudah bekerja hampir 15 tahun di keluarga itu.

Ibu Anggi sangat baik, meski berasal dari keluarga kaya raya sifatnya selalu ramah dan lembut ke semua orang tidak terkecuali kepada pegawai dirumahnya. Begitu juga Pak Indra, meski ia lebih sedikit berbicara dibandingkan istrinya, namun Ia dikenal sebagai pribadi yang sangat jarang marah terhadap siapapun.

Kebaikan keduanya juga dirasakan oleh Gendis. Rumah yang kini ditempati keluarga Gendis juga hasil dari pemberian keluarga Wasesa. Bahkan Pak Indra secara khusus sangat mendukung dan menyokong secara materi segala kebutuhan pendidikan Gendis sehingga ia bisa menempuh kuliah di Singapore.

Pak Indra dan Bu Anggi adalah role model untuk Gendis dalam berkehidupan. Tetap rendah hati meskipun uang direkeningnya hampir tidak terhitung lagi.

...***...

“Kenapa lagi Shila Bu?” tanya Gendis saat melihat Ibunya dan Bu Iyem tengah membersihkan pecahan piring dengan berserakan nasi dan lauk pauk dimana-mana.

Gendis menebak pelakunya pasti lagi-lagi Shila.

“Non Shila nolak makan… piringnya dibanting” Bu Iyem tampak menyahuti dengan lesu.

Semua orang tampak kelelahan menghadapi kelakuan Shila.

Tampak Bu Tari tergopoh-gopoh membawa nampan berisi makan malam Shila yang baru. Tapi sesampainya di depan pintu kamar Shila ia tampak ragu-ragu mau memasukinya.

“Shila sebenarnya kasihan… sudah 2 hari ia menolak makan. Anak itu pasti sakit perutnya menahan lapar.” ucap Ibu Gendis sedih,

Gendis menghela nafas panjang. Bicara lapar, ia juga sebenarnya lapar. Bayangannya bisa makan malam bersama orangtuanya ikut kacau karena masalah Shila. Ampuun deh.. anak siapa sih itu.

“Bu Tari… coba biar Gendis yang kasih makan Shila” ucapnya menawarkan diri.

...***...

Begitu pintu kamar terbuka. Tampak sebuah gunungan selimut dikasur, yang Gendis yakin isinya adalah Shila yang tengah bersembunyi didalamnya.

Sekilas ia melihat sekeliling kamar Shila yang didominasi warna pink, mengingatkan akan kamar impiannya sewaktu kecil.

Perlahan ia menaruh nampannya dimeja samping tempat tidur shila. Dan tanpa bersuara, Gendis menyibakan gunungan selimut itu, dan benar saja tampak Shila yang tengah menangis tersedu-sedu dibalik selimut.

Gendis mendiamkan Shila yang menangis keras hampir selama 30 menit. Ia sama sekali tidak mencoba membujuk atau mengeluarkan kata apapun. Ia juga melarang orang lain masuk ke kamar Shila.

Shila yang sudah mulai mereda tangisnya, diam-diam melirik Gendis.

Gendis yang sadar akan ditatap oleh Shila kemudian tersenyum manis kepadanya. “Shila sudah selesai menangisnya? Capek? Mau minum?” ucapnya seraya menyodorkan segelas air.

Awalnya Shila mau menolaknya, tapi ternyata benar ucapan Gendis, Ia merasa capek dan haus karena habis menangis. Perlahan dia menerima gelas dari Gendis dan meminumnya.

Gendis masih tersenyum seraya menatap Shila yang tengah meminum air putihnya dengan cepat, ia yakin anak itu pasti sangat kehausan karena menangis terus-terusan. Selesai minum, Gendis menerima gelas kosong yang disodorkan oleh Shila.

“Sekarang Shila mau makan? ada ayam goreng loh…” Kali ini Gendis mencoba menawari makan kepada Shila.

Kali ini Shila menggeleng. Menolaknya.

“Beneran? Ada Nugget sama telur goreng juga loh? Shilla mau pilih yang mana?” Gendis kembali menyodorkannya makanan kepada Shila.

Shila kembali menggeleng.

Gendis pantang menyerah, kali ini ia mencoba menyuapkan sesendok nasi dengan potogan lauknya “Cobain sesuap dulu ya.. nanti kalo Shila nggak suka rasanya, Tante nggak bakal paksa lagi, oke?”

Dan entah seperti terhipnotis, shila bersedia disuapi oleh Gendis bahkan ia menghabiskan porsi makan malamnya dengan baik.

...***...

Shila sudah tampak jauh lebih tenang. Ia tampak diam saja saat Bu Iyem merapikan selimut yang tengah ia pakai. Shila tengah bersiap untuk tidur.

“Tante tadi siapa namanya?” tanya Shila tiba-tiba, membuat Bu Iyem agak sedikit kaget.

“Tante siapa?” tanya bu Iyem bingung.

“Tante yang rambutnya panjang cantik, yang nyuapin shila tadi itu loh?” tanya Shila gemas.

“Oh.. Tante Gendis maksudnya Non!” sahut Bu Iyem yang mulai paham.

“Rumahnya dimana?” tanya Shila lagi.

“Itu disamping rumah Non Shila loh… Tante Gendis itu anaknya Bu Tutik Sama Pak Arif loh” Jelas Bu Iyem panjang lebar. “Kenapa memangnya?”

“Nggak.. nggak apa-apa..” sahut Shila cepat seraya menarik selimutnya. “Udah Bu.. Shila mau bobok!” Shila tampak menghindari pertanyaan dari Bu Iyem.

...***...

TOK… TOKKK… TOKKKK…

TOK.. TOKKK…TOKKK…

“Iya Sebentar!! Tunggu sebentar!” Seru Gendis seraya menguncir rambutnya dengan asal, ia tampak terburu-buru menuju pintu depan. Siapa sih yang mengetuk pintu nggak sabaran pagi-pagi gini!

Ayah dan Ibu Gendis tengah ke pasar belanja bahan makanan. Gendis sendiri baru selesai mandi.

“Siapa ya?…” Ucapan Gendis terpotong saat melihat sosok orang dihadapannya. “Bu Iyem? Kenapa?”

Bu Iyem yang diajak bicara hanya tersenyum-senyum. “Ini loh Tante Gendis… ada yang mau ngajak main”

Gendis mengernyit heran mendengarnya “Main?”

Sampai sosok mungil tiba-tiba terlihat keluar dari bagian belakang badan Bu Iyem. Tampak Shila berjalan mendekati Gendis dengan menunduk malu-malu.

......***......

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!