Fay yang baru terlelap harus datang ke rumah sakit karena mendapat kabar dari suster yang menjaga ibunya bahwa ada seorang wanita yang memaksa masuk dan memarahinya. Pengawal yang berjaga sudah berusaha untuk mencegah, tetapi wanita itu tetap saja berbuat onar.
"Pasti wanita bermulut jahat itu lagi yang mencari masalah." Fay terpaksa naik taksi, motornya entah dibawa kemana oleh orang-orang yang menculiknya semalam. Haih, menyedihkan sekali jalan hidupnya.
Wanita itu berjalan dengan cepat ia tidak ingin melihat ibunya ditindas. Mengapa wanita itu tidak juga menyerah dan terus mengganggunya? Padahal sekarang ibunya sudah berada di ruangan khusus yang tidak sembarang orang bisa mendatanginya.
"Kau lihatlah sendiri seperti apa kelakuan anak kamu di luar sana!" Ana melemparkan foto yang dibawanya ke hadapan Yuri. Foto Fay berada di sebuah bar dengan teman-temannya. Namun terlihat di foto itu, Fay sedang menikmati minuman dalam pelukan seorang laki-laki.
"Tidak mungkin, Fay anak baik. Ini pasti rekayasa, Fay tidak akan melakukan hal sehina ini." Yuri menatap lembar demi lembar potret Fay bersama laki-laki yang berbeda di tiap foto.
"Aku sudah bilang, tapi kamu tidak percaya. Sekarang, kamu lihat sendiri, kan?" cibir Ana dengan senyum smirk. Ia sangat senang bisa mendapatkan bukti perbuatan Fay.
Ini pembalasan untukmu anak haram, jangan salahkan aku jika ibumu yang harus tersakiti.
"Apa kau ingat dimana dia malam itu? Dia tidak pulang karena pergi untuk melayani laki-laki hidung belang yang ada di foto itu." Ana sangat senang melihat wajah pias Yuri yang semakin memucat. Ternyata kali ini usahanya tidak akan sia-sia.
"Fay, kamu bohongin Mama?" lirih Yuri dengan air mata menganak sungai membasahi wajahnya.
"Wanita jahat! Apa yang sudah kamu katakan pada Mama?" Fay sangat murka melihat ibunya bersedih.
"Kamu tanya pada dirimu sendiri."
Fay merebut foto itu dari tangan ibunya, ia membelalak tak percaya, ternyata benar ada orang berniat jahat dan memanfaatkan keadaannya. Namun anehnya di foto tersebut tidak memperlihatkan wajah mereka, hanya Fay yang tersorot kamera.
Dari baju yang dikenakan Fay, seharusnya foto ini diambil saat malam nahas yang menimpanya. Dilihatnya sang ibu hanya bisa menangis dan mengabaikan kedatangannya.
"Ma, percaya sama Fay. Itu semua bohong, foto ini pasti editan."
Gadis itu meraih tangan Yuri tapi dihempaskan, hatinya terlalu sakit melihat kenyataan yang baru saja diketahuinya. Apakah Fay rela menghancurkan masa depannya sendiri demi membiayai pengobatannya? Sungguh sakit perasaan Yuri jika benar-benar hal itu sampai terjadi.
"Kamu masih mengelak dengan semua bukti yang ada? Kamu tidak memikirkan perasaannya saat melakukan dosa besar itu?" Ana tidak berhenti memprovokasi.
"Pergi kamu dari sini, belum puaskah kamu menghancurkan keluargaku? Setelah semua itu kamu masih tidak melepaskan kami?" sentak Fay. Dia mengusir Ana dan meminta perawat yang berjaga untuk membawanya pergi.
"Tidak perlu mengusirku, aku bisa jalan sendiri." Ana menepis para perawat dan meninggalkan ruang perawatan Yuri dengan wajah menyeringai. Dia berhasil membuat kedua orang itu saling membenci.
"Hah, kalian nikmati saja rasa sakit yang kalian buat sendiri. Ini belum seberapa dengan penderitaan yang aku alami." Ana sudah puas, kali ini kerja kerasnya membuahkan hasil.
"Mama, Fay minta maaf. Tolong bicara, jangan diamkan Fay seperti ini," ucapnya memohon pada sang ibu.
Keduanya berderai air mata, menenangkan diri masing-masing. Fay menjauh, ia duduk di sofa panjang yang ada di ruangan itu. Dia merasa bingung, mau mengatakan yang sebenarnya terjadi pada malam itu atau tidak. Jika tidak mengatakannya, pasti ibunya akan marah. Namun, mengatakan tentang kejadian itu juga hanya menambah beban sang ibu.
Fay tidak tahu pilihan mana yang akan dipilihnya, keduanya sama-sama tidak ada yang menguntungkan baginya.
"Ma, please."
"Lalu kamu mendapatkan uang dari mana untuk membayar biaya rumah sakit semahal ini?" tanya Yuri setelah merasa lebih baik. Beruntung kali ini Yuri masih bisa mengendalikan diri dan tidak membuat kesehatannya menurun.
"Fay sudah mengatakannya, itu pemberian dari seseorang."
"Buktikan kalau kamu memang tidak bersalah."
"Baiklah, tunggu sebentar."
Gadis itu merogoh benda pipih persegi panjang miliknya dari tas selempang. Siapa yang akan membantunya? Fay teringat kartu nama Vano yang dibwrikan oleh sopir yang mengantarnya pulang.
"Ini kartu nama Tuan Melviano, jika Anda berubah pikiran dapat menghubunginya kapan saja," ucap sang sopir tadi malam.
Dengan tidak yakin, Fay menekan nomor yang baru saja diketiknya. Dering pertama belum dijawab, kedua juga sama hasilnya. Fay mulai bimbang untuk kembali menghubunginya.
"Apa dia marah karena ucapanku tadi pagi?" ucap Fay dengan ponsel memukuli dagu. "Gak ada salahnya dicoba."
Di kantor HS Group, Arlan memasuki ruang rapat dengan ponsel Vano di tangannya. Ia membisikkan sesuatu pada pemuda yang tengah memimpin rapat. Alis Vano seketika bertaut hingga hampir menyatu, ada apa lagi gadis itu menghubunginya?
"Mau apa lagi dia? Bukankah tadi pagi sudah memarahiku dan menolak niat baikku mentah-mentah? Kita lihat seberapa besar usahamu?" ucap Vano dalam hati.
Dia sengaja membiarkan ponselnya yang dalam mode hening menyala, hingga panggilan ketiga ia baru menjawabnya.
Dewan direksi dan semua yang hadir dalam rapat saling melempar pandangan, ada yang tidak biasa dengan tingkah CEO mereka. Terlebih lengkungan di bibir yang baru kali ini mereka lihat, tetapi mereka memilih diam. Suasana hatinya sedang baik, pikir mereka semua.
"Kita sudahi pertemuan hari ini, saya harus mengerjakan sesuatu yang lain," ucap Vano meninggalkan meeting room. Semua peserta meeting bernapas lega untuk hal ini.
"Tuan, apakah tawaran Anda tadi pagi masih berlaku?" tanya Fay dengan suara serak.
Vano menghentikan langkahnya sejenak. Ada apa dengan gadis ini? Mengapa suaranya terdengar berbeda dan serak?
"Hei, apa kau menangis?" Vano menjawab pertanyaan Fay dengan pertanyaan.
"Itu tidak penting, bagaimana soal tawaran Anda?" tanya Fay sekali lagi. Ia hanya ingin mendengar jawaban mengenai tawaran itu.
"Tawaran yang mana? Vano sengaja menggodanya."
"Bukankah ingin saya menikah dengan Anda? Saya setuju, saya akan menikah dengan Anda."
"Apa yang kau katakan? Saya tidak mendengarnya." Sebenarnya Vano mendengarnya, tetapi ia ingin memastikan sekali lagi bahwa ia tidak salah dengar.
"Apakah pernikahan yang Anda janjikan itu masih berlaku?" ucap Fay dengan lantang. Terserah bagaimana Vano menilainya, yang jelas ia memang sedang memanfaatkannya.
"Heh, bukankah sebelumnya kamu mengatakan tidak sudi menikah denganku?" Vano sengaja menyindir Fay atas sikapnya pagi tadi.
Tuh, kan. Dia pasti tidak akan mudah untuk dibujuk.
"Emm … Sebelumnya saya tidak berpikir dengan baik, dan saya sudah mempertimbangkannya matang-matang, sekarang saya berubah pikiran dan bersedia menikah dengan Anda, menjadi Nyonya CEO."
Sebenarnya Fay sendiri tidak yakin dengan keputusannya, tetapi ini satu-satunya cara agar ia dan sang ibu tidak lagi direndahkan dan mengembalikan nama baik dari orang-orang yang mengatakan ia dan ibunya pelakor.
Apakah Vano akan menyetujui keinginan Fay begitu saja? Terus ikuti, ya.
Bersambung ….
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
Marwah
setuju dong.
2022-06-29
1
ira
setuju lah masa gak🤭🤭
2022-03-23
1
🎼retha🎶🎵🎶🎵
Any way & how a plot....go fun n enjoy.
2022-03-15
1