"Mama mau pindah aja ke ruangan yang lama, Fay," desak Yuri pada putrinya.
"Ma, jangan menolak semua ini. Lagi pula ini bukan dari Fay."
"Bukankah kamu bilang karena ada teman yang membantumu?"
Yuri menautkan kedua alis sehingga hampir menyatu, apa maksud ucapan Fay? Jika bukan dirinya lalu siapa lagi? Fay anak tunggal, lalu siapa lagi yang bisa melakukannya?
"Lalu siapa yang membayar ini semua?" tanya Yuri penuh selidik.
"Emm, sebenarnya …."
"Sebenarnya apa, Fay? Jangan membuat Mama penasaran!"
Aduh, bagaimana ini? Apa aku katakan saja yang sebenarnya dari mana aku mendapatkan uang itu?
Terlintas di dalam benaknya untuk mengatakan semua yang telah terjadi, tapi ia teringat peringatan dokter yang mengatakan bahwa sang ibu tidak boleh lagi menerima beban pikiran yang berlebih, atau hal itu bisa membahayakan nyawanya. Terlebih Fay tidak yakin siapa yang menjadi dewa penolongnya.
"Ma, ini semua hadiah dari calon mantu Mama," celetuk Fay tanpa sadar, hanya itu yang terlintas dalam benaknya.
"Apa? Calon mantu?" Yuri terbelalak, dia tidak pernah melihat Fay bersama laki-laki, apakah Fay sedang berbohong untuk menutupi kesalahannya?
"Fay, jangan bilang kalau …."
"Ma, enggak seperti yang Mama bayangkan. Fay akan mengenalkan Mama dengannya nanti, jika sudah saatnya Fay akan membawanya ke hadapan Mama."
"Benarkah?"
"Iya."
"Awas kalau sampai bohong!"
"Itu tidak akan terjadi, Ma."
Fay terpaksa berbohong. Jika tidak, pasti ibunya akan berpikir yang tidak-tidak tentangnya. Karena dia sendiri masih bingung dengan kejadian yang menimpanya semalam.
"Mama istirahat, ya. Fay keluar sebentar." Fay memaksakan senyum di wajahnya. Tampak wajah lelah yang menanggung banyak beban.
Gadis itu sudah membasuh wajah untuk menyegarkan diri, tidak hanya itu. Fay sudah membersihkan diri dengan sabuk berulang kali, tetapi ia masih merasa jijik akan dirinya sendiri. Gadis itu tidak berhenti menggosok hingga kulit putihnya memerah. Dia melihat sang ibu sudah terlelap, meski sudah mandi, tetap saja tubuhnya merasa lelah dan lesu. Terlebih tanda merah yang dikatakan Ana memang benar adanya dan tidak bisa dihilangkan. Semakin dia menggosok, bukan hilang justru semakin terlihat merah.
Pemilik nama Fadila Atsya Yuuna itu duduk termenung di balkon kamar perawatan ibunya. Begitu mudahnya ia menyerahkan mahkota berharganya pada laki-laki yang tidak dikenalnya. Mengingat hal itu, Fay merasa sangat sedih dan kotor. Benarkah mereka benar-benar melakukannya? Jika tidak, mana mungkin ia terbangun tanpa sehelai benang pun yang membalut tubuhnya.
"Kurang ajar, brankshake, mengapa dia melakukan itu padaku? Tega sekali dia memanfaatkan aku yang dalam pengaruh obat," lirih Fay.
Butiran kristal meleleh dari kedua sudut matanya tanpa permisi, dadanya terasa sesak. Benar yang Ana katakan, dirinya hanya wanita kotor yang tidak berharga.
"Tuhan, mengapa terjadi padaku?" jerit Fay dalam hati.
Kedua tangannya saling bertaut untuk menopang wajah. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai, punggung rapuhnya mulai bergetar seiring tangisnya. Fay tidak berani bersuara karena takut membangunkan sang ibu.
Namun, sesaat kemudian Fay tersadar. Apakah laki-laki itu yang sudah membayar biaya perawatan sang ibu? Jika benar, maka pengorbanannya tidak akan sia-sia. Kalau perlu, ia harus menemui pria yang sudah memanfaatkannya dan meminta ganti rugi yang lebih besar, tapi dimana ia harus mencarinya? Nama saja dia tidak mengetahuinya.
Fay menghapus jejak air mata di wajah dengan punggung tangannya secara kasar. Dia tidak boleh menyesali apa yang sudah terjadi padanya. Percuma menyalahkan orang lain, hal itu tidak akan mengubah kenyataan tentang dirinya yang sudah ternoda. Semua ini terjadi karena kesalahannya sendiri yang tidak hati-hati sehingga bisa masuk perangkap orang yang ingin menjatuhkannya.
Sekarang yang terpenting adalah mencari tahu siapa dalang dibalik kejadian yang menimpanya. Pasti ada orang yang sengaja ingin menjebak menghancurkan reputasinya.
Hal pertama yang harus ia lakukan adalah kembali ke hotel dan menemukan ponselnya. Semua itu berawal dari pesan dikirimkan oleh Luna--sahabatnya yang sedang berulang tahun dan memintanya datang ke pesta perayaan itu. Mau tidak mau Fay harus menghadirinya, siapa yang menyangka akan berakhir dengan ia diberi obat dan dikejar oleh pengawal yang ingin menangkapnya. Jika bukan karena Vano, mungkin Fay akan berakhir lebih menyedihkan dari pada semalam.
Flash Back On
"Tuan, saya sudah berhasil menyelidiki gadis itu sesuai yang Anda minta," ucap Arlan menyerahkan tab berisi informasi yang didapat dari anak buahnya. "Tapi...."
"Tapi apa?" Vano menjeda kegiatannya untuk meneliti data tentang gadis itu.
"Baru saja saya mendapat laporan dari anak buah kita bahwa Nona Fadila sedang dalam masalah," ungkap Arlan.
Matanya menyipit, Vano menunggu apa yang akan Arlan sampaikan padanya. "Masalah apa?"
"Ibunya sedang sakit, itulah sebabnya dia meninggalkan Anda bersegera ke rumah sakit tanpa berbicara apa-apa bahkan meninggalkan ponselnya."
"Hmm...." Vano mengangguk-anggukan kepalanya.
"Sekarang ibunya terancam akan di usir dari rumah sakit karena tidak mampu membayar biayanya. Selain itu, istri kedua ayahnya yang sudah melakukannya," jelas Arlan.
"Istri kedua? Jadi ayahnya menikah lagi?"
"Ya."
"Lalu?"
Arlan menjelaskan kondisi keluarga Fay yang sedikit rumit. Ia juga mengatakan bahwa Fay hanya tinggal berdua bersama ibunya.
Vano mengetuk meja dengan jemari tangannya, dia memejamkan matanya. Haruskan dia membantu wanita itu? Padahal jelas-jelas ia yang merasa dirugikan. Namun, sebuah ide terlintas di pikirannya. Sudut mulutnya terangkat, Vano memiliki ide bagus bagaimana caranya agar gadis itu mendatanganinya.
"Rumah sakit mana?" tanya Vano kemudian.
"Rumah Sakit Sehat Waras."
"Kau yakin?" tanyanya dengan mata terbuka lebar, bukankah itu rumah sakit milik keluarganya?
Haruskah ia merasa malu karena pelayanan rumah sakit yang tidak maksimal? Jika saja hal ini tidak terjadi, selamanya Vano tidak akan pernah tahu bahwa Rumah Sakit Sehat Waras tidak dspat melayani pasien dengan baik.
"Siapa kepala rumah sakit itu?"
Arlan merasa akan terjadi permainan yang menarik. Dia tidak pernah melihat Vano begitu peduli dengan wanita asing selain keluarganya. Ini pertama kalinya, pertama kalinya Vano harus direpotkan oleh gadis kecil yang baru ditemuinya satu kali.
"Tuan Rendi," jawab Arlan singkat.
Apa katanya? Rendi masih kerabat jauhnya, bukankah tidak adil jika Vano turun tangan dan lebih membela gadia yang sudah memanfaatkannya?
Vano memijat pangkal hidungnya, dia harus menegakkan keadilan. Meskipun Rendi masih kerabatanya, tetapi ia sudah salah dan menyalahgunakan jabatannya untuk menindas orang yang tidak bersalah.
"Lan, kamu tahu apa yang harus kamu lakukan?"
"Iya, Tuan."
Arlan segera menghubungi kepala rumah sakit dan mengatakan Vano ingin berbicara dengannya. Awalnya kepala rumah sakit berpikir bahwa ia akan mendapatkan kenaikan gaji, tetapi ia harus kecewa saat tahu bahwa dirinya justru akan dilengserkan dari jabatan dan dicopot gelar dokternya.
"Apa salah saya Tuan?" ucapnya tidak terima.
"Kamu bertanya padaku? Coba kau ingat-ingat kembali apa yang sudah kamu lakukan akhir-akhir ini! Saya tidak membutuhkan orang yang menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan pribadi," tegas Vano.
"Saya merasa semuanya baik-baik saja, kecuali...."
"Sekarang kau hanya mempunyai dua pilihan. Berhenti dari rumah sakit atau berhenti menjadi dokter?"
Ini namanya bukan pilihan, keduanya sama-sama memulai lagi dari nol. Jika gelarnya benar-benar dicopot, lantas apa yang bisa aku lakukan untuk menghidupi anak dan istriku?
"Baiklah, saya akan mengundurkan diri," ucapnya pelan.
"Saya mau ini terakhir kalinya, jangan sampai terulang kedua atau ketiga kali."
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
May Risma Mutamam
nma rumah sakit nya unik🤣
2022-07-11
0
ira
itu lah akibat menyalahkan gunakan kekuasaan yg ada
2022-03-22
2
Helen Arneta
copas lu
2022-03-01
2