Gavin melangkah masuk kedalam rumah, bergegas mengunci pintu masuk ke kamar Kenzo. Gavin malas bertemu gadisnya, apalagi mengingat wajah sok kegantengan pria barusan. Kata-katanya tergiang-giang dikepalanya, entah seberapa dekat pria yang satu itu dengan gadisnya.
"Mau kemana?" Tanya Gavin kearah Kenzo.
"Latihan bang."
"Latihan apa?"
"Sepak bola."
Gavin hanya menganggukan kepalanya, meneliti penampilan Kenzo dari bawah sampai atas. Pria kecil ini tidak layak dikatakan anak SD kelas 6. Penampilannya seperti pria dewasa saja.
"Abang antar."
"Gak usah bang."
"Kenapa?" Gavin duduk di tepi ranjang, menatap Kenzo sibuk memakai sepatunya.
"Kenzo naik sepeda bang sama teman-teman."
"Yakin?"
"Iya bang."
"Pulang jam berapa?"
"Agak malam."
"Jangan macam-macam diluar!"
"Siap bos."
Kenzo meraih tas nya, menyalim Gavin dengan senyuman lebar tercetak jelas dibibirnya.
"Abang jagain kakak yah, soalnya kak Kenzie penakut."
"Tau darimana?"
"Lihat aja nanti."
Gavin mengerutkan dahinya, mengikuti Kenzo dari belakang. Tepat diujung pintu, terlihat Kenzie berdiri membawa bekal makan siang, dengan wajah yang ditekuk dan bibir dimanyukan kedepan.
"Jangan lama-lama, siap latihan langsung pulang. Jangan keluyuran ingat, kakak takut dirumah."
Kenzie mengubah mimik wajahnya, layaknya anak kecil yang ditinggal sendiri.
Gavin tercegang, menatap gadisnya dengan tatapan gemas bercampur kesal. Masa sama suami sendiri takut, apa kata orang-orang nantinya.
"Bang Gavin dengar sendiri kan? Kak Kenzie orangnya penakut, plus pelupa tingkat akut."
Kenzo membuka lebar pintu kamar, memperlihatkan Gavin berdiri menjulang tinggi dibelakang Kenzo dengan jarak yang lumayan jauh. Kebetulan Gavin langsung menutup pintu, dan Kenzo barusan membuka pintu setengah. Mungkin menunjukkan sifat asli gadisnya.
Gavin baru tau Kenzie pelupa, mana suami sendiri dilupain.
"Lupa punya suami."
Kenzie menepuk jidatnya, tertawa renyah menertawakan kekonyolannya.
"Yaudah sana, hati-hati bawa sepedanya. Jangan lupa bekal makan siangnya,"
"Iya kak."
Kenzo menyalim Kenzie, berbalik kembali mengahadap kearah Gavin.
"Kenzo berangkat yah bang, jagain kak Kenzie."
Gavin hanya menganggukan kepalanya, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Tanpa diperintahkan siapa pun, itu sudah menjadi kewajibannya.
"Bye, penakut."
Kenzo berlari terbirit-birit keluar rumah, sebelum suara melengking memenuhi ruangan.
"Jangan teriak!"
Kenzie mendengus kesal, melangkah turun kebawah diikuti Gavin dari belakang. Mereka berdua belum makan siang, padahal jam hampir menunjukkan pukul 14:00.
Selama makan yang terdengar hanya dentingan sendok, sesuai aturan. Dilarang bicara selama makan.
"Bunda sama ayah pulang jam berapa?" Tanya Gavin, sembari membantu Kenzie mencuci piring mereka berdua.
"Gak tau, kadang gak pulang. Biasanya Sabtu banyak pembeli."
"Gak ada rencana ke sana?"
"Gak, bunda sama ayah gak bolehin."
"Kenapa?"
"Kerja di rumah?"
"Ngapain?"
"Banyak, gak usah di tanya. Gue malas jelasin satu persatu."
Kenzie masuk ke dalam kamar mandi, keluar membawa kain pal dan ember berisi air.
Dengan sigap Gavin mengambil alih, mengikuti Kenzie ke ruang tamu.
"Gue yang nyapu, Lo yang ngepel."
"Emang Lo bisa nyapu? gue gak yakin." Ucap Kenzie.
"Nantangin, kalo gue bisa nyapu kasih gue hadiah. Gak ada penolakan."
Gavin meraih sapu, memulai aksi membersihkan rumah. Hanya memerlukan waktu 15 menit, rumah bersih mengkilap.
"Ada lagi?"
Kenzie hanya mengelengkan kepalanya, masuk kedalam rumah lewat pintu belakang.
"Gue mau cuci baju, sana masuk kedalam."
Gavin diam, mengikuti langkah kaki gadisnya masuk kedalam ruangan kecil dibelakang rumah. Ternyata tempat pencucian pakaian, ada mesin cuci dan jemuran pakaian.
Gavin memilih duduk lesehan diatas lantai, menatap gadisnya sibuk memasukkan pakaian kotor kedalam mesin cuci.
"Gak masuk Vin?"
"Ha?"
"Masuk ke mesin cuci, biar otak Lo bersih."
"Ck, pikir apaan."
Kenzie tertawa kecil, duduk lesehan di atas lantai tepat disamping Gavin. Tempat ini memang pencucian pakaian, tapi kebersihannya tetap terjaga. Kenzie banyak menghabiskan waktu di sini, sekedar mencuci pakaian, bahkan menyetrika.
"Hadiah nya mana?"
"Hadiah?"
"Pura-pura lupa,"
"Ck, apaan?"
"Tutup mata!"
Kenzie menurut memejamkan matanya, dengan wajah lelah tercetak jelas di wajah cantik itu.
Perlahan jemari besar menangkup wajahnya, menyelipkan helaan rambutnya dengan lembut. Napas hangat terasa menerpa wajahnya, sontak Kenzie membuka matanya lebar, merasakan benda kenyal menyentuh bibir mungilnya.
Manik hitam itu tepat didepan matanya, menyelesuri manik lentik nya dengan lekat. Awalnya Kenzie menolak, tapi setuhan lembut itu perlahan membuat nya terbuai.
Entah sejak kapan kedua tangan nya mengalung indah dileher Gavin, tubuhnya terangkat duduk dipangkuan paha kekar itu.
"Vin."
Kenzie mendorong wajah tampan itu, dengan napas yang memburu. Dikasih hati malah minta jantung. Untung dia tidak kehabisan napas.
"Manis." Bisik Gavin, seraya melilitkan lengannya kepinggang ramping gadisnya.
Wajah Kenzie memerah bak kepiting rebus, jantungnya berdetak kencang dengan napas yang tercekat. Kecanggungan ini harus segera disingkirkan, sebelum suara bariton khas Gavin terdengar menyapa telinganya.
"Biarkan seperti ini."
Kenzie menghela napas panjang, dengan ragu bersandar dibahu tegap itu yang terlihat sandaran able.
Jantungnya tidak bisa diajak kompromi, sedari tadi berdetak kencang seirama elusan jemari besar itu mengelus lembut rambut nya.
"Maaf."
"Eh, kenapa?"
"Gue–"
"Gak papa, lagian kita suami istri. Gak dosa kali ngelakuin itu."
Gavin menghela napas lega, memejamkan matanya seraya mengelus lembut rambut gadisnya. Awalnya Gavin hanya ingin mengamati wajah cantik itu dari dekat, dengan kondisi yang sadar. Tapi sayangnya, jiwa iblis nya malah berkobar.
"Vin, mau turun."
"Bentar."
Gavin mengeratkan pelukannya, tanpa ada niat jahat dibaliknya. Hingga terdengar deringan ponselnya, bersahutan umpatan kecil yang keluar dari bibir tebal itu.
"He, ngomong apaan sih. Kebiasaan."
"Maaf."
Gavin meronggoh saku celananya, mengambil ponselnya dengan wajah yang ditekuk.
"Siapa?"
"Gak tau."
Kenzie mengambil alih ponsel itu, dengan cepat menerima panggilan. Siapa tau penting. Tapi detik berikutnya, Kenzie menyesal menerima panggilan itu setelah mendengar suara cempreng dari sebrang.
"Halo bang Gavin, dimana? Dirumah kok gak ada mulai dari semalam."
Gavin mendengus kesal, hendak meraih ponsel itu kembali. Bila perlu dihancurkan.
"Siapa?" Tanya Kenzie pura-pura.
Hening, tidak ada sahutan. Tapi panggilan masih berlangsung.
"Kak Kenzie? ini bukan nya nomor bang Gavin?"
"Gak."
"Masa sih,"
"Apa?"
"Bang Gavin mana?"
"Gue gak tau,"
"Kakak gak bohong kan?"
"Ck, to the point. Buat apa Lo nelpon gue?"
"Cariin bang Gavin."
"Jadi ngapain nelpon gue? Aneh Lo."
Kenzie langsung mematikan panggilan sepihak, sebelum manusia penganggu tau kebohongannya.
"Gue blokir, lama-lama gue muak ngeliat anak yang satu ini."
"Cemburu?"
"Kepedean Lo. Atau jangan-jangan Lo suka sama Tiara?"
"Gak."
"Bohong."
Kenzie bangkit dari tempatnya, berdiri menjulang tinggi tepat dihadapan Gavin. Menatapnya tajam, dengan bercakak pinggang layaknya ibu memarahi anak.
"Mulai sekarang jauhi Tiara!"
________
TERIMAKASIH TELAH MEMBACA CERITA INI:)
STAY TUNED 🌱
TUNGGU PART SELANJUTNYA 🍓
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
Suky Anjalina
bilang Vin , siapa bosss
2022-03-27
0
Putri Rachmawati
sama2 gengsi🤣
2022-02-21
0
Santi Haryanti
cie cie ada yang cemburu tuh
2022-01-13
4