Awal Penyelidikan

"Jadi menurut lo kak Anita jatuh dari atap gedung bukan karena bunuh diri, tapi sengaja didorong sama orang lain?" Tanya Dafin mengulang inti dari penjelasan Cindy barusan.

Cindy mengangguk dengan cepat. "Iya! Gue yakin banget! Soalnya gak mungkin gue salah kan? Ya... ada sih kemungkinannya. Tapi rasanya aneh aja gitu. Jelas-jelas gue lihat pake mata gue sendiri, dia pergi ke atap gedung sama cowok itu."

"Lo liat cowoknya siapa?" Tanya Fathan untuk memastikan.

"Sayangnya enggak. Karena gue gak ngira bakal kayak gini kejadiannya. Gue cuma ngeliat cowok itu dari belakang doang," jawab Cindy seketika merasa lesu. Ia benar-benar menyesali hal ini. Seharusnya waktu itu ia sadar kalau ada hal yang mencurigakan di antara mereka. Tapi ia malah tak berbuat apa-apa.

"Ciri-cirinya gimana?" Dafin kembali bertanya.

Cindy mengerutkan dahinya sebelum akhirnya menjawab, "Ya ... kayak cowok pada umumnya."

"Rambutnya?" Tanya Dafin lagi.

"Rambutnya? Warna hitam," jawab Cindy dengan sangat yakin. Namun itu berhasil membuat Dafin langsung mendengus. Jawaban yang cukup konyol, karena rata-rata rambut semua orang di sekolah ini berwarna hitam.

"Modelnya apa?"

Dahi Cindy semakin mengerut. Ia tak terlalu mengingat hal itu. "Apa ya? Gue gak tau model rambut cowok itu apa aja. Tapi yang normal-normal aja gitu, kayak cowok pada umumnya."

"Badan?"

"Tinggi ...?" Cindy menjawabnya dengan nada tak yakin. Membuat semua orang yang mendengarnya jadi gemas ingin menampolnya.

Dafin menghela napas sejenak. Jawaban Cindy sedari tadi berhasil membuatnya dongkol. "Ya setinggi apa?"

"Hm... setinggi apa ya? Yah, lumayan lah. Gak tinggi-tinggi banget. Tapi gak pendek juga."

"Perkiraannya berapa?"

Dengan santainya Cindy mengangkat kedua bahunya. "Mana gue tau. Gue kan gak bawa meteran."

"Perkiraan, Cindoy! Perkiraan! Masa lo gak bisa ngukur dari mata lo?" Tanya Dafin kali ini sedikit nyolot karena sudah terlanjur kesal.

"Ya pokoknya setinggi kalian bertiga lah," balas Cindy yang membuat Dafin lagi-lagi harus menghela napasnya.

"Dia pake seragam sekolah kita kan ya?" Kali ini Zaferino yang bertanya.

"Iya, tapi dia juga pake jaket warna hitam."

"Jaket bahannya apa? Kulit? Atau apa?" Dafin bertanya lagi. Pasalnya ada banyak laki-laki di sekolah ini yang suka memakai jaket berwarna hitam.

"Gak tau ... waktu itu cahayanya agak gelap. Jadi gue gak terlalu perhatiin. Tapi kayaknya bukan kulit deh." Cindy menjawab dengan agak ragu. Nyatanya waktu itu ia benar-benar tak terlalu memerhatikan laki-laki tersebut. Ditambah lagi ingatannya juga tak terlalu kuat.

Dafin mengembuskan napas dengan kasar. Ia cukup frustrasi dengan jawaban Cindy yang sedari tadi seperti tak ada gunanya. "Sumpah ya, Cin. Gue yakin banget kalau lo jadi detektif nih, lo bakal dapet penghargaan detektif terbego sedunia."

Cindy mengerucutkan bibirnya, menatap Dafin kesal. Ia langsung menghempaskan tangan Dafin yang sedari tadi masih menggenggamnya. "Ya gue kan lupa! Kejadiannya juga udah dua minggu yang lalu! Wajar dong kalau gue bingung ngedeskripsiin tuh orang gimana!"

"Waktu lo udah ngambil handphone di kelas, emang lo gak ngecek lagi ke atas, Cin?" Sania akhirnya bersuara, mencoba untuk memastikan. Walaupun bisa dibilang ia dan Anita musuhan, tapi tentu saja ia jadi prihatin dan ikut bersimpati kalau ternyata dugaan Cindy memang benar bahwa Anita sengaja didorong oleh seseorang dari atap gedung sekolah.

Cindy terdiam sejenak untuk berpikir, lalu menggelengkan kepalanya. "Enggak. Gue takut keburu maghrib, jadinya gue langsung pulang."

"Lo udah punya dugaan belum siapa cowok itu?" Tanya Zaferino sambil menatap Cindy.

"Belum. Tapi gue yakin cowok itu pasti berhubungan dekat sama Kak Anita."

"Kenapa lo bisa yakin?"

"Ya ... karena siapa lagi kalau bukan orang terdekat? Gak mungkin kan Kak Anita mau aja kalau ada stranger yang tiba-tiba ngajak dia ke atap gedung sekolah dengan posisi sendirian dan sekolah udah sepi?"

Zaferino mengangguk setuju. "Iya juga sih ya."

"Tapi kalau ternyata Kak Anita emang beneran bunuh diri gimana?" Tanya Sania.

Cindy pun menatap ke arah Sania. "Kenapa?"

Sania seketika mengerutkan dahinya. "Maksudnya?"

"Kenapa dia mutusin untuk bunuh diri? Apa alasannya? Soalnya bagi gue, bunuh diri itu hal yang paling sulit untuk dilakukan. Apalagi caranya ekstrem banget dengan jatuhin diri dari atap gedung. Di sekolah pula. Kalau gue pribadi, gue gak terlalu yakin kak Anita bisa senekat itu."

"Ya ... gak tau juga sih. Tapi kan ada yang bilang kalau dia lagi berantem sama orang tua dan temen-temen deketnya. Bisa aja itu ngebuat dia makin depresi dan akhirnya mutusin untuk bunuh diri."

"Ada benernya juga. Tapi ..." Cindy langsung mengacak-acak rambutnya karena frustrasi. "Gak tau lah anjir. Bingung gue."

"Masih abu-abu ya berarti," kata Dafin dengan tangan yang terangkat untuk merapikan rambut Cindy. Namun Cindy langsung menepis tangan Dafin dan merapikan rambutnya sendiri.

"Apa yang mau lo lakuin tentang hal ini, Cin? Lapor ke polisi?" Tanya Fathan memusatkan perhatiannya pada Cindy.

"Kayaknya mending jangan ikut campur deh. Apalagi polisi juga udah bilang kalau kematian Kak Anita karena bunuh diri. Takutnya lo yang malah dicurigain, Cin," sahut Zaferino langsung memperingati.

"Iya, sebenernya gue juga takutin hal itu. Tapi gue gak bisa diem aja. Gue harus mastiin hal ini. Gue harus nemu jawaban dari apa yang sebenarnya terjadi hari itu," ujar Cindy yang tentu saja merasa bahwa dirinya ikut bertanggung jawab karena menyangkut nyawa seseorang.

"Mau selidikin sama-sama gak?" Usul Dafin sambil menatap teman-temannya secara bergantian. Ia tahu ini bukanlah keputusan yang tepat untuk mereka lakukan. Tapi melihat Cindy yang bisa-bisa tidurnya jadi tak tenang karena hal ini, membuatnya harus melakukan sesuatu.

"Maksud lo?" Tanya Sania bingung.

"Yang bener aja," kata Fathan langsung merasa tak setuju.

"Gue kan udah bilang, mending kita gak usah ikut campur. Karena bisa aja hal ini malah ngebuat kita jadi kena masalah," ujar Zaferino juga tak setuju.

"Gak apa-apa kali. Kalau emang beneran Kak Anita dibunuh, seenggaknya kita bisa memberikan fakta yang sebenarnya ke publik dan pembunuhnya bisa ditangkap. Mumpung si pelaku masih ada di sekitar kita nih. Kalau misalnya dia udah keburu lulus nanti, malah makin susah untuk nemuinnya," ucap Dafin mencoba untuk meyakinkan mereka.

"Iya, bener kata Dapin. Gue juga bakal ngerasa bersalah banget kalau misalnya cowok yang gue liat itu beneran celakain Kak Anita, tapi gue nya malah diam aja dengan nutupin fakta yang sebenarnya." Cindy pun ikut meyakinkan mereka.

Keadaan hening. Tak ada tanggapan sama sekali. Mereka tampak sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Pleaseeee... mau ya? Gue janji, kalau ada masalah, gue bakal tanggung jawab," kata Cindy lagi agar mereka mau membantunya untuk menyelidiki hal ini.

"Hm.... gue sih ngikut aja," kata Sania mau tak mau mengikutinya.

"Gue terserah deh," kata Fathan akhirnya menyetujui.

Zaferino mengangguk. "Ya udah."

Senyum Cindy mengembang. "Yes!! Kalau gitu, malam minggu kumpul di rumah gue ya?"

"Oke."

Terpopuler

Comments

Chandra Dollores

Chandra Dollores

lempar vote ahhhh.. sebelum votenya expired
hahahaha

yok tebak2an... Zaferino pelakunya

2022-08-27

1

Arsuni Gustaf

Arsuni Gustaf

suka sama cerita detektif macam ini...👍👍

2022-08-19

0

senja

senja

Dapin suka Cindy ya

2022-02-25

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!