...'Jika ada yang bilang tolong beri aku kesempatan? Jika dia belum menjawab tapi memberi jeda setidaknya. Dan waktu diantara jeda itu adalah kesempatan terbaik yang kamu miliki.'...
...-Aurra Putri Haidan-...
...BSJ 16 : Waktu...
...****...
"Iya. Keevanzar Radityan Al-faruq. Itu nama abang-sekaligus calon suami mbak."
Ujarnya datar, walaupun ada gemercik tak nyaman di hatinya.
"Keevanzar Radityan Al-faruq. Saya jadi penasaran sama dia?" Cicitnya kecil, sambil melamunkan rupa sang calon suami.
Pria muda itu termenung, manik hitam tajamnya langsung menoleh. Apa jangan jangan?
"Mbak, belum pernah lihat calon suami mbak?"
Gadis cantik berhijab syar'i itu menggeleng. Memang aneh, sudah hampir mendekati H-10 menuju hari pernikahan, tetapi mungkin ini sudah takdir darinya. Jadi, Aurra positif thingking saja, yang penting ia tahu jika calon suaminya itu pria yang baik dan bertanggung jawab walaupun itu kata orang lain lagi.
"Kemarin dia sempat mengirimkan pesan." Ujar Aurra bermonolong.
"Dia mengajak saya makan siang bersama."
Sejauh ini, Van'ar adalah penďengar yang setia. Mendengarkan dan menyimak segalanya dalam diam, walaupun tak dapat di pungkiri jika hatinya terasa sesak disana.
"Tapi dia tidak datang."
Pria rupawan itu langsung menoleh, menatap kearah samping. Ia tahu apa yang di rasakan perempuan disampingya ini, pasti kecewa.
Van'ar sendiri tidak tahu betul apa keputusan ini di terima sepenuh hati oleh kakaknya atau tidak. Pasalnya ia saja belum pernah betemu dengan kakaknya lagi, walaupun terakhir kali saat ia berada di Jakarta ia sempat mengetahui jika abangnya itu akan segera kembali ke tanah air.
"Dia tidàk bilang kenapa alasanya, namun yang pasti setelah 1 jam lebih menunggu saya harus pergi. Soalnya saya ada jadwal operasi mendadak." Lanjutnya menuturkan.
Van'ar merutuki kecerobohan kakaknya itu. Ia tahu jika abangnya itu workholic, tetapi sebuah kesalahan besar telah membuat calon istrinya menunggu lama. Bahkan tanpa kejelasan yang nyata. Sepertinya abangnya itu harus belajar dari istilah 'waktu adalah kesempatan', supaya ia tidak menyia nyiakan kesempatan dilain waktu.
"Jadi, saya belum pernah melihat wajahnya sampai saat ini." Ujarnya.
Kehingan kembali menyelimuti keduanya, di antara semilir angin pagi juga hangatnya sinar mentari.
"Kenapa sih kita bicaranya formal begini Van'ar?" Tanya Aurra memecah keheningan. Ia sudah geret dengan kecanggungan yang ada diantara mereka.
"Kamu marah sama aku?" Tanya Aurra lagi, sambil menatap pria disampingya yang masih diam mematung.
"Jika ini semua karena perjodohan aku dan kakak kamu, maaf. Aku belum sempat menjelaskan."
Deg
Van'ar diam mematung, walaupun hatinya bergemuruh saat ini. Ternyata gadis di sampingnya itu bisa menebak isi pikiranya.
"Satu minggu setelah khitbah dadakan itu, aku dengar kamu pulang. Aku mau bicara sama kamu, tapi di hari berikutnya kamu sudah pergi dinas." Tuturnya menjelaskan, setidaknya jika ia sudah menjelaskanya, Aurra harap semuanya akan kembali seperti biasa.
"Berubah atau tidaknya status aku nantinya, aku harap kita bisa tetap menjadi seperti dulu. Kita masih bisa berteman Van'ar."
Teman? Pria itu menggerutkan dahinya. Rasanya akan terasa akward jika menganggap calon kakak iparnya sendiri sebagai teman. Walaupun hanya teman, tetap saja akan ada hati yang terluka nantinya. Ingat, tidak ada pertemanan yang real antara lelaki dan perempuan.
"Terlepas dari statusku saat ini,aku cuma ingin kita tidak secanggung ini ketika berbicara nanti.Jadi,apa kamu masih mau berteman denganku Van'ar?" Tanya Aurra.
Entah mengapa, tak dapat dipungkiri memang jika Aurra merasa pertemananya dengan Van'ar itu berharga. Ia merasa tak nyaman jika ada kecanggungan diantara mereka hanya karena status. Padahal, terlepas dari ada dan tidaknya status itu Aurra benar benar tulus ingin berteman dengan sosok yang dulunya adalah bocah kecil yang selalu mengintilinya. Sedari kecil sering bermain bersama, senang rasanya saat dikemudian hari mereka kembali di pertemukan, apalagi jika masih dengan status seorang teman. Tanpa ada status lain yang dapat menimbulkan kecanggungan.
Sedangkan bagi Van'ar, menerima seseorang yang telah mematahkan hatinya sebelum berjuan tanpa sadar itu sulit. Intensitas pertemuan mereka akan lebih sering terjadi, dan proses move on itu akan sia sia saja nantinya. Bukan masalah status baru yang akan segara Aurra sandang, tetapi untuk saat ini hatinya yang sekuat baja itu masih terasa lemah jika mengingat permainan takdir. Pria mana yang akan mudah meñerima, saat pujaan hatinya tiba tiba saja menjadi kakak iparnya. Huh, tidak akan ada yang terima. Karena lapang dada itu perlu proses sampai bisa menerima dengan ikhlas. Tapi, ia akan mencoba. Setidaknya, atas nama jalinan silaturahmi pertemanan ini akan kembali terjalin, tanpa ada keinginan apapun kedepanya.
"Maaf Ra, jika sikapku membuatmu tidak nyaman."
'Ra?' Gadis itu bergumam kecil, sudut bibirnya kembali tertarik saat pria muda disampingnya itu tidak lagi memanggilnya dengan embel embel mbak.
"Iya tidak apa apa." Ujarnya lembut, kelembutan yang selalu dirindukan seseorang.
"Jadi kita kembali berteman?" Tanyanya memastikan.
"Hm."
"Hm itu apa artinya Van'ar?" Tanya Aurra bingung.
Bagi Van'ar Aurra bukanlah seorang perempuan berusia 5 tahun lebih tua di atasnya pada segala waktu. Ia pikir, gadis itu selalu terlihat menggemaskan dan imut dibeberapa waktu bersamaan. Mengalahkan fakta jika usianya sudah menyentuh angka 28 tahun.
"Apa hm itu artinya iya?"
"Hm."
"Please Van'ar, aku tidak belajar bahasa isyarat." Kesal Aurra kecil, yang langsung di suguhi senyuman tipis pria disampingnya.
Biarlah waktu saat ini berjalan seperti ini. Diiringi canda tawa keduanya, tanpa sebuah status yang membawa kecanggungan diantaranya. Lebih baik seperti ini, waktu tengah berpihak kepada Van'ar. Biar dia menikmatinya, sebelum status sah yang akan di sandang Aurra nanti mengikis istilah pertemanan di antara mereka. Yang penting untuk saat ini, biarkan Van'ar dan Aurra enjoy dengan status pertemanan mereka.
Sementara itu, di ibukota tepatnya. Sepasang kaki berbalut pentople hitam tak henti hentinya berjalan kesana kemari. Sesekali manik tajamnya menatap kearah benda pipih diatas meja kerjanya. Ia tengah menuggu saat ini,menunggu balasan dari pesan singkat yang ia kirimkan. Sudah sehari semalam, tapi balasan pesan singkat itu tak kunjung datang. Jangankan balasan, centang biru saja tak terlihat disana. Ingin sekali ia menghubungi pemilik nomer tersebut, tetapi egonya yang setinggil langit kembali mengalahkan keinginanya.
Ia mengirimkan pesan singkat kemarin, pasca ia tidak jadi menghadiri acara makan siang bersama calon istrinya. Serentetan kalimat sudah ia kirimkan, namun hingga dekit ini pula belum ada tanda tanda akan dibaca oleh si empunya. Huh, menunggu itu melelahkan ternyata benar adanya. Mungkin lain kaĺi, dia harus menghargai waktu karena waktu adalah kesempatan. Tetapi kesempatan itu telah ia sia siakan saat ini.
"Abang kenapa sih? Kok mondar mandir terus dari tadi?" Tanya sang adik yang sudah duduk di sofa yang ada di dalam ruanganya.
"L-unar. Kamu sejak kapan disini?"
Tanyanya terkejut melihat keberadaan sang adik yang tidak ia ketahui kedatanganya.
"Sejak abang mondar mandir kayak ayam betina kehilangan anaknya." Ujar Lunar ketus.
Pasalnya ia kesal karena salam dan ketukanya berkali kali tidak di jawab satupun. Jadi ini toh yang sedang dilakukanya.
"Abang kenapa sih, cemas gitu?"
Tanya gadis cantik bergamis hijau army tersebut penasaran.
"Em, abang gak papa!" Ujarnya datar.
"Yakin?" Selidik sang adik.
"Kok aku ngerasa abang lagi bohong ya. Hayoo, bohong gak baik loh bang?" Gurau sang adik, ia tahu pasti jika ada yang tengah menganggu abangnya ini.
"Tidak." Sangkal Anzar.
"Kamu, ngapain kesini pagi pagi?"
Tanyanya mengalihkan pembicaraan.
"Astagfirullah. Iya aku sampai lupa tujuan aku kesini." Ujarnya.
"Lunar kesini karena disuruh sama bunda."
"Bunda?"
"Iya. Kata Bunda abang pulangnya jangan kemalaman. Bunda udah buat janji sama butik langganan bunda, buat fitting baju nikahan abang."
Deg
'Fitting baju, berarti aku bisa bertemu dengan dia?' Batinya senang.
"Dia ikut?"
Kening Lunar menyerngit, mendengarkan perkataan abangnya.
"Dia siapa?"
"Hm, itu dia. Masa kamu tidak tahu?"
"Dia siapa? Kalau nanya itu yang jelas dong bang." Kesal Lunar akhirnya.
"Iya, itu maksudnya calon istri abang."
Ujar pria gagah tersebut sedatar mungkin.
Lunar tertawa terbahak bahak saat melihat ekspresi sang kakak. Bravo Lunar, kamu berhasil mengerjainya.
"Oh, calon istri." Ujarnya sambil tersenyum menggoda.
"Kirain tadi siapa, dia dia. Gak jelas banget."
Lanjutnya sambil menahan tawanya yang sudah ingin kembali meledak.
"Lunar, please." Kesal Anzar-ketika adik bungsunya itu terus menertawakanya.
"Astagfirullah haladzim, iya iya bang. Habisnya abang lucu."
"Hm."
"Iya bang maaf." Ujar Lunar bersungguh sungguh.
"Em, setahu aku sih calon istri abang gak bisa datang."
Kening pria tampan itu mengerùt, kenapa begitu. Padahal ia ingin sekali melihat calon istrinya tersebut, sekalian ingin mengajaknya makan siang sebagai awal masa penjajakan mereka.
"Kenapa?" Tanyanya penasaran.
"Mbak Aurra gak ada di Jakarta saat ini."
"Maksud kamu?" Tanyanya Al bingung.
"Mbak Aurra saat ini sedang ada di Jayapura."
"Apa?" Kaget Al double.
"Tenang dulu bang, calon istri abang gak kabur kok. Tapi dia lagi jadi relawan tim medis untuk korban korban pemberontakan di perbatasan Timur nusantara." Tuturnya yang langsung diangguki samar oleh Anzar. Pantas saja pesanya belum juga terbaca atau dibalas hingga kini.
"Jadi calon istriku pergi ke perbatasan sebagai relawan?"
"Iya bang. Mbak Aurra itu memang punya rasa empati terhadap kemanusian yang tinggi. Ia juga minta izin sama bunda sebelum pergi, ia minta maaf karena tidak bisa ikut fitting baju pengantin."
Anzar paham seķarang, jadi calon istrinya itu pergi ke perbatasan demi menjadi relawan. Membantu banyak orang disana, atas dasar kesetaraan umat manusia. Sungguh mulia bukan hati calon istrinya itu. Walaupun pernikahan mereka tinggal menghitung jari, tetapi ia rela pergi mempertaruhkan nyawanya pula. Haruskan Anzar bersyukur saat ini, karena mendapatkan calon istri sebaik Aurra itu.
Namun, sebagian hatinya malah ingin menyerukan.
'Tidak kembalipun, aku lebih senang.' Entahlah, hatinya sepertinya masih memiliki dua sisi yang saling bertolak belakang.
**
To Be Continue
Holla guysss🖑🖑
Hujan hujan gini enaknya nulis sambil rebahan😅😅. Hayo gimana komenya buat part ini??
Yang banyak dong komenya,biar semangat nih😅😅Jangan lupa bantu vote, like dan komenya ya💖💖 Ok, jumpa lagi dipart berikutnya.
Sukabumi 28 April 2020
09.43
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Romila YS
yang jelas jadi bucin lho anzar...sayang engkau tak tau siapa calon mu
2020-09-05
3
Afifa Afifauzma
mending aurora ma van ar aja yg dah jelas dari pada ma anzar biar tar anzar nyesel
2020-09-03
5
Putri
kebangetan dech Anzar.mungkin karena terlalu sayang ama Nata😜
2020-09-02
2