20. Tinggal Di Rumah Baru

Mario berusaha menetralkan detak jantungnya. Ya, meskipun Reyn adalah sahabatnya, tetapi mereka jelas berbeda. Reyn adalah seorang konglomerat. Mario cukup tahu itu.

Mario juga belum menjelaskan siapa Tuan Davidson kepada Delia. Dia berhutang penjelasan pada gadis itu.

Aduh, mampus aku! Batin Mario. Reyn menatap tajam ke arah Mario. Walaupun saat ini dirinya tengah menyetir tetap saja auranya terlihat menyeramkan. Delia kebingungan melihat dua pria dewasa itu saling menatap. Yang satu dengan tatapan tajam menyelidik, yang satu tampak gelisah tak menentu.

"Ada apa? Kenapa kalian seperti menyembunyikan sesuatu dariku. Ayolah, ini benar-benar bukan karakter kalian," seru Delia yang melihat kecanggungan yang terjadi diantara dua pria yang ada di depannya.

Delia sedikit meninggikan suaranya. Dia memang sudah lelah, dan sekarang tambah lelah melihat tingkah laku tidak jelas dua manusia di depannya. Delia bahkan merasa tidak mengenal keduanya saat ini.

"Kau berhutang penjelasan padaku, Rio!"

"Tenang, akan aku jelaskan nanti," jawab Mario terkekeh. Dirinya terkekeh melihat ekspresi kesal di wajah Reyn. Namun, demi menghindari cubitan kecil dari gadis kecil di kursi belakang, Mario akhirnya terpaksa bercerita.

"Kami sudah datang berkunjung ke rumahmu," kata Mario mengawali ceritanya.

"Kenapa tidak memberi kabar kepadaku?" tanya Reyn dingin.

Reyn memicingkan matanya. Dia juga melirik ke arah Delia yang sama sekali tidak berekspresi apapun. Raut muka gadis itu terlihat begitu datar.

"Waktu itu ada seorang perempuan yang menjemput kami. Dia berkata bahwa kamu yang menyuruhnya untuk menjemput kami."

Reyn mengangguk. Dia membenarkan tentang hal itu. Dia memang menyerahkan semua urusan kedatangan Mario dan Delia ke tangan Citra. Kepala pelayan rumahnya di Dhaka.

"Terus ada kejadian apa? Apakah dia tidak melayani kalian dengan baik?"

"Bukan itu masalahnya, dia memang menerima kami dengan baik. Hanya saja dia sudah berani menghina kami berdua. Ya otomatis aku dan Delia langsung pergi," jelas Mario panjang lebar.

Delia sendiri mulai mengingat kejadian setelah dia terbebas dari penjara. Tanpa sadar dia pun menyebut sebuah nama.

"Citra," desis Delia.

"Nah, kamu benar Del namanya Citra," sahut Mario senang dapat menemukan nama yang sedari tadi dia ingat-ingat.

"Ada apa dengan wanita itu, Rio?" tanya Reyn. Perasaannya mengatakan bahwa ada sesuatu yang telah terjadi dan dia tidak tahu sama sekali.

"Meremehkan gadismu," bisik Mario di telinga Reyn.

Tentu saja Reyn langsung mengepalkan tangannya. Reyn melirik ke arah Delia yang sekarang terlihat tidak lagi peduli dengan obrolan dua pria dewasa itu.

"Apa yang dilakukan wanita bodoh itu, Rio?"

"Dia mengatakan semua keperluan gadis milikmu sudah kamu siapkan. Delia berpikir bahwa Tuan Davidson membelinya karena telah membantu membebaskannya dari penjara." Mario kembali berbisik.

Wajah Reyn tentu saja memerah mendengar bisikan dari Mario. Raut wajahnya terlihat menahan amarah yang begitu besar.

"Reyn, Paman! Kalian sedang membicarakan apa? Aku lihat sedari tadi kalian hanya berbisik-bisik saja," tanya Delia penuh selidik.

"Ah tidak apa-apa. Sebentar lagi kita akan sampai,"sahut Reyn terbata. Tidak mungkin dia mengatakan hal yang sebenarnya pada gadis itu, bukan?

"Reyn, terima kasih banyak ya. Kamu sudah banyak membantuku. Aku janji bakal segera cari kerja biar tidak merepotkan mu terus," ucap Delia lembut. Gadis itu mengepalkan tangan mungilnya. Menandakan bahwa dia sedang begitu bersemangat.

Delia merasa sungkan dengan semua yang diberikan oleh Reyn. Menurut Delia, dia tidak seharusnya membuat Reyn dan pamannya ikut terlibat dalam permasalahannya. Toh dia berniat menyelesaikan semuanya dengan caranya sendiri. Namun, kemanapun dia pergi bisa dipastikan akan ditemukan oleh dua pria itu. Reyn dan Mario sudah seperti pengawal baginya.

Reyn tersenyum lembut ke arah Delia. Tatapannya begitu lembut dan penuh kasih sayang. Membuat Delia menjadi salah tingkah.

"Jangan sungkan, Del. Kamu yakin ga mau memakai jasa asisten rumah tangga biar ada yang bersihin rumah?" tanya Reyn memastikan.

"Kamu lucu sekali Reyn. Aku 'kan belum bekerja. Bagaimana aku menggaji mereka? Aku pikir lebih baik aku berlatih mandiri mulai dari sekarang. Nanti kalau aku sudah punya uang aku akan membeli rumah sendiri," jawab Delia. Wajah gadis itu selalu bersemu merah saat Reyn menatapnya secara intens.

"Baiklah kalau itu maumu. Tapi aku mohon mulai sekarang kamu jangan sungkan kepadaku. Kalau ada apa-apa kamu bisa menghubungiku," pesan Reyn.

"Sebenarnya aku sama sekali tidak ingin merepotkan kalian berdua, tetapi mau bagaimana lagi. Aku hanya punya kalian berdua saat ini," kata gadis itu sendu.

"Sudah, sudah. Jangan membuat pertemuan ini terlihat menyedihkan," tegur Mario.

"Paman benar, kita harus merayakan pertemuan kita dan juga merayakan kebebasanku tentu saja," sahut Delia dengan wajah ceria.

Reyn tersenyum dan merasa lega dalam hatinya.

Saat ini mereka sedang berada di sebuah rumah yang lumayan mewah. Rumah siapa lagi kalau bukan rumah Delia yang dibelikan oleh Reyn. Namun, tentu saja Mario dan Delia tidak tahu menahu tentang hal itu.

"Aku akan memesan makanan untuk kita," kata Reyn.

"Ide yang bagus," sahut Delia sembari mengacungkan jempolnya.

Reyn menanggapinya dengan senyum manis. Mario diam-diam memperhatikan interaksi keduanya. Dia merasa lega Delia menemukan pria yang tepat untuk menjaganya. Mario sendiri masih punya tanggung jawab yang sangat besar.

Tidak sampai setengah jam pengantar makanan telah tiba. Dengan cekatan Delia menyiapkan semuanya di meja makan. Dirinya sungguh bersyukur, setelah melewati rasa sakit, akhirnya sekarang bisa berkumpul dengan dua pria yang menyayanginya. Paman dan sahabat terbaiknya.

Selesai makan, Reyn pun buru-buru pamit pulang. Namun tubuhnya enggan beranjak, jadilah pria tampan itu sibuk menggoda Delia.

"Bolehkah aku menginap di sini saja, Del?"

"Ish, Kau ini apa-apaan Reyn. Sudah sana pulang! Tidak ada acara nginap menginap," kata Delia.

Delia tersipu malu setiap kali Reyn berkata manis kepadanya. Jangan tanya lagi bagaimana jantungnya berdegup kencang.

Hei jantung jangan melompat keluar ya!

Jangan buat aku malu di depan tuan super tampan ini. Batin Delia.

Reyn gemas dengan ekspresi Delia.

"Besok kita bertemu lagi," bisik Reyn lirih di dekat telinga gadis itu membuat bulu kuduk Delia meremang. Setelah mengucapkan itu Reyn segera berlalu dengan langkah lebarnya. Delia mengantarkan sampai ke teras.

"Aku kira kau tidak akan pulang," sindir Mario yang sedang duduk bersandar di kursi teras. Pria itu sedang sibuk menatap layar ponselnya ditemani secangkir kopi.

"Aku tidak punya alasan untuk tinggal."

"Ini rumahmu juga," ejek Mario. Senang sekali rasanya bisa menggoda Reyn.

"Aku hadiahkan untukmu."

"Aku tidak meminta hadiah, kau yang memintaku kesini," elak Mario yang memang tidak nyaman dengan kebaikan Reyn.

Delia tersenyum melihat kedekatan mereka. Akhirnya dia melihat dengan matanya sendiri bahwa keduanya saling melindungi. Padahal dulu dia sangat membenci Reyn yang menyiksa pamannya. Namun, pamannya berhasil meyakinkannya bahwa Reyn adalah orang yang baik.

Mereka berdua masih asik berdebat. Hingga Delia memilih melerai.

"Sudah sudah! Apa tidak ada hari lain untuk berdebat. Kita harus istirahat paman. Banyak hal yang harus kita lakukan nanti. Rubah tua itu pasti sudah mencari informasi tentangku. Reyn juga harus segera pergi dari sini," kata Delia kesal.

"Hati-hati Reyn!"

Usir Delia dengan halus sambil menarik tangan pamannya untuk masuk ke dalam rumahnya. Eh, ralat rumah yang disediakan oleh Reyn.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!