18. Kebebasan Delia

Dainy mengusap air matanya, ketika mengingat awal mula dirinya berada dalam kegelapan. Hanya karena rasa iri dan cemburu dirinya menjadi seorang pembunuh berdarah dingin. Seolah tak puas dengan satu kematian, dia rindu dan haus akan kematian yang lainnya.

Kini semua sudah dia dapatkan. Namun, kehampaan itu semakin merajam jiwa tuanya. Apalagi ketika dia mengingat kebaikan Delia, maka dia sungguh menyesal telah membuat gadis baik hati itu menjadi tersangka pembunuhan.

Hari ini adalah sidang keputusan kasus Delia. Setelah melewati beberapa kali sidang, semua bukti masih memberatkan gadis itu.

Suasana di Pengadilan hari ini tampak sangat ramai. Banyak media yang akan meliput berita kematian seorang pelayan di mansion milik orang terkaya di Dhaka tersebut. Media tentu penasaran dengan wajah sang pelaku.

Selama ini baik pengadilan maupun pihak kepolisian menutup rapat informasi tentang pelakunya. Meskipun desas desus tetaplah berdengung bahwa pembunuhnya adalah seorang gadis muda.

Rencananya hari ini pihak kepolisian akan menunjukan wajah pelaku pembunuhan sadis itu di muka umum. Tentu saja berita itu akan menjadi trending topik selama beberapa pekan. Akan sangat menguntungkan bagi para pencari berita tentunya.

Selama Delia ditahan semua pegawai kepolisian mengaku Delia bersikap sangat baik. Dia juga rajin melaksanakan ibadahnya. Jadi wajar saja jika dalam hati orang orang sedikit terketuk. Mempertanyakan kebenaran kasus yang menimpa Delia. Bahkan sebelum dirinya dibawa ke tempat sidang, dia juga berpamitan pada teman-temannya. Ya, Delia sudah tidak di isolasi, dia berbaur dengan tahanan lain karena sikap baiknya.

Sebelum sidang pembacaan keputusan dimulai tampak dua pria dengan setelan jas yang sangat rapi tergesa-gesa memasuki ruang sidang. Entah apa yang mereka lakukan. Tetapi saat pembacaan keputusan Delia dinyatakan bebas. Delia sendiri bingung dengan yang terjadi. Karena dia merasa tidak mengenal sama sekali dua orang yang tadi berada di pengadilan.

Bagaimana mungkin pihak pengadilan mengatakan bawa bukti yang ada tidak akurat. Padahal beberapa kali sidang, bukti itu jelas mengarah kepadaku. Batin Delia. Tak lupa dia mengucap syukur pada Tuhan atas kemudahan urusannya.

Sebelum Delia pergi, dia meminta waktu pada polisi untuk bertemu teman-temannya sekali lagi.

"Aku pamit ya. Besok kalau kalian sudah bebas kalian boleh menghubungiku. Mungkin aku bisa membantu kalian," pesan Delia kepada para tahanan wanita itu.

Para tahanan itu tersenyum. Mereka tidak menyangka, di tengah gelapnya jalan mereka nanti akan ada lilin yang bersedia menerangi langkah mereka.

"Jangan lupakan kami, Delia."

Delia mengangguk mantap. Dirinya mengulas senyum tipis kemudian berbalik pergi.

Meninggalkan tempat dingin yang beberapa bulan ini menjadi bagian dari cerita hidupnya. Dengan penuh semangat Delia melangkahkan kakinya yang sekarang terasa lebih ringan. Delia tidak peduli kekacauan yang terjadi di depan pengadilan. Banyak pencari berita yang kecewa dan mengumpat, itu sudah di luar kendali Delia.

Delia menatap matahari dan tersenyum dengan lebar. Meskipun hatinya bimbang akan hidup yang akan dijalaninya nanti. Namun, bukan berarti dia menyerah pada hidup. Delia ingin pergi dari kota Dhaka dan memulai hidup yang baru di tempat yang jauh.

"Del!"

Delia menghentikan langkahnya. Merasa bermimpi mendengar suara pria yang dirindukan olehnya.

"Paman."

Delia berteriak dan berlari ke arah sang paman. Mereka saling berpelukan, menumpahkan rasa rindu juga syukur yang tak terkira akan kebebasan gadis itu.

"Bagaimana kehidupanku nanti paman?" tanya Delia sendu. Bukan Delia pesimis, tetapi dia memang sedang merasa kerdil. Sebagai mantan napi apa yang dapat dia banggakan. Tidak ada bukan?

"Kamu tak perlu bersedih, Del. Paman akan berusaha membersihkan namamu. Maafkan paman tidak bisa menjagamu dengan baik."

Delia mengangguk. Dia percaya Mario bisa diandalkan. Toh saat ini Mario juga yang menjemputnya. Dia yakin kebebasannya juga ada sangkut pautnya dengan Mario.

"Ayo, kita harus segera pergi sebelum berita kebebasan kamu tersebar luas!"

Delia mengangguk dan berjalan mengikuti Mario menuju mobil mewah yang terparkir di depan kantor kepolisian.

Tak ada pembicaraan selama di perjalanan. Delia memilih menyandarkan tubuhnya. Tak dapat dipungkiri bahwa badan dan hatinya begitu lelah setelah peristiwa penangkapan dirinya.

"Paman, apa aku bisa berhenti saja dari pekerjaanku?" tanyanya tiba tiba.

"Pekerjaan yang mana? Bukankah rubah tua itu sudah memecat mu dengan tidak hormat?" Mario malah balik bertanya pada Delia.

Delia mengerucutkan bibirnya. Badannya yang kurus tentu saja membuat dia terlihat menyedihkan. Mario menggelengkan kepalanya melihat tingkah Delia.

"Kita akan pergi ke tempat yang baru, Del,"

jelas Mario.

Delia merasa tak perlu berdebat dengan pamannya. Toh di kota ini dia sendirian. Sudah untung ada Mario. Bagaimana kalau dia benar-benar sendirian? Pasti akan sangat menyedihkan. Karena terlalu lelah, Delia akhirnya tertidur.

Beberapa jam kemudian mereka telah sampai di tempat tujuan. Mario membangunkan Delia yang masih asyik berselancar di alam mimpi.

"Bangun, Delia! Kita sudah sampai."

Delia menggeliatkan badannya yang terasa pegal semua. Maklum tertidur lama di dalam mobil. Meskipun mobil mewah tetap saja tak senyaman ranjang di rumah. Setelah sedikit merapikan penampilannya, Delia bergegas turun mengikuti Mario.

Ini rumah apa istana? kenapa sangat besar dan mewah. Batinnya. Apa rumah paman sebesar ini? ah tidak mungkin. Delia sibuk dengan pikirannya sendiri. Sesekali matanya memindai sekeliling yang tampak sepi.

"Ini bukan rumah paman, Del," kata Mario seolah tahu isi hati Delia.

"Terus rumah siapa paman? Kenapa sangat besar? Apa paman ingin menjual diriku pada orang kaya?" tanya Delia pelan.

Mario menyentil kening Delia.

"Kamu terlalu banyak membaca novel Delia. Kamu akan tahu nanti," jawab Mario. Pria itu membiarkan Delia tetap merasa penasaran.

"Ish, Paman!" Delia merajuk. Namun, kakinya tetap melangkah mengikuti langkah sang paman.

Mereka berdua disambut oleh seorang wanita cantik berambut panjang. Wanita cantik itu melihat ke arah Delia. Tatapannya terlihat sangat jelas meremehkan gadis kampung seperti Delia.

"Silahkan, Tuan Mario dan Nona Delia," katanya dengan sopan.

Delia hanya mengangguk dirinya enggan berurusan dengan orang kaya. Delia dan Mario mengikuti langkah wanita itu. Ternyata mereka dibawa ke ruang tamu.

Ruangan yang sangat indah menurut Delia. Guci-guci mahal tampak menjadi pajangan di ruangan itu. Bunga segar juga tampak menghiasi salah satu sudut ruangan. Tentunya dengan vas bunga yang harganya mungkin sampai ratusan juta. Delia tentu tahu akan hal itu.

"Perkenalkan saya Citra. Tuan Davidson menyuruh saya untuk menyambut kedatangan kalian berdua. Seluruh keperluan Nona Delia sudah dipersiapkan oleh Tuan Davidson. Jadi mulai hari ini nona bisa tinggal di rumah ini," jelas Citra panjang lebar.

"Mohon maaf, Nona. Saya tidak bisa tinggal di sini," jawab Delia cepat.

Citra sedikit terkejut. Baru kali ini dirinya melihat seorang wanita menolak diberikan fasilitas mewah. Ingin rasanya dia memaki Delia yang sok itu. Tapi dia tidak berani. Bisa - bisa rencananya mendekati Tuan Davidson gagal total.

"Kenapa Nona? Apa fasilitas kami kurang baik? Biar nanti saya sampaikan kepada Tuan Davidson," ujarnya. Terlihat sekali dia sedikit memaksakan kehendaknya.

Mario sedikit tidak suka dengan pertanyaan wanita di depannya, tetapi dia menahan diri. Walaupun Davidson adalah sahabat dekatnya, Mario merasa semua itu berlebihan.

"Maafkan kami, Nona Citra. Kedatangan kami ke sini untuk bertemu Tuan Davidson. Tolong beritahu pada atasanmu. Rio, sahabatnya sudah datang," tegas Mario menyebutkan tujuannya datang ke rumah itu.

Citra terdiam. Sedikit menyadari bahwa pria di depannya tidak lugu seperti yang dia lihat. Dan pria tadi menyebut sahabat. Batin Citra geram, tentu saja dia tidak akan membuat wanita dan pria di depannya betah berlama-lama. Citra sedang mengincar Davidson, tetapi dua orang di depannya saat ini bisa menjadi penghalang besar rencananya.

"Ayo kita pergi, Paman. Walaupun rumah ini sangat mewah tidak akan bisa membuat kita nyaman. Kita juga bukan pengemis. Hanya orang-orang tertentu yang berjiwa pengemis yang mau tinggal di sini tanpa tujuan yang jelas!"

Delia ikut menimpali. Tentu saja dia tahu bahwa wanita di depannya tidak menyukai kehadiran mereka berdua.

Citra melotot tajam. Tapi hanya sebentar . Segera saja mengubah wajahnya semanis mungkin.

"Baiklah, Tuan Mario. Pesan anda nanti saya sampaikan pada Tuan Davidson."

Mario tidak menjawab. Langsung berdiri dan berjalan ke arah pintu keluar dengan tenang diikuti oleh Delia. Sampai di dalam mobil Delia yang sangat penasaran pun segera bertanya dengan nada dingin kepada pamannya.

"Siapa Tuan Davidson itu, Paman?"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!